Minggu, 01 Maret 2020

DITELAN BUMI

Orang-orang, siapa pun, dan dari mana pun asalnya, memang tak pernah bertanya keberadaan sisa penduduk pulau itu, semua jejak kisah dan jerit rintih meresap alami, mengendap dan hilang ke dalam tanah. Seperti berita dalam koran bekas. Padahal mereka semua juga manusia, yang paham tentang hakikat kehilangan. Tetapi bukankah segenap cerita tentang manusia di tempat ini telah usai? Ya. Sama seperti benda-benda lain di tempat ini, ceritanya pun telah lama hilang, menjadi debu.

Sebetulnya, cerita tentang cerita ini sudah sangat sering dia ceritakan. Hingga aku sudah hapal betul ceritanya. Hari ini, dia telah berhasil menyeretku ke dalam ceritanya. Membuktikan bahwa ini bukanlah sekedar cerita, tapi kenyataan.

Di kepalanya tersimpan jutaan kenangan ganjil yang mengiris-iris. Di dalam hatinya buncah perasaan yang tidak diketahui perasalannya. Yang jika hati itu dibuka maka ribuan debu-debu cerita akan tumpah dan meluap seperti pasir waktu yang telah beranjak dari satu waktu ke waktu yang baru. Hati itu akan bercerita dengan sangat rapi dan detail tentang banyak hal, tentang ribuan hari dan puluhan purnama, tentang orang-orang dengan inisial A sampai Z, dan tentang perasaan-perasaannya saat menyebut seluruh ingatan yang terkubur di bawah sana.

Tempat ini sudah jauh berbeda dengan tempat yang dia kenal dulu. Tempat yang sekujur bangunan dan tanahnya serta jurang semestanya kini telah berselimut debu. Tempat yang jika ditarik jauh ke atas langit, ke angkasa luar, hanya akan terlihat seperti nokhta hitam yang tidak memiliki arti apa-apa. Bahkan satu diantara banyaknya cerita yang pernah terpahat di tempat ini tidak akan mampu menceritakan semuanya. Dia sendiri, menjadi saksi hidup dari puing-puing ini. 

Setelah peristiwa malam itu terjadi maka tempat ini seketika telah berubah sebagai hamparan debu. Tanah yang dulunya subur nan hijau kini berubah menjadi pasir debu yang jauh lebih tandus dari gurun sahara. Hanya tanah hitam dengan desain retak-retak yang tidak simetris dan berpola acak, yang bisa menghibur mata yang kian lama kian lebam oleh guyuran debu yang terseret angin.

“Aku telah begitu hafal dimana letak satu per satu rumah di kampung ini, sekalipun seluruh sketsa nyatanya telah tertimbun dengan tanah sejauh puluhan meter ke bawah sana. Di titik ini, di tempatku berdiri ini, aku masih ingat pohon jambu air pernah tumbuh subur di bawah sana. Konon, Pohon jambu itu sudah berumur ratusan tahun, sudah tumbuh sebelum bapakku lahir. Daun-daunnya rimbun mengayuh ke tanah. Buahnya sangat banyak. Tempat bermain paling seru bagi anak-anak di kampung ini. Hari ini, daun-daun pohon jambu itu sedang menggelitik telapak kakiku, juga ingatanku tentang puluhan tahun lalu, bahwa di titik ini aku tumbuh bersama sebatang pohon jambu air yang dahulu kami panjati di setiap sore sepulang mengaji di langgar kampung sebelah”.

Letak rumahnya tak jauh dari pohon ini, sekitar puluhan rumah ke arah barat melewati pematang-pematang sawah dan sebuah jembatan yang melintang membelah sungai. Tentu, dia masih hafal betul, bagaimana rumah itu tumbuh sebagai rumah harapan. Rumah yang penuh dengan kehangatan. Rumah bahagia. Rumah yang di dalamnya hanya ada tawa kebahagiaan. Rumah yang tidak mengenal kata sedih. Di dalam sana ibunya tertawa, bapaknya tertawa, adiknya tertawa, dan mereka semua tertawa. Bahkan seringkali mereka tidak sadar bahwa mereka tak semestinya tertawa.

“Aku masih ingat, suatu waktu ibu tertawa menertawai tiang penyanggah atap yang sudah lapuk. Karena tiang itu miring maka rumah itu juga miring, menjadi tidak simestris, agak serong ke kiri, dan nyaris sempurna sebagai rumah jajar genjang. Karena ibu tertawa bapak pun ikut tertawa, lalu mengambil gulungan tali dan mengikatkan tiang itu ke batang pohon mangga yang tumbuh di sudut halaman. Di belakang sana adik pun tertawa saat meminta makan, gelak tawa adik semakin nyaring saat ibu menyuapinya sambil mengatakan “hari ini tidak ada lauk, kita makan nasi putih saja nak”, lalu ibu tertawa..”.

Tempat ini bukan lagi menjadi tempat reunifikasi terhadap jutaan peristiwa masa lalunya, tapi telah berubah menjadi tempat ziarah yang tak berbunga. Mata air ikut tertimbun oleh debu dari sejak puluhan tahun lalu, yang tersisa hanyalah air mata dari hempasan rindu yang terus menderu dari hari ke hari, dari peristiwa ke peristiwa. Maka, cukuplah air matanya yang membasahi tanah kuburan ini. Tanah kuburan Ibu-bapaknya bersama seluruh orang-orang yang pernah tumpas dalam sekejap di tempat ini. 

“Di luar sana aku belum bisa menemukan betapa berartinya kebahagiaan selain dari gelak tawa mereka. Tawa-tawa yang membuatku merasakan rindu pada ibu, pada bapak, pada adik yang juga ikut tertimbun di bawah sana. Aku pun harus tertawa membayangkannya agar tawa dari ibu dan bapak kian terasa. Dalam kedatangan ini, aku mulai tak mengerti, bahkan air mata yang melompat nakal dari kedua bola mataku pun ikut tertawa menertawakan keadaanku. Menertawai kesedihanku, kerapuhanku, dan seluruh kerinduanku tentang mereka. Sungguh ingatan itu masih sangat dingin dan rapuh”.

Bagaimana pun, kenangan tentang tempat ini dan seluruh orang-orang yang ada di dalamnya akan tetap berjalan, bersama tumpukan kisah yang berkelindan, menerabas masa lalu yang tumbuh sewaktu-waktu. Ingatan itu akan mengucur deras setiap saat di dalam kepalanya. Menerabas ruas-ruas waktu, menjadi rindu yang tidak akan pernah pudar ditelan masa. Dia akan selalu punya cara, entah bagaimana, untuk tetap menganggap tempat ini masih berbentuk seperti sedia kala.

Debu-debu itu, awalnya hanyalah air keruh yang hidup di perut bumi. Menggeliat seperti rindu yang ingin buncah dari tempatnya. Ombang-ombak pantai menderu kian deras. Tanah ikut bergoyang, Air laut surut kemudian pasang, lalu melompat ke daratan sebagai gelombang besar yang akan menyapu seluruh isi bumi. Gelombang yang pada akhirnya bermetamorfosis sebagai gelombang air mata dan menderu sebagai jeritan kesedihan bagi semuanya. Inilah tsunami kematian yang paling dahsyat yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Semua orang di tempat ini mati terkubur hidup-hidup dalam sekejap mata. Menjadi debu dan guyuran air mata.

Dia sendiri, baru saja datang ke tempat ini. Setelah puluhan tahun hidup di belahan dunia yang lain. Berharap ibu bapaknya beserta orang-orang kampung menyambutnya sebagai seorang sarjana ilmu sastra dari salah satu universitas ternama di Eropa. Padahal, saat kepergiaannya, dia diantar oleh hampir seisi kampung hingga ke dermaga pulau. Beberapa dari mereka lebih jauh lagi, mengantarnya hingga di labuhan kota. Ini sesuatu yang langka, baru, dan tidak pernah terjadi. Seorang anak dari pulau kecil ini bersekolah hingga ke negeri orang.

Ingatan itu masih cukup rapi di kepalanya. Mereka berbaris saat melepasnya di labuhan. Haru-harap yang menderu di dada mereka membuatnya pulang di detik-detik paling mustahil untuk menyuruh kapal yang ditumpangi anak itu mundur kembali.

“Aku masih ingat, ibu guru Lesti, salah satu dari mereka yang ikut mengantarku. Seorang guru yang hati dan fikirannya selapang gurun sahara dan seindah padang bunga Cataleya.  Ibu guru Lesti, dia lah yang mengajariku di sekolah, yang paling tabah menghadapi kenakalan murid-muridnya, termasuk aku. Hingga pada akhirnya ibu Lesti mampu melihat bakat kesustraanku dan mengajakku berlomba di kota hingga lolos dan meraih juara sebagai penulis cerpen terbaik di tingkat Nasional. Dari sanalah beasiswa ke luar negeri itu aku dapatkan”.

Sejenak dia berfikir dan menatap retakan-retakan tanah yang tidak semetris di bawah kakinya.

“Sebetulnya, ini bukanlah ingatan yang rumit. Bu Lesti sering berkirim surat padaku pada tanggal dua puluh dua di tiap-tiap bulan. Mengabarkan tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kampung kami, serta Memotivasiku agar terus giat belajar. Sesekali aku membalas suratnya dan menyampaikan salam pada ibu-bapak, dan pada seluruh teman-temanku, juga seluruh orang-orang di kampung ini. Tapi sebulan setelah bencana itu terjadi surat bu Lesti tak pernah lagi datang. Aku pun tak berfikir panjang, bu Lesti pasti ikut tertelan tanah”.

Dia masih terus mengenang, berziarah dari satu titik ke titik yang lain. Menjumpai beberapa kenangan yang telah terhapus debu. Dan, barulah terasa kesendiriannya saat tiba di ujung jalan, setelah menemukan bahwa segalanya telah betul-betul tiada. Tidak satupun yang tersisa selain dari cerita yang pernah terjadi di tempat ini. Aku yang datang membersamai perziarahannya ini juga ikut terseret ke salah satu bagian cerita yang akan dia ceritakan pada anak cucunya kelak. Bahwa dia bersama calon istrinya yang sekarang menjadi ibu dari mereka telah datang ke tempat ini setelah semuanya terlambat.

Atau dia kan lebih memilih diam saat ditanyai oleh anak-anaknya tentang kampung halamannya. Tentang perasalan bapak dari bapaknya, tentang sanak pamily dan keluarganya. Tapi kurasa tidak, dia tetap akan bercerita pada anak-anaknya tapi dalam gendre cerita humor agar mereka tertawa, dia tertawa, dan semua isi rumahnya ikut tertawa tanpa sadar. Aku mengenalnya sebagai laki-laki yang cerdas, juga sebagai pribadi yang cekatan dalam merekonstruksi cerita-cerita yang tidak masuk akal menjadi masuk akal. Dari cerita yang terbilang sepele menjadi cerita yang serius dan tidak main-main. Dari cerita dramatis menjadi cerita lucu. Dia seorang penulis, pengarang cerita fiksi, cerpenis, dan tentu sebagai bapak yang baik bagi anak-anaknya kelak.


Takalar, 02 Maret 2020. Daeng Palalang. Penulis suka mengenang kenangan.