Sabtu, 21 Desember 2019

Dialekta Meirah

Lingkaran waktu terus berjalan, tidak cepat tidak pelan, melompat dengan ritme yang telah teratur. Sesekali berjalan cepat lewat kebahagian dan disaat yang lain dapat melambat dalam kesedihan, hanya saja ia tak peduli denganmu yang tenggelam di dalamnya. Apalagi dengan kenangan yang juga tak pernah peduli dengan waktu.

Aku di sampingmu, menjadi tempat bersandar dan jadi aliran air matamu yang mengalir deras. Tempat yang terus tabah menyediakan ketabahan dan kedamaian untuk sebentuk tangisan yang jika reda akan berubah menjadi kata-kata. Tempat itu tak pernah berubah dan takkan pernah berubah, bahkan disaat kau telah menemukan sandaran yang lain yang jauh lebih nyaman pun tempat itu takkan pernah berubah. Ingat itu !. Kau boleh datang kapan saja menyandarkan tubuhmu dan mengalirkan tangisanmu, serta berkeluh kesah tentang masalahmu disana. 

Maka menjelmalah aku menjadi sesuatu yang sempurna yang akan memberimu segala-galanya tepat disaat kau datang. Bukan hanya sebagai aliran air matamu tapi menjadi apa saja yang kau butuhkan. Aku bisa menjadi isakan dalam tangisanmu apalagi hanya menjadi sandaran kepedihanmu saja. Bahkan, Tuhan akan kulawan jika Ia tak memberimu keadilan. Tapi kurasa itu tak mungkin karena Tuhan selalu maha Adil.

Anggap saja di seluruh tubuhku adalah rumahmu. Pundakku adalah tempatmu bersandar, telingaku yang selalu setia mendengarkanmu, juga tangan yang selalu terbuka lebar untukmu. Tangan itulah yang akan membelai rambutmu, mengalirkan rasa sabar padamu hingga kau rasakan kedamaian di hatimu. Juga dadaku selalu lapang untuk segala kemarahan-kemarahanmu. Kau boleh berteriak di dalam sana, melampiaskan seluruh kepongahan di dadamu. Bisa jadi kau tidak tahu bahwa di dalam sana kemarahan apapun itu dapat tersumbat tabah. Kau sendiri takkan bisa mendengar jeritanmu, apalagi jeritanku.

Kemarahan jika tak diredam dalam kesunyian maka akan terus melukai hatimu. Jika dilampiaskan bukan pada tempatnya maka akan memicu kemarahan-kemarahan yang lain. Jika yang kau miliki adalah dendam dan sakit hati aku punya penawar juga belati. Kau pilihlah mana yang menurutmu lebih berguna untuk mengobati luka hatimu, atau kau boleh menikamkan belati ke jantungku agar kau menemukan kedamaian yang kau cari.

Alih-alih kau mengambil belati di tanganku, justru dari tangan orang lain kau temukan sebatang pisau yang bisa kau ambil untuk membunuhku. Menjadikannya kesempatan untuk menikamku dari belakang tapi seperti biasanya, kau tidak memilihnya. Kau lebih memilih menangis, memelukku lebih kuat hingga isakmu terdengar lebih hebat kemudian meredam perlahan, dan menjadi lirih di dalam dadaku. Tanganmu memelukku erat. Sangat erat, membuatku lupa kapan terakhir kau begini.

Sekalipun kau menangis bukan untukku tapi untuk orang lain aku kan tetap ditempatku dan tubuhku takkan bergeming. Aku akan berusaha terlihat baik-baik saja di hadapanmu. Sedikit saja aku bergeming kau kan berprasangka lain, berfikir bahwa sandaranmu ini adalah sandaran yang rapuh yang memiliki maksud dan tujuan yang lain. Aku khawatir, kau menebak kerapuhanku kemudian takkan kembali lagi mendekapku erat. Ini soal ketulusan, segenggam kekhawatiran yang akan selalu kusembunyikan. Kau tak boleh tahu.

Kukira itu bukan waktu yang tepat untuk mengajakmu berdebat bahwa seseorang yang kau tangisi sekarang bukanlah sesuatu yang istimewa juga indah maka aku memilih diam dan tidak berkata-kata sampai saat air matamu reda. Diam mungkin akan cukup. Menjadi pilihan terbaik untukmu dan untukku. Soalnya ini terkait sesuatu yang selalu kusembunyikan darimu. Sedari tadi geming itu kutahan dengan mulut tertutup dan emosi yang kutahan agar tak semakin naik. Ini untuk menjaga semuanya menjadi tidak mudah ditebak.

Setelah perasaanmu membaik, geming masih kutahan, kau lepas dekapanmu kemudian pergi meninggalkanku dengan kata permisi yang seperti biasa. Seakan-akan kau hanya singgah disini, sekedar berteduh dari panas amarahmu, kemudian pergi tanpa menoleh. Seperti biasa kau pergi dengan bahagia dan pasti tersenyum. Aku tahu senyum itu tertuju padaku tapi di dalam hatimu ada wajah laki-laki lain yang menatapmu bahagia, sedang menunggumu pulang dari sini.

Kau bagiku sesuatu yang luar biasa dan tak pernah sederhana. Dalam tiap langkah kau seperti anak panah yang dengan fokus menuju ke satu arah. Saat kau terjatuh seketika saja otakmu yang lumpuh tapi kakimu tetap berdiri dengan tangguh. Aku tidak tahu bagaimana menebakmu. Saat kau seharusnya menangis untukku kau tak menangis, bahkan suaramu datar, tak berubah sedikitpun. Kau seakan-akan tak menyimpan sedikitpun luka padaku. Tapi saat kau tak seharusnya menangisi orang lain kau malah datang padaku menangis dan menumpahkan seluruhnya di dadaku.

Aku tak paham padamu. Menyaksikan kau sekian lama jadi manusia beku yang tidak hangat padaku tapi di saat yang lain kau mampu menceritakan seluruh kebagiaanmu bersama orang lain dengan berapi-api padaku. Lantas Bagaimana dengan seluruh rasa yang kau punya sebelumnya padaku? Sudah jadi makanan cacingkah dalam tanah atau masih tetap di tempatnya sebab saat ini kau terlihat sangat bahagia !??.

Aku cemburu pada manusia itu. Bagaimana bisa membuatmu sebahagia itu sedangkan aku sendiri tak mampu. Entah itu siapa tapi Keparat! Kau didekapnya rapat-rapat.


Vv, Takalar, 22 Desember 2019