Kamis, 12 September 2019

“Habibie”: Tidak Mungkin Cita-cita Itu Mati

    Salah seorang tokoh negara, Ilmuwan, sekaligus mantan presiden Indonesia hari ini dikabarkan berpulang ke Rahmatullah, Prof. Bacharuddin Jusuf Habibie (Presiden RI ke-3) tapi entah kenapa pekikan teriakan pidato2nya masih sangat lekat terasa di telinga. 
     Hati terasa tidak terima bahwa ia telah mati, menyusul kekasihnya yang lebih dahulu pergi, bu Ainun. Lantaran kesadaran meyakinkanku bahwa setiap kehidupan pastilah kan menemui kematian maka hati itupun seketika bangkit menerima. Bertafakkur, menela’ah langit, memanjatkan do’a keselamatan untuknya. Habis sudah air mataku meratapi kepergiannya, dari jauh hanya doa yang dapat terkirim, semoga Dia Habibie Sang pembuat pesawat, Guru Bangsa Indonesia betul-betul damai dalam kepergiannya.
    Rasa kehilangan itu tidak seperti saat2 kematian mantan2 presiden yang lainnya. Bersedih, saya harus akui saya selalu sedih dalam tiap kematian para mantan presiden Indonesia tapi di kematian mantan presiden Habibie ini saya sungguh2 merasakan kesedihan yang mendalam. Sangat kehilangan.
    Saya dan Habibie tidak punya hubungan kekeluargaan sekalipun beliau orang Sulawesi-selatan. Kami pun nyaris tak pernah bertemu, apalagi berdiskusi bersama. Tapi, inspirasi tentang beliau amat mendalam. Saya menemukannya sebagai seorang panutan dalam gagasan dan ide2nya tentang apapun.
    Sejak kecil Saya mengaguminya sebagai sebuah cita-cita. Dimasa kecil, setiap saya ditanyai tentang cita-cita, saya selalu menjawab “saya mau jadi Habibie”. Aneh, yah betul aneh. Seperti anak kecil lainnya seharusnya saya menyebut cita-cita dalam bentuk pekerjaan/profesi seperti dokter, polisi, guru, tentara, atau lainnya. Tapi saya beda, saya bersikeras tak ingin menggantinya seperti cita2 biasanya, sekalipun saya dipaksa dan diolok2.
    Hingga dimasa dewasa saya tak pernah mengubah cita-cita itu “mau jadi Habibie”. Teringat dimasa tamat SMA, dalam pemilihan jurusan di perguruan tinggi saya memilih prodi Teknik Mesin sebagai pilihan pertama dan Teknik Elektro sebagai pilihan kedua. Keduanya saya pilih karena ingin seperti Habibie sebagai pembuat pesawat.
    Karena paksaan persyaratan harus memilih satu rumpun humaniora maka saya memilih BK. Saya pun lulus disana, di Prodi Bimbingan Konseling UNM. Namun di kesempatan yang lain, setahun kemudian, saya masih mencoba peruntungan kembali lewat pendaftaran Mahasiswa Baru. Kembali Saya memilih kedua jurusan itu namun masih saja tetap tidak lulus. Akhirnya saya pun menetapkan diri terus melanjutkan status sebagai mahasiswa di BK UNM hingga jadi sarjana.
    Lantas Kenapa harus Habibie ???. Masihkah ia hidup ???.
    Habibie bagi saya bukanlah sosok orang tapi Habibie adalah cita-cita, pengetahuan, visi, dan gagasan yang terus abadi. Seluruh kedirian Habibie tidak jauh dari karakter dan sikap kebangsaan negeri ini. Melihat Habibie seperti melihat optimisme sedang lahir di negeri Indonesia, bahwa bangsa kita akan terus berfikir dan bergerak maju melampaui zaman.
    Gagasan dan Ide2 Habibie tidak sekerdil fisiknya. Beliaulah yang pertama kali meletakkan dasar pengetahuan kedirgantaraan di Indonesia, juga beliaulah yang Membawa Indonesia terbang tinggi di langit Perpolitikan dunia. Di situasi transisi yang pelik Ekonomi Indonesia selamat dari kebangkrutan, Kecamuk Disintegrasi di tiap2 daerah Indonesia dapat diselesaikan, dan reformasi dilakukan. Siapa sangka seorang teknokrat dapat melakukan hal itu ??.
    Sebagai Menteri Riset dan Teknologi dalam pemerintahan Presiden Soeharto, Habibie tidak hanya membangun Industri Pesawat terbang di Indonesia tapi Habibie juga membangun mental manusia Indonesia untuk tumbuh kembang. Di masanya, mahasiswa2 Indonesia diterbangkan ke luar negeri untuk belajar dan disaat yang sama orang2 pintar Indonesia yang berada di luar negeri dipulangkan kembali untuk membangun Indonesia sesuai profesi dan keahliannya masing2. Tiada lain strategi itu dilakukan untuk memajukan SDM anak bangsa di masa yang akan datang.
    Gagasan progesif Habibie terus bergerak di masa beliau sebagai Presiden. Bangsa indonesia diantarkan ke dalam satu era demokrasi yang disebut dengan Reformasi. Pembatasan SIUP pers dicabut, kebebasan berpendapat dan berserikat ditegakkan, apalagi kebebesan berpolitik. Dimasa Habibie, grasi besar2an terhadap tahanan2 politik juga dilakukan.
    Habibie adalah simbol optimesme bangsa, bahwa bukan hanya orang jawa saja atau pengusaha saja, atau militer saja yang dapat menjadi presiden akan tetapi kemungkinan itu bisa saja terjadi pada anak2 bangsa lainnya yang bukan Jawa, yang bukan pengusaha, atau hanya dari kalangan sipil biasa. Seluruh kepakeman itu tidak ada dalam diri Habibie sekalipun masa pemerintahannya cukup sangat singkat dan cukup kontroversial.
    Habibie bukan hanya sebagi perwujudan cita-cita Indonesia tapi Habibie adalah potret keromantisan manusia Indonesia. Disaat Habibie berusaha menerbangkan cita-cita negeri ini, disaat itupula beliau sedang mendaratkan cinta di dada orang2 Indonesia lewat kesetiaan dan keromantisannya terhadap Ibu Ainun, istrinya tercinta. Masih lekat diingatan dengan kata2nya: “Ainun mungkin telah pergi tapi ia terus hidup abadi di hatiku”.
    Bangsa ini bersyukur punya Habibie. Genap sudah 83 tahun usianya, hari ini ia pun telah pergi meninggalkan kita semua (seluruh bangsa Indonesia) tapi ia takkan pernah hilang di hati dan fikiran kita sebagai sebuah cita-cita, sebagai gagasan, sebagai optimisme, juga sebagai cinta yang selalu kita rindukan.
    Selamat jalan Prof...
   
Galesong, 11 September 2019 .