Setiap kali aku kesana tidak ada satupun wajah orang-orang yang tidak bahagia disana. Dan mereka tak butuh alasan melakukannya, tertawa sepuas-puasnya saat senja datang membawa guratan merah di langit luas, di atas hamparan air laut yang juga memerah.
Hubungan kita terus berjalan, berhenti sejenak, kemudian lanjut lagi, lalu berpisah lagi, dan bertemu lagi, berpisah lagi, dan seterusnya. Aku juga akan menceritakan cerita ini seperti hubungan ini, karena diantara mereka yang duduk menikmati senja itu ada kamu disana sedang duduk di atas rerumputan yang kering, dengan baju yang kusut, menatap kosong pada cakrawala, menunggu senja dengan hati bahagia. Semua orang disana mengenalmu, seorang wanita tanpa nama yang tidak pernah alpa menunggu senja di tiap-tiap sore, di tempat ini.
Tiap-tiap sore kamu pasti datang dengan pakaian andalanmu, walau aku hanya lebih suka melihatmu saat sesekali kau memakai baju abu-abu dengan kerudung hitam yang kau kenakan di satu sore, ditambah celana jeans panjang yang kakinya sedikit terangkat karena lingkar kakimu yang kian membesar. Aku teramat mengenalmu walau kau datang dengan kostum yang berbeda-beda. Dan aku lebih mudah menemukanmu dari puluhan pasangan yang duduk berbaris di tepi pantai, walau batu-batu karang menyembunyikan tubuhmu. Itu karena kamu selalu datang lebih cepat dari wanita-wanita itu yang hadir bersama pasangannya, lebih dulu menemani kicau burung dan debur-debur ombak yang melambat labuh, tidur diatas rerumputan yang hijau dan terkadang kamu memetiknya, lalu melemparkannya pada ikan-ikan yang mengiranya sebagai umpan, atau menemani sepasang angsa yang tak jemu berkejar-kejaran di belakangmu. Kamu pasti ingin seperti mereka, hidup penuh bahagia, tanpa air mata, tanpa kesedihan, bersama dengan bebas, menikmati ketentraman, dan menjadi bagian keindahan di mata setiap orang.
Masih sangat hangat diingatan saat pertama kali kau datang bersama seorang laki-laki yang entah siapa. Berjalan dari kejauhan, sembari bercerita, entah apa yang kalian ceritakan, andai bisa kuraba narasi cerita itu maka aku yakin kalian sedang bercerita tentang senja hari ini, yang sebentar lagi datang menemui kalian. Dan andai aku menjadi laki-laki itu, maka aku kan memulainya dari sebuah kata-kata yang sedikit lebay dan dengan kadar sastra yang berada jauh dibawah garis kemiskinan kata-katamu. Aku tahu kamu seorang penulis sastra, dan aku hanya seorang laki-laki yang berusaha terlihat sastrawi walaupun itu naif;
”Aku suka senja, apalagi jika melihat burung-burung terbang ke arah barat, seakan-akan rumah mereka adalah senja.”
”Tetapi, aku tidak begitu mengerti senja. Bagiku tak ada sekat antara sore dan malam, antara sisa-sisa cahaya siang dan datangnya potongan-potongan malam.”
”Apa kamu tidak pernah bermain di pantai ketika sore hari? Ketika kamu lihat langit menggaris merah dan beberapa perahu berlayar lurus hanya menyisakan layarnya yang berkibar. Seperti sangat dekat dengan garis dunia itu. Seakan bersandar pada cahaya senja.”
"Tidak, aku hanya tahu pantai yang panas, dan sore hari aku pulang untuk beristirahat.”
"Jadi, kamu tidak pernah melihat senja?”
”Aku bisa melihatnya dari foto-foto.”
"Foto-foto tidak hidup, semuanya diam, seperti dunia tanpa waktu.”
”Kalau begitu berikan aku video yang merekam senja.”
"Tidak. Aku tidak punya. Aku saja jarang menikmati senja yang utuh. Pertemuan kami hanya sesekali, kadang setahun dua kali, kadang setahun sekali, bahkan sering tidak sama sekali.”
"Lalu, di mana kamu bisa melihat senja yang utuh?”
"Aku hanya melihatnya ketika aku pulang ke rumah orangtuaku di kampung. Di sana ada bukit luas yang jarak pandangnya sampai ke pantai, dan ketika sore tidak akan ada yang menghalangi pemandangan terbenamnya matahari, termasuk senja itu.”
Kemudian segalanya hening.
”Kalau begitu, aku akan membawamu ke suatu tempat di kota ini yang bisa melihat senja setiap hari.”
"Apa? Bukankah tadi kamu bilang tidak pernah melihat senja?”
------------
DUA
Hari ini hujan, kita tak bisa melihat senja. Jadi janji kita tuk melihat senja hari ini kita tunda saja, sampai hatimu benar-benar tak kelabu seperti awan-awan yang kelabu, rintik-rintik air hujan, serta kabut pekat di tengah laut yang menguap ke atas langit. Aku tak ingin hujan menyembunyikan kebahagianmu hari ini. Aku hanya ingin menatapmu puas saat engkau tertawa, tidak bersedih, tidak menangis, dan berbahagia serupa langit cerah di hari kemarin.
Kita nikmati saja senja di rumah masing-masing. Bersama hujan yang mungkin akan lama. Cukup kita membayangkan senja di atas genangan air hujan. Di halaman belakang rumah kita. Menemukan irama dari ricis hujan, hingga dapat membawa kita membayangkan pemandangan senja yang kekal. Senja yang berbeda kali ini. Senja yang guratan merahnya begitu pekat, seperti kelopak mawar merah atau seperti merah darah yang baru saja tumpah dari tenggorakan.
Orang-orang di sini, di sekitar rumahku tak begitu peduli apakah matahari telah tenggelam atau bahkan terbit dari arah tenggelamnya. Tiap-tiap hari mereka hanya sibuk menunggu sinar, bukan peristiwa. Bagi mereka tidak ada momen yang penting diabadikan selain pergi dan pulang begitu saja. Pagi dan senja hanya penanda, dan jika malam tiba mereka memilih tertidur pulas di atas kasur empuknya. Sejak itulah aku seperti kehilangan nyawa dalam tiap senja yang kutemui di tempat ini.
Begitupun kamu, tak ada senja disana, selain rintik-rintik hujan yang jatuh dari atap rumahmu, dan kau teramat sedih karena tak dapat melihat senja kali ini.
Sebentar lagi malam. Tiba-tiba hening..
Sebercak cahaya merah merambat ke dalam kamarmu, tumpah seperti lukisan penuh darah pada dinding-dinding kamarmu.
"Senja, yah itu senja...", ucapmu.
Senja itu aneh. Senja yang dapat kau temui di dalam kamarmu, yang datang di waktu hujan turun. Senja yang sulit kau percaya, yang walaupun dia telah datang kau masih meragukannya sebagai sebuah senja.
Dan, senja itu begitu basah, dingin, dan beda. Senja yang dari jauh menerabas rintik-rintik hujan hanya untuk menjengukmu dari jendela kamarmu.
Beginilah senja itu. Tidak ada burung-burung terbang, tidak ada layar-layar perahu yang menghiasinya, dan senja yang tidak punya apa-apa selain membawa bercak-bercak merah seperti darah.
Lalu pelan-pelan kamu mengarahkan pandanganmu ke jendela dan menatapnya bahagia. Senja itu pun tersenyum melihatmu tersenyum.
Wajah putihmu yang teduh membuatnya urung untuk berpaling. Dengan senyummu senja itu tiba-tiba bahagia walaupun sepertinya kamu mampu membaca gurat kepedihan yang murung dari tirai senja kali ini.
Lalu semuanya hening, angin kencang menghempas daun jendela, hujan semakin lebat, dan senja itupun menghilang.
Kau begegas ke jendela membuka jendelamu, mencari-cari senja itu, berteriak-teriak menyebut namanya. Tapi, senja itu telah tiada.
Senja itu pergi tanpa permisi..
Senja itu pergi karena kau tak boleh membayangkan tentang malam. Malam hanya akan membuyarkan senja. Tentu, karena senja dan malam hanya mungkin dipertemukan oleh sebuah garis waktu yang teramat singkat.
Tapi senja yang datang itu benar-benar nyata untukmu. Sekalipun kau menyangsinya sebagai kenyataan. Sebuah senja yang dapat kau bentuk dalam khayal, senja yang hanya datang saat hujan turun di rumahmu.
Dan senja itu, aku...
------------
TIGA
Sejak kemarin aku menunggumu di sini, tapi kau tak pernah datang, waktu telah menyisakan pertanyaan besar di kepalaku, rasa penasaran yang membatu di pelipis senja yang membuatmu absen selama 6 hari ini. Ada apa denganmu?? hingga senja pun terasa kosong sejak kau tak pernah ada.
Atau apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di tepian langit itu telah mematikan rasamu untuk mencintainya?, sehingga kau lupa bahwa senja itu jugalah yang membuat samudera yang biru berubah merah seperti kelopak bunga mawar merah. Tidakkah kau rindu melihat air yang biru itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran ombak yang menabrak bibir pantai !?. Sealpha apakah perasaanmu saat ini ??.
Sepanjang angin akan berembus di sore ini senja pun terlihat kesepian terbenam tanpa kehadiran seorang wanita yang tiap-tiap hari menunggunya datang, menyambutnya dengan senyum manis semanis legit coklat buatanmu, yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar.
Lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh ombak tak pernah henti menabrak pantai, atau bebatuan yang menumpuk di ujung tanjung. Yang ada hanyalah mereka yang berbaris di tepian bersama pasangannya masing-masing tanpa peduli pada senja yang datang. Tidak peduli pada merah senja yang berubah dari hari ke hari.
Dan kini, aku sudah mengerti bagaimana senja itu begitu merah saat kau tiada. Saat kau tak pernah datang menjenguk senja sejak 6 hari yang lalu. Di saat itu pula cahaya senja di permukaan air laut seperti berubah menjadi merah yang benar-benar merah, merah pekat, merah darah. Warna merah yang seperti nyata, bukan sebatas pantulan merah yang datang dari langit, seolah-olah warna merah itu datang dari bawah samudera yang dalam dan menakutkan.
Sudah begitu lama, semakin lama kau alpha semakin senja berubah bentuk. Sudah genap kepedihanku itu membatu di dadaku karena menunggumu datang. Dan hari ini telah kuputuskan tuk tidak menunggumu lagi, tuk tidak menantimu lagi, tuk tidak mengharapkanmu datang, menunggu seorang wanita yang sama di setiap senja datang. Wanita pencinta senja, seorang wanita yang sejak dia alpha senja itu tak lagi merah semerah biasanya..
Maka di bawah senja yang merah, dari senja yang terus berubah sampai sore ini aku meminta pamit tak menunggumu lagi, dan kau boleh pergi selamanya hingga senja yang lain datang, nanti..
----------
EMPAT
Tidak ada lagi aku, kamu, dan senja...
Tanjung Bunga, 18 September 2022
Ditulis di waktu-waktu senja dan dari senja yang datang dan pergi..