Kamis, 16 Juli 2020

Penjual Sayur Yang Memilih Jadi Kupu-kupu

Kira-kira, bagaimana kalau saya menjadi kupu-kupu saja?

Menjadi kupu-kupu yang bebas terbang. Melihatmu. Menengokmu. Menjengukmu. Menyapamu, walaupun tidak dengan sapaan mesra. Saya datang ke halaman rumahmu. Terbang kesana kemari, melompat dari ranting-ranting bunga ke ranting-ranting bunga yang lainnya di taman rumahmu. Hanya kadang-kadang saya akan lebih banyak hinggap di bunga Kamboja tua yang rimbun di samping rumahmu. Yang ranting-rantingnya menjulur ke depan jendela kamarmu. Akan ada satu-dua-tiga kupu-kupu yang datang menemaniku dan kau tidak tahu kupu-kupu mana yang lebih sering datang ke hadapan kamarmu. 

Akan ada suatu hari yang tidak akan pernah kau perkirakan, ketika saya datang ke hadapanmu. Jika tak bisa memasuki kamarmu maka saya akan terbang kesana kemari mengitari jendela sambil bernyanyi lembut, dengan lirik lagu paling dahsyat yang bisa membuatmu jatuh cinta. Tapi kau tidak bisa mendengarkan suaraku. Dan itu jauh lebih baik. Karena itulah aku lebih memilih menjadi kupu-kupu ketimbang menjadi burung gereja yang suaranya dapat kau dengarkan. Di sudut kamar berwarna merah mudamu kau menikmati mimpi-mimpimu, menatap langit-langit kamarmu sambil memikirkan sesuatu yang entah apa yang bisa membuatmu tersenyum sangat manis saat itu.

Baiklah, tanpa perlu menunggu kesepakatanmu maka sekarang saya telah benar-benar menjadi kupu-kupu putih dengan bintik-bintik kuning di sayapku. Seekor kupu-kupu dengan perpaduan warna yang satu kalipun tidak pernah kau lihat sepanjang hidupmu. Pertama kali saya datang sebagai seekor kupu-kupu kau sedang duduk menghadap keluar jendela, menatap langit nan luas, menatap sawah-sawah hijau yang membentang jauh di hadapanmu. Kau memilih menikmati pemandangan-pmandangan itu sambil memikirkan sesuatu yang entah itu apa. Padahal saat itu saya sudah terbang kesana kemari, melompat dari pucuk ke pucuk, mencari-cari perhatian tapi kau tak bergeming, kau tidak bisa diganggu. Khayalanmu lebih penting dari seekor kupu-kupu yang baru saja datang. 

Aku hinggap di pucuk bunga Kamboja di samping kamarmu. Berdiam diri. Menatapmu lirih, menunggu waktu yang tepat untuk menyapamu, sehingga kau meyadari kehadiranku. Tiba-tiba rambutmu tersapu sepoi, saat itu kau nampak sangat seksi. Saya sepertinya ingin melompat ke atas kepalamu, menjadi mahkota untukmu, sampai kau nampak seperti seorang putri. Tapi saya fikir itu keputusan yang tidak tepat, maka aku lebih memilih diam di tempatku. Memilih untuk tidak merusak suasana. Memilih untuk memandangi seorang gadis yang meskipun tidak mengenakan mahkota sudah terlihat sangat cantik. 

Sebetulnya, saya sudah lama tahu dengan kegemaranmu merawat bunga-bunga sejak saya seringkali lewat di depan rumahmu sebagai tukang sayuran. Setiap pagi kau menyirami bunga-bunga di halaman rumahmu tapi saya tidak pernah dengan sengaja berteriak agar kau tidak menyadariku. Kau pun tidak perlu membeli jualanku, saya lebih memilih mendekatimu sebagai seekor kupu-kupu agar saya lebih lama memandangimu dari jarak yang paling dekat. Dari sudut yang paling nyaman menikmati senyumanmu. Saya kan melompat ke pucuk anggrek Cathaleya favoritmu, lalu kau melihatku dan akan mejulurkan tanganmu kepadaku, berharap saya akan tengger diatas jemarimu. Saya sadar bahwa kesempatan itu tidak akan pernah saya dapatkan jika menjadi seorang manusia.

Kita bertemu lagi pada sore harinya. Kau duduk di teras rumah melukis sketsa taman yang paling indah di dalam kepalamu. Memadukannya dengan keadaan bunga-bunga di halaman rumahmu. Kau akan lebih bersamangat jika salah satu kelopak dari bunga-bunga milikmu telah mekar. Di sanalah kesempatanku beraksi, berusaha hadir sebagai seekor kupu-kupu yang mampu menghidupkan lukisanmu. Saya akan berpose dengan gaya yang paling keren, dengan model yang paling atraktif, atau akan mengambil posisi sudut yang paling tepat di dalamnya. Ketika kau menemukan sesuatu yang sulit untuk kau lukiskan, kau akan mengerutkan keningmu yang lebar itu. Dan ketika kau puas dengan lukisanmu, kau akan tersenyum. 

Andai saja tiba-tiba kau tahu bahwa itu saya, bisa saja aku akan mati kutu kehilangan gaya saat itu juga, meski aku sendiri belum tahu bagaimana gaya terburuk dari seekor kupu-kupu yang sedang mati kutu. Yang kutahu, seekor kupu-kupu apapun itu akan selalu berpenampilan sempurna dalam keadaan apapun. Sejauh apapun kecurigaanmu padaku, saya akan terlihat biasa-biasa saja, bahkan sekalipun kau dengan sengaja memancingku jujur, saya akan tetap terlihat seperti biasanya. Sekalipun pada kenyataannya saya sangatlah gugup saat matamu melirik kepadaku.

Ada satu hal ingin sekali kulakukan tapi tak pernah satu kalipun terwujud. Saya ingin melukismu dari sudut yang paling bahagia di dalam hidupmu. Kemudian mengabadikan lukisan itu di dinding tersunyi dari kehidupanku sekalipun. Tapi itu mustahil bagi seekor kupu-kupu maka saya putuskan akan memandangi wajahmu di tiap-tiap hari di sudut pagi yang paling sunyi. Melukis dagu lancipmu, juga pipi halusmu. Rambut panjangmu, dan hidung mungilmu yang membujur diantara alismu yang tipis.

Sebagai manusia saya sangat pemalu. Untuk menatap wajahmu saja saya sangat malu. Apalagi bicara denganmu. Apalagi membicarakan hal-hal yang paling abu-abu dari kecantikanmu. Dan itu berat, jauh lebih berat dari kemiskinan yang kuhadapi saat ini. Memang beberapa kali kita saling berhadapan dan saling berbicara soal sayur mayur yang hendak kau beli. Kita juga selalu saling menyapa saat kita berpapasan walau saat itu kita tidak sedang dalam posisi sebagai penjual dan pembeli. Terus terang saja saat kita saling bertatapan saya seperti ingin kabur dari tatapan matamu yang tajam itu.

Untung saja saya bisa berubah menjadi seekor kupu-kupu. Dengan menjadi kupu-kupu, saya tidak perlu malu. Setiap pagi, siang, dan sore hari saya bisa datang menemuimu. Lalu hinggap di pucuk bunga kamboja di samping rumahmu untuk menatapmu dari jauh. Menatap wajahmu sampai puas. Memuji-muji kecantikanmu. Bahkan mangatakan bahwa aku mencintaimu. No Problemkalau kau tidak mendengarnya. Saya tidak perlu jawaban sedikitpun. Bagiku, mencintaimu tidak membutuhkan jawaban apapun. Bahkan satu patah kata dari mulutmu untuk menjawabnya itu tidak perlu. Mencintaimu dengan keadaan yang seperti ini adalah keadilan. Suatu usaha untuk meletakkan posisi keadilan pada tempatnya, karena seekor kupu-kupu kecil tidak akan setimbang dengan seorang perempuan cantik sepertimu.

Lantas orang-orang akan mengataiku tolol?, itu urusan lain. Yang jelas bagiku cinta selalu punya timbangan. Apalagi hanya soal jawaban cinta semata. Hal itu tidak akan pernah berarti apa-apa pada setumpuk perasaan yang punya timbangan untuk menentukan baik dan buruk, benar dan salah. Saya ingin mencintaimu seperti ini saja. Sebagai seekor kupu-kupu yang tidak punya daya dan upaya. Mungkin Itu jauh lebih berperasaan bagiku.

Soal timbangan berat itu !?, Bukankah cinta selama ini tumbuh tidak di dalam ruang yang hampa!?. Bukankah cinta tumbuh dari hati yang terus menerus diisi dengan kekaguman, kerinduan, dan kesamaan !?. Dan kenyataannya, kita tidak diciptakan sama dengan seluruh perasaan-perasaan itu.

Silakan lanjutkan aktivitasmu! dan saya juga melanjutkan seluruh perasaanku.

Lupakan soal perasaan-perasaan itu agar kau bebas menyapu halaman saat aku sibuk mengepakkan sayap, terbang berputar-putar di atas bunga-bungamu, lalu pindah ke atas dahan pohon mangga. Silahkan tetap menyirami bunga saat aku bertengger di sana. Tetaplah melukis sketsa, tetaplah dengan kehidupanmu, tetaplah dengan ketidaktahuanmu tentang perasaanku. Sehingga ketika aku bebas hinggap di kelopak bunga manapun sambil memandangimu. 

Aku tidak pernah melihat kau menangis. Dan lebih baik jangan pernah menangis. Saya tidak sanggup melihat air mata mengubah keindahan bolamatamu yang putih itu menjadi kelabu. Kau boleh lakukan apa saja asalkan jangan bersedih. Itu teramat berat. Sayang jika air mata itu menghapus senyumanmu yang indah. Kau lebih pantas terus tersenyum ketimbang menangis.

Tapi mungkin pula, nanti, akan ada seseorang yang mengunjungimu dan menemanimu mengobrol di teras rumah, sambil menyatakan kata-kata maaf padamu sehingga kau akan semakin menitikkan air mata. Saya tidak tahu apa yang kalian bicarakan tapi kalian masih saja saling mengalirkan air mata. Sepertinya kalian sedang saling menyesali suatu keadaan. Sebuah kenangan yang terjebak di dalam masa lalu kalian. 

BAGAIMANA KALAU SAYA MENJADI KUPU-KUPU SAJA ?

Kira-kira, bagaimana kalau saya menjadi kupu-kupu saja?

Menjadi kupu-kupu yang bebas terbang. Melihatmu. Menengokmu. Menjengukmu. Menyapamu, walaupun tidak dengan sapaan mesra. Saya datang ke halaman rumahmu. Terbang kesana kemari, melompat dari ranting-ranting bunga ke ranting-ranting bunga yang lainnya di taman rumahmu. Hanya kadang-kadang aku akan lebih banyak hinggap di bunga Kamboja tua yang rimbun di samping rumahmu. Yang ranting-rantingnya menjulur ke depan jendela kamarmu. Akan ada satu-dua-tiga kupu-kupu yang datang menemaniku dan kau tidak tahu kupu-kupu mana yang lebih sering datang ke hadapan kamarmu. 

Akan ada suatu hari yang tidak akan pernah kau perkirakan, ketika saya datang ke hadapanmu. Jika tak bisa memasuki kamarmu maka saya akan terbang kesana kemari mengitari jendela sambil bernyanyi lembut, dengan lirik lagu paling dahsyat yang bisa membuatmu jatuh cinta. Tapi kau tidak bisa mendengarkan suaraku. Dan itu jauh lebih baik. Karena itulah aku lebih memilih menjadi kupu-kupu ketimbang menjadi burung gereja yang suaranya dapat kau dengarkan. Di sudut kamar berwarna merah mudamu kau menikmati mimpi-mimpimu, menatap langit-langit kamarmu sambil memikirkan sesuatu yang entah apa yang bisa membuatmu tersenyum sangat manis saat itu.

Baiklah, tanpa perlu menunggu kesepakatanmu maka sekarang saya telah benar-benar menjadi kupu-kupu putih dengan bintik-bintik kuning di sayapku. Seekor kupu-kupu dengan perpaduan warna yang satu kalipun tidak pernah kau lihat sepanjang hidupmu. Pertama kali saya datang sebagai seekor kupu-kupu kau sedang duduk menghadap keluar jendela, menatap langit nan luas, menatap sawah-sawah hijau yang membentang jauh di hadapanmu. Kau memilih menikmati pemandangan-pmandangan itu sambil memikirkan sesuatu yang entah itu apa. Padahal saat itu saya sudah terbang kesana kemari, melompat dari pucuk ke pucuk, mencari-cari perhatian tapi kau tak bergeming, kau tidak bisa diganggu. Khayalanmu lebih penting dari seekor kupu-kupu yang baru saja datang. 

Aku hinggap di pucuk bunga Kamboja di samping kamarmu. Berdiam diri. Menatapmu lirih, menunggu waktu yang tepat untuk menyapamu, sehingga kau meyadari kehadiranku. Tiba-tiba rambutmu tersapu sepoi, saat itu kau nampak sangat seksi. Saya sepertinya ingin melompat ke atas kepalamu, menjadi mahkota untukmu, sampai kau nampak seperti seorang putri. Tapi saya fikir itu keputusan yang tidak tepat, maka aku lebih memilih diam di tempatku. Memilih untuk tidak merusak suasana. Memilih untuk memandangi seorang gadis yang meskipun tidak mengenakan mahkota sudah terlihat sangat cantik. 

Sebetulnya, saya sudah lama tahu dengan kegemaranmu merawat bunga-bunga sejak saya seringkali lewat di depan rumahmu sebagai tukang sayuran. Setiap pagi kau menyirami bunga-bunga di halaman rumahmu tapi saya tidak pernah dengan sengaja berteriak agar kau tidak menyadariku. Kau pun tidak perlu membeli jualanku, saya lebih memilih mendekatimu sebagai seekor kupu-kupu agar saya lebih lama memandangimu dari jarak yang paling dekat. Dari sudut yang paling nyaman menikmati senyumanmu. Saya kan melompat ke pucuk anggrek Cathaleya favoritmu, lalu kau melihatku dan akan mejulurkan tanganmu kepadaku, berharap saya akan tengger diatas jemarimu. Saya sadar bahwa kesempatan itu tidak akan pernah saya dapatkan jika menjadi seorang manusia.

Kita bertemu lagi pada sore harinya. Kau duduk di teras rumah melukis sketsa taman yang paling indah di dalam kepalamu. Memadukannya dengan keadaan bunga-bunga di halaman rumahmu. Kau akan lebih bersamangat jika salah satu kelopak dari bunga-bunga milikmu telah mekar. Di sanalah kesempatanku beraksi, berusaha hadir sebagai seekor kupu-kupu yang mampu menghidupkan lukisanmu. Saya akan berpose dengan gaya yang paling keren, dengan model yang paling atraktif, atau akan mengambil posisi sudut yang paling tepat di dalamnya. Ketika kau menemukan sesuatu yang sulit untuk kau lukiskan, kau akan mengerutkan keningmu yang lebar itu. Dan ketika kau puas dengan lukisanmu, kau akan tersenyum. 

Andai saja tiba-tiba kau tahu bahwa itu saya, bisa saja aku akan mati kutu kehilangan gaya saat itu juga, meski aku sendiri belum tahu bagaimana gaya terburuk dari seekor kupu-kupu yang sedang mati kutu. Yang kutahu, seekor kupu-kupu apapun itu akan selalu berpenampilan sempurna dalam keadaan apapun. Sejauh apapun kecurigaanmu padaku, saya akan terlihat biasa-biasa saja, bahkan sekalipun kau dengan sengaja memancingku jujur, saya akan tetap terlihat seperti biasanya. Sekalipun pada kenyataannya saya sangatlah gugup saat matamu melirik kepadaku.

Ada satu hal ingin sekali kulakukan tapi tak pernah satu kalipun terwujud. Saya ingin melukismu dari sudut yang paling bahagia di dalam hidupmu. Kemudian mengabadikan lukisan itu di dinding tersunyi dari kehidupanku sekalipun. Tapi itu mustahil bagi seekor kupu-kupu maka saya putuskan akan memandangi wajahmu di tiap-tiap hari di sudut pagi yang paling sunyi. Melukis dagu lancipmu, juga pipi halusmu. Rambut panjangmu, dan hidung mungilmu yang membujur diantara alismu yang tipis.

Sebagai manusia saya sangat pemalu. Untuk menatap wajahmu saja saya sangat malu. Apalagi bicara denganmu. Apalagi membicarakan hal-hal yang paling abu-abu dari kecantikanmu. Dan itu berat, jauh lebih berat dari kemiskinan yang kuhadapi saat ini. Memang beberapa kali kita saling berhadapan dan saling berbicara soal sayur mayur yang hendak kau beli. Kita juga selalu saling menyapa saat kita berpapasan walau saat itu kita tidak sedang dalam posisi sebagai penjual dan pembeli. Terus terang saja saat kita saling bertatapan saya seperti ingin kabur dari tatapan matamu yang tajam itu.

Untung saja saya bisa berubah menjadi seekor kupu-kupu. Dengan menjadi kupu-kupu, saya tidak perlu malu. Setiap pagi, siang, dan sore hari saya bisa datang menemuimu. Lalu hinggap di pucuk bunga kamboja di samping rumahmu untuk menatapmu dari jauh. Menatap wajahmu sampai puas. Memuji-muji kecantikanmu. Bahkan mangatakan bahwa aku mencintaimu. No Problemkalau kau tidak mendengarnya. Saya tidak perlu jawaban sedikitpun. Bagiku, mencintaimu tidak membutuhkan jawaban apapun. Bahkan satu patah kata dari mulutmu untuk menjawabnya itu tidak perlu. Mencintaimu dengan keadaan yang seperti ini adalah keadilan. Suatu usaha untuk meletakkan posisi keadilan pada tempatnya, karena seekor kupu-kupu kecil tidak akan setimbang dengan seorang perempuan cantik sepertimu.

Lantas orang-orang akan mengataiku tolol?, itu urusan lain. Yang jelas bagiku cinta selalu punya timbangan. Apalagi hanya soal jawaban cinta semata. Hal itu tidak akan pernah berarti apa-apa pada setumpuk perasaan yang punya timbangan untuk menentukan baik dan buruk, benar dan salah. Saya ingin mencintaimu seperti ini saja. Sebagai seekor kupu-kupu yang tidak punya daya dan upaya. Mungkin Itu jauh lebih berperasaan bagiku.

Soal timbangan berat itu !?, Bukankah cinta selama ini tumbuh tidak di dalam ruang yang hampa!?. Bukankah cinta tumbuh dari hati yang terus menerus diisi dengan kekaguman, kerinduan, dan kesamaan !?. Dan kenyataannya, kita tidak diciptakan sama dengan seluruh perasaan-perasaan itu.

Silakan lanjutkan aktivitasmu! dan saya juga melanjutkan seluruh perasaanku.

Lupakan soal perasaan-perasaan itu agar kau bebas menyapu halaman saat aku sibuk mengepakkan sayap, terbang berputar-putar di atas bunga-bungamu, lalu pindah ke atas dahan pohon mangga. Silahkan tetap menyirami bunga saat aku bertengger di sana. Tetaplah melukis sketsa, tetaplah dengan kehidupanmu, tetaplah dengan ketidaktahuanmu tentang perasaanku. Sehingga ketika aku bebas hinggap di kelopak bunga manapun sambil memandangimu. 

Aku tidak pernah melihat kau menangis. Dan lebih baik jangan pernah menangis. Saya tidak sanggup melihat air mata mengubah keindahan bolamatamu yang putih itu menjadi kelabu. Kau boleh lakukan apa saja asalkan jangan bersedih. Itu teramat berat. Sayang jika air mata itu menghapus senyumanmu yang indah. Kau lebih pantas terus tersenyum ketimbang menangis.

Tapi mungkin pula, nanti, akan ada seseorang yang mengunjungimu dan menemanimu mengobrol di teras rumah, sambil menyatakan kata-kata maaf padamu sehingga kau akan semakin menitikkan air mata. Saya tidak tahu apa yang kalian bicarakan tapi kalian masih saja saling mengalirkan air mata. Sepertinya kalian sedang saling menyesali suatu keadaan. Sebuah kenangan yang terjebak di dalam masa lalu kalian. 

Minggu, 01 Maret 2020

DITELAN BUMI

Orang-orang, siapa pun, dan dari mana pun asalnya, memang tak pernah bertanya keberadaan sisa penduduk pulau itu, semua jejak kisah dan jerit rintih meresap alami, mengendap dan hilang ke dalam tanah. Seperti berita dalam koran bekas. Padahal mereka semua juga manusia, yang paham tentang hakikat kehilangan. Tetapi bukankah segenap cerita tentang manusia di tempat ini telah usai? Ya. Sama seperti benda-benda lain di tempat ini, ceritanya pun telah lama hilang, menjadi debu.

Sebetulnya, cerita tentang cerita ini sudah sangat sering dia ceritakan. Hingga aku sudah hapal betul ceritanya. Hari ini, dia telah berhasil menyeretku ke dalam ceritanya. Membuktikan bahwa ini bukanlah sekedar cerita, tapi kenyataan.

Di kepalanya tersimpan jutaan kenangan ganjil yang mengiris-iris. Di dalam hatinya buncah perasaan yang tidak diketahui perasalannya. Yang jika hati itu dibuka maka ribuan debu-debu cerita akan tumpah dan meluap seperti pasir waktu yang telah beranjak dari satu waktu ke waktu yang baru. Hati itu akan bercerita dengan sangat rapi dan detail tentang banyak hal, tentang ribuan hari dan puluhan purnama, tentang orang-orang dengan inisial A sampai Z, dan tentang perasaan-perasaannya saat menyebut seluruh ingatan yang terkubur di bawah sana.

Tempat ini sudah jauh berbeda dengan tempat yang dia kenal dulu. Tempat yang sekujur bangunan dan tanahnya serta jurang semestanya kini telah berselimut debu. Tempat yang jika ditarik jauh ke atas langit, ke angkasa luar, hanya akan terlihat seperti nokhta hitam yang tidak memiliki arti apa-apa. Bahkan satu diantara banyaknya cerita yang pernah terpahat di tempat ini tidak akan mampu menceritakan semuanya. Dia sendiri, menjadi saksi hidup dari puing-puing ini. 

Setelah peristiwa malam itu terjadi maka tempat ini seketika telah berubah sebagai hamparan debu. Tanah yang dulunya subur nan hijau kini berubah menjadi pasir debu yang jauh lebih tandus dari gurun sahara. Hanya tanah hitam dengan desain retak-retak yang tidak simetris dan berpola acak, yang bisa menghibur mata yang kian lama kian lebam oleh guyuran debu yang terseret angin.

“Aku telah begitu hafal dimana letak satu per satu rumah di kampung ini, sekalipun seluruh sketsa nyatanya telah tertimbun dengan tanah sejauh puluhan meter ke bawah sana. Di titik ini, di tempatku berdiri ini, aku masih ingat pohon jambu air pernah tumbuh subur di bawah sana. Konon, Pohon jambu itu sudah berumur ratusan tahun, sudah tumbuh sebelum bapakku lahir. Daun-daunnya rimbun mengayuh ke tanah. Buahnya sangat banyak. Tempat bermain paling seru bagi anak-anak di kampung ini. Hari ini, daun-daun pohon jambu itu sedang menggelitik telapak kakiku, juga ingatanku tentang puluhan tahun lalu, bahwa di titik ini aku tumbuh bersama sebatang pohon jambu air yang dahulu kami panjati di setiap sore sepulang mengaji di langgar kampung sebelah”.

Letak rumahnya tak jauh dari pohon ini, sekitar puluhan rumah ke arah barat melewati pematang-pematang sawah dan sebuah jembatan yang melintang membelah sungai. Tentu, dia masih hafal betul, bagaimana rumah itu tumbuh sebagai rumah harapan. Rumah yang penuh dengan kehangatan. Rumah bahagia. Rumah yang di dalamnya hanya ada tawa kebahagiaan. Rumah yang tidak mengenal kata sedih. Di dalam sana ibunya tertawa, bapaknya tertawa, adiknya tertawa, dan mereka semua tertawa. Bahkan seringkali mereka tidak sadar bahwa mereka tak semestinya tertawa.

“Aku masih ingat, suatu waktu ibu tertawa menertawai tiang penyanggah atap yang sudah lapuk. Karena tiang itu miring maka rumah itu juga miring, menjadi tidak simestris, agak serong ke kiri, dan nyaris sempurna sebagai rumah jajar genjang. Karena ibu tertawa bapak pun ikut tertawa, lalu mengambil gulungan tali dan mengikatkan tiang itu ke batang pohon mangga yang tumbuh di sudut halaman. Di belakang sana adik pun tertawa saat meminta makan, gelak tawa adik semakin nyaring saat ibu menyuapinya sambil mengatakan “hari ini tidak ada lauk, kita makan nasi putih saja nak”, lalu ibu tertawa..”.

Tempat ini bukan lagi menjadi tempat reunifikasi terhadap jutaan peristiwa masa lalunya, tapi telah berubah menjadi tempat ziarah yang tak berbunga. Mata air ikut tertimbun oleh debu dari sejak puluhan tahun lalu, yang tersisa hanyalah air mata dari hempasan rindu yang terus menderu dari hari ke hari, dari peristiwa ke peristiwa. Maka, cukuplah air matanya yang membasahi tanah kuburan ini. Tanah kuburan Ibu-bapaknya bersama seluruh orang-orang yang pernah tumpas dalam sekejap di tempat ini. 

“Di luar sana aku belum bisa menemukan betapa berartinya kebahagiaan selain dari gelak tawa mereka. Tawa-tawa yang membuatku merasakan rindu pada ibu, pada bapak, pada adik yang juga ikut tertimbun di bawah sana. Aku pun harus tertawa membayangkannya agar tawa dari ibu dan bapak kian terasa. Dalam kedatangan ini, aku mulai tak mengerti, bahkan air mata yang melompat nakal dari kedua bola mataku pun ikut tertawa menertawakan keadaanku. Menertawai kesedihanku, kerapuhanku, dan seluruh kerinduanku tentang mereka. Sungguh ingatan itu masih sangat dingin dan rapuh”.

Bagaimana pun, kenangan tentang tempat ini dan seluruh orang-orang yang ada di dalamnya akan tetap berjalan, bersama tumpukan kisah yang berkelindan, menerabas masa lalu yang tumbuh sewaktu-waktu. Ingatan itu akan mengucur deras setiap saat di dalam kepalanya. Menerabas ruas-ruas waktu, menjadi rindu yang tidak akan pernah pudar ditelan masa. Dia akan selalu punya cara, entah bagaimana, untuk tetap menganggap tempat ini masih berbentuk seperti sedia kala.

Debu-debu itu, awalnya hanyalah air keruh yang hidup di perut bumi. Menggeliat seperti rindu yang ingin buncah dari tempatnya. Ombang-ombak pantai menderu kian deras. Tanah ikut bergoyang, Air laut surut kemudian pasang, lalu melompat ke daratan sebagai gelombang besar yang akan menyapu seluruh isi bumi. Gelombang yang pada akhirnya bermetamorfosis sebagai gelombang air mata dan menderu sebagai jeritan kesedihan bagi semuanya. Inilah tsunami kematian yang paling dahsyat yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Semua orang di tempat ini mati terkubur hidup-hidup dalam sekejap mata. Menjadi debu dan guyuran air mata.

Dia sendiri, baru saja datang ke tempat ini. Setelah puluhan tahun hidup di belahan dunia yang lain. Berharap ibu bapaknya beserta orang-orang kampung menyambutnya sebagai seorang sarjana ilmu sastra dari salah satu universitas ternama di Eropa. Padahal, saat kepergiaannya, dia diantar oleh hampir seisi kampung hingga ke dermaga pulau. Beberapa dari mereka lebih jauh lagi, mengantarnya hingga di labuhan kota. Ini sesuatu yang langka, baru, dan tidak pernah terjadi. Seorang anak dari pulau kecil ini bersekolah hingga ke negeri orang.

Ingatan itu masih cukup rapi di kepalanya. Mereka berbaris saat melepasnya di labuhan. Haru-harap yang menderu di dada mereka membuatnya pulang di detik-detik paling mustahil untuk menyuruh kapal yang ditumpangi anak itu mundur kembali.

“Aku masih ingat, ibu guru Lesti, salah satu dari mereka yang ikut mengantarku. Seorang guru yang hati dan fikirannya selapang gurun sahara dan seindah padang bunga Cataleya.  Ibu guru Lesti, dia lah yang mengajariku di sekolah, yang paling tabah menghadapi kenakalan murid-muridnya, termasuk aku. Hingga pada akhirnya ibu Lesti mampu melihat bakat kesustraanku dan mengajakku berlomba di kota hingga lolos dan meraih juara sebagai penulis cerpen terbaik di tingkat Nasional. Dari sanalah beasiswa ke luar negeri itu aku dapatkan”.

Sejenak dia berfikir dan menatap retakan-retakan tanah yang tidak semetris di bawah kakinya.

“Sebetulnya, ini bukanlah ingatan yang rumit. Bu Lesti sering berkirim surat padaku pada tanggal dua puluh dua di tiap-tiap bulan. Mengabarkan tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kampung kami, serta Memotivasiku agar terus giat belajar. Sesekali aku membalas suratnya dan menyampaikan salam pada ibu-bapak, dan pada seluruh teman-temanku, juga seluruh orang-orang di kampung ini. Tapi sebulan setelah bencana itu terjadi surat bu Lesti tak pernah lagi datang. Aku pun tak berfikir panjang, bu Lesti pasti ikut tertelan tanah”.

Dia masih terus mengenang, berziarah dari satu titik ke titik yang lain. Menjumpai beberapa kenangan yang telah terhapus debu. Dan, barulah terasa kesendiriannya saat tiba di ujung jalan, setelah menemukan bahwa segalanya telah betul-betul tiada. Tidak satupun yang tersisa selain dari cerita yang pernah terjadi di tempat ini. Aku yang datang membersamai perziarahannya ini juga ikut terseret ke salah satu bagian cerita yang akan dia ceritakan pada anak cucunya kelak. Bahwa dia bersama calon istrinya yang sekarang menjadi ibu dari mereka telah datang ke tempat ini setelah semuanya terlambat.

Atau dia kan lebih memilih diam saat ditanyai oleh anak-anaknya tentang kampung halamannya. Tentang perasalan bapak dari bapaknya, tentang sanak pamily dan keluarganya. Tapi kurasa tidak, dia tetap akan bercerita pada anak-anaknya tapi dalam gendre cerita humor agar mereka tertawa, dia tertawa, dan semua isi rumahnya ikut tertawa tanpa sadar. Aku mengenalnya sebagai laki-laki yang cerdas, juga sebagai pribadi yang cekatan dalam merekonstruksi cerita-cerita yang tidak masuk akal menjadi masuk akal. Dari cerita yang terbilang sepele menjadi cerita yang serius dan tidak main-main. Dari cerita dramatis menjadi cerita lucu. Dia seorang penulis, pengarang cerita fiksi, cerpenis, dan tentu sebagai bapak yang baik bagi anak-anaknya kelak.


Takalar, 02 Maret 2020. Daeng Palalang. Penulis suka mengenang kenangan.

Sabtu, 29 Februari 2020

SEBUAH CERITA YANG SERIUS DAN TIDAK MAIN-MAIN (AKHIRNYA HARUS INDAH)

Andai bisa memaksa Tuhan, aku kan paksa Tuhan agar kita berjodoh. Tapi ternyata Tuhan tidak suka dipaksa. Dia lebih suka memaksa.

Tuhan seringkali menjadi kejam di posisi-posisi tertentu tapi Tuhan selalu punya alasan atas segala tindakannya. Tuhan juga seringkali menjadi sangat baik bagi setiap orang tapi bisa jadi kebaikan-kebaikan itu hanyalah ujian. Tuhan selalu begitu, bahkan jika kamu sangat membencinya.

Tuhan tidak perlu mengatakan segala maksud tindakanNya. Tuhan hanya mau kamu sadar dan kamu mencari alasannya sendiri. Kamu juga diharapkan untuk tidak terlena pada hal-hal yang dapat membuatmu lupa diri dan lupa Tuhan. Bahkan jika kamu terus menerus mencela dan memaki Tuhan atas dasar ketidakadilan Tuhan, maka itu sesungguhnya tindakan yang paling buruk.

Cerita ini sengaja kutuliskan untukmu agar kau tahu bahwa di zaman lampau, di dataran antah berantah, seseorang pernah mencela Tuhan. Aku membuat cerita ini tampak sangat sempurna hingga kamu percaya bahwa cerita ini benar-benar pernah terjadi. Sekali lagi, ini hanya cerita fiksi sekalipun ceritanya nampak sangat nyata dan benar-benar sempurna.

Alkisah, di suatu zaman hiduplah seorang pemuda yang telah berputus asa dengan nasib buruk. Ketika tak ada lagi yang bisa diharapkan dari hidupnya, ketika tak ada lagi yang bisa dibanggakan setiap kali mata itu terbuka menatap dunia yang muram, lelaki itu pun bersumpah, bahwa setidak-tidaknya ia harus bisa menciptakan sesuatu yang akan memuaskannya kelak, sesuatu yang barangkali akan menjadi satu-satunya sejarah yang tercatat atas namanya. Ya, dan hal itu sudah ada di antara sepasang matanya. Diam-diam, dia ingin menikahi seseorang, dengan sebuah pernikahan yang bahagia.

Tapi kenyataannya semua hal menjadi tidak sempurna, semua hal muncul sebagai kenyataan yang tidak dapat dia genggam dalam telapak tangannya. Dia telah utarakan segala maksud hatinya. Tapi  (maaf, ini sebuah frase yang harus disembunyikan. Frase yang kehilangan kata-kata. Meminjam istilah Cabelagi sang kritikus sastra abad 19 bahwa ini frase sakit hati. Frase yang harus disembunyikan dalam sebuah cerita..%#^**%}}€#%). Maka dari itu, tidak perlu kita tahu detail peristiwanya. Frase itu terlalu kejam. Sebuah frase kesakitan yang serius dan tidak main-main.

Frase itu benar-benar harus disembunyikan. Penulis sengaja menyembunyikannya supaya pembaca tidak berkesimpulan macam-macam.

Baiklah, Sekarang kita melompat pada kejadian setelahnya. Kejadian yang lebih buruk dari kejadian yang mengakibatkan kejadian ini. Tindakan yang bukan hanya sekedar sakit hati. Tindakan yang melahirkan tuduhan yang tajam. Dan tuduhan ini sudah sampai di level paling serius dan tidak main-main. 

28 Maret
Tidak, tidak, ini hanya tanggal ulang tahun lelaki pemeran cerita ini. Kita beralih ke dua hari sebelumnya.

26 Maret
Hari ini, Lelaki itu ingin membawa persoalan ini ke meja peradilan. Dia tidak terima atas nasib buruk kehidupan yang terus bertubi-tubi menimpanya. Dia menyangsi dirinya. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, sesuatu yang menurutnya tidak adil, sesuatu yang baginya tidak pantas ditimpakan padanya. Maka dia bermaksud menuntut Tuhan. 

Menuntut Tuhan????, apa yang harus dituntut pada Tuhan ???, bukankah nasib manusia mengalir seperti air !!??, tak seorangpun yang bisa membendung kecuali Tuhan itu sendiri. Dan bukankah orang-orang yang tidak menerima takdir buruk disebut khianat pada Tuhan !!???. 

Oleh semua orang, tindakan ini adalah kejahatan yang jauh lebih luar biasa dari kejahatan luar biasa. Kejahatan ini benar-benar serius, mengerikan, dan tidak main-main. Perbuatan yang akan dianggap sebagai perbuatan yang melampui batas. Tapi dia tidak main-main maka dia tetap melakukannya.

Semua berawal dari kejadian yang tidak bisa diceritakan dalam frase sebelum ini. Kejadian yang membuat luapan perasaan lelaki itu semakin memuncak dan tidak tertahankan lagi. Kejadian yang tidak bisa diceritakan itu menjadi bom nuklir yang meledak dan membunuh apa saja di sekitarnya, termasuk kewarasan lelaki itu. Itulah sebabnya perkara ini jauh lebih serius untuk diceritakan daripada perkara-perkara lainnya.

‘Menuntut Tuhan’. Sebaris kata dengan objek yang abstrak. Terdengar mudah tapi mustahil. Sekalipun demikian, dia telah memulainya. Pencarian itu diawali pada beberapa orang yang dia anggap dekat dengan Tuhan. Beberapa pertanyaan-pertanyaan sederhana dia tanyakan pada orang-orang itu. Misalnya, dimanakah Tuhan sekarang dan dimanakah peradilan yang layak dijadikan tempat untuk menuntut Tuhan. 

Langkahnya sudah terlalu jauh. Melewati batas. Tidak satu orangpun yang dapat mencegatnya selain dirinya sendiri. Di dalam kepalanya telah tersusun beberapa skenario jahat untuk menyeret Tuhan ke meja peradilan. Ini betul-betul tidak bisa dibiarkan, jika hal itu benar-benar terjadi aku tidak dapat membayangkan kira-kira apa yang akan terjadi pada dunia ini. Iya, Aku takut membayangkannya. Dimana Tuhan akan diseret ke sebuah tempat yang jauh lebih besar dari Tuhan, dan di dalam sana Tuhan sedang duduk sebagai tersangka menghadap majelis hakim dan melaporkan segala alasan-alasan tindakannya pada lelaki itu. 

Ini tidak mungkin terjadi, mustahil, karena Tuhan maha besar, melampui kebesaran dari segala apapun. Tuhan tidak mungkin teradili di dalam sana tapi Tuhanlah yang seharusnya mengadili.

Hal itu tidak boleh terjadi dan mustahil terjadi. Alur cerita ini harus diubah. Jika tidak, penulis cerita ini pun akan ikut terseret ke peradilan Tuhan. Dia kan dianggap sesat dan diganjar hukuman berat.

Baiklah, kalo begitu cerita ini harus benar-benar berubah. Kita kembali pada:

28 Maret
Jangan, jangan, ini masih hari ulang tahun si pemeran cerita ini. Kalau begitu kita melompat sedikit saja. Dalam hitungan jam ke hari berikutnya.

29 Maret
Pukul Dua belas Lewat kosong satu. Jangan, Waktu ini terlalu dramatis. Kita ubah ke pukul Empat lewat seperempat agar cerita ini tidak terkesan dibuat-buat. Di pukul empat lelaki itu terbangun dari tidurnya. Seperti biasa, di jam-jam ini dia bangun lalu sembahyang. Dia laki-laki yang baik, rajin sembahyang, taat ibadah, dan rendah hati. 

Saat dunia menjadi sunyi dan gelap. Malam menjadi dingin, beku, dan hanya samar rembulan yang bersinar di tepi langit. Dia bangun dengan wajah yang kelabu. Hanya masalah yang tampak sempurna di depan matanya. Dan hanya dia yang dapat melihatnya dengan jelas. Sangat gelap, dingin, dan sengaja dia gelapkan. Tak satupun yang boleh tahu, karena itulah dia putuskan menyumbat mulutnya rapat-rapat. Sebentar lagi dia kan tumpahkan segalanya lewat doa-doa.

Selubung cobaan yang menggenapkan kekecawaannya sudah cukup membuatnya meradang sakit. Namun setelah peristiwa penolakan itu terjadi kelabu ngiang menderanya. Kedua bola matanya tidak lagi mampu melihat rembulan bersinar terang. Bintang kejora tertutup dengan awan kelabu. Wajah perempuan itu terus terbayang-bayang Tepat di hadapan mukanya. Menjadi tabir gelap yang menutupi matanya.

Sebetulnya, lelaki itu tahu soal sifat-sifat Tuhan. Dia tahu bahwa Tuhan Maha Sempurna, tapi rasa sakit hati lelaki itu jauh lebih sempurna dan lebih serius dari segala pengetahuannya tentang Tuhan. Maka dia mulai dengan mencari-cari Tuhan di sudut malam yang paling sunyi. Jika Tuhan datang dia kan sangat berbahagia, apalagi jika Tuhan mengabulkan permintaannya dalam waktu yang tidak lama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tentu, pertemuan ini harus dia rahasiakan, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Jika tidak, semua orang pasti kan menuding Tuhan tidak adil. Dan Ini harus menjadi rahasia dalam waktu yang panjang. 

Baginya, Perkara ini sebetulnya sederhana. Cukup Tuhan datang. Jika Tuhan tidak mau datang, cukup mengutus salah satu dari jutaan malaikat cinta tuk mengabulkan permintaannya. Selama ini Niat dan doa-doanya tidak berjalan sesuai harapan. Dari semua doa-doa dan air mata yang tumpah di setiap waktu, Tuhan tak pernah datang dalam rupa yang dia harapkan. 

Tunggu dulu, sebelum lanjut, aku harus sampaikan bahwa jangan salah sangka pada diksi itu. ‘Tuhan tak pernah datang dalam rupa yang dia harapkan’. Dia tidak pernah berfikir bahwa Tuhan akan datang dalam rupa yang sempurna seperti sosok sinar dengan pantulan cahaya-cahaya yang menyilaukan di sekujur tubuhnya lalu mengatakan “katakanlah apa keinginanmu !”. Dia hanya berharap malam ini Tuhan datang serupa petunjuk ke dalam hati perempuan yang telah menolaknya dan lewat petunjuk itulah perempuan itu datang membawa dirinya dan meminta maaf padanya.

Malam ini puncaknya, menjadi malam yang paling gelap. Pandangannya sudah betul-betul kosong pada doa-doa yang dia panjatkan. Di atas sana wajah rembulan tak lagi seindah wajah perempuan itu. Dia telah kehilangan cahaya pengharapan. Wajah indah yang seharusnya telah terpahat rapi di sepasang bola matanya tapi wajah itu tak kunjung datang walau untuk meminta maaf.

Dia ingin perempuan itu merubah keputusannya malam ini juga. Ini salah satu tuntutannya yang paling serius. Terlihat Seperti desakan yang mengharuskan Tuhan mengabulkan tuntutan itu malam ini juga. Jika tidak, maka dia mengancam mengumpulkan jutaan massa, memobilisir orang-orang yang sependeritaan dengannya, lalu berdemo menuntut Tuhan di jalan-jalan kehidupan yang paling sunyi. Tapi ini bukan aksi makar, dia hanya menuntut keadilan ditegakkan.

Pagi sudah tiba, mentari bersinar di ujung ufuk, sejak malam tadi dia tak pernah lagi berdoa. Ini tindakan yang sangat serius, bahkan tidak main-main. Dia kemudian membuat pengumuman di seluruh kanal media sosialnya bahwa siapapun yang pernah kecewa pada keputusan Tuhan maka diharapkan berkumpul di sepanjang jalan kesunyian, pada pukul 10.00 teng. Dia tekankan lagi kata-katanya, bahwa siapapun itu, tak terkecuali, yang jelas pernah kecewa pada Tuhan.

Ini betul-betul serius, berbahaya, dan mengerikan. Sebentar lagi Tuhan akan didemo oleh seorang hambaNya yang taat. Tapi, mana bisa Tuhan didemo, dituntut dengan tudingan tidak adil, dicaci maki di tengah-tengah jalan, dan dipaksa menyerah pada keputusannya. Tiba-tiba Ban-ban akan terbakar, asap-asap api mengepul di tengah kerumunan, dan lelaki itu berteriak dengan toa’ pengeras suara, mencaci maki Tuhan serta mengata-ngatainya tidak adil. Ini kemungkinan cerita yang akan terjadi sebentar lagi. Dan itu tidak bisa dibiarkan. Tidak boleh terjadi. Sekali lagi alur cerita ini harus berubah. Tidak boleh sebebal ini. Jika tak segera diubah maka Tuhan pasti kan murka.

Sebelum terlambat, maka cerita ini harus diluruskan. Ini benar-benar berbahaya.

22 Maret
Ok, Saatnya kita ubah ceritanya. Sekarang kita bergeser tepat satu minggu sebelum kejadian yang mengerikan itu terjadi.

Kita ubah skenario awalnya agar kejadian itu tidak terjadi. Agar tidak ada satu frase kesedihan yang tidak bisa diceritakan di dalam cerita ini. Agar tidak ada penolakan, sehingga tidak ada juga tuntutan yang mengerikan pada Tuhan di masa yang akan datang.

Semuanya dimulai di suatu pagi, di sebuah taman, di satu pertemuan yang tidak terencana, di dalam deretan dialog yang memunculkan satu kesimpulan.

“Huussttt.. kamu diam, coba dengar suara angin itu. Lembut, menenangkan..”. Perempuan itu meletakkan telunjuk di bibir  lelaki itu.

Lalu mereka benar-benar diam. Tanpa suara. Yang ada hanya suara hembusan angin. Yang lembut,, tenang, mengalun.

“Tutup matamu”, ajak perempuan itu. 

Lalu Mereka berdua menutup mata. Dalam empat sampai lima lompatan detik.

“Coba rasakan bagaimana angin menyentuh kulitmu. Merangkak dari ujung jemarimu. Membelai seluruh tubuhmu. Dingin. Halus. Damai..”. Urai perempuan itu.

“Jangan buka matamu”. Masih perempuan itu.

“Coba bayangkan bunga-bunga di sekitar kita sedang bergoyang, lembut, halus. Butir-butir embun sedang merangkak pelan, perlahan, lalu jatuh dari ujung daun kemudian lebur ke dalam tanah. Di atas kepala kita, daun-daun pohon bergesekan, coba dengarkan, suaranya halus, senyap. Lihat, ada yang tanggal, meliuk lambat, terombang-ambing di dalam udara, dan jatuh tepat di pilipis kananmu. Tapi jangan buka matamu, pejamkan saja terus. Sabarlah. Sedikit lagi. Dia pasti datang”. Urai perempuan itu.

Dan mereka berdua masih memejam mata.

“Nah. Dia sudah datang. Hangat. Lembut. Damai.”. Tutup perempuan itu.

Mereka berdua pasrah pada sinar mentari yang datang menyentuh tubuhnya. Perempuan itu yang paling bahagia. Dia teramat senang karena masih dapat merasakan hangat mentari di pagi ini.

“Biasa saja. Tidak ada yang istimewa”. Ucap laki-laki itu sambil membuka mata.

“Kamu memang tidak pekaa, tidak pernah mengerti, tidak punya perasaan”

“Tapi kamu nikmati kan..”

“Bukan, tepatnya terpaksa”

Maaf, percakapan ini harus dibuat tegang. Kita perlu kembali dramatis.

“Biar, yang penting kamu cinta. Coba lihat batu-batuan itu. Batu-batu atol yang seharusnya tidak disini, seharusnya mereka ada di sungai, mereka terpaksa, mereka tidak punya pilihan. Tapi mereka tetap menikmati keberadaannya sebagai batu hiasan agar taman ini menjadi indah. Sekarang mereka harus disini. Sejak mereka diletakkan di tempat itu sebagai hiasan di taman ini mereka tak pernah berpindah dari tempatnya, kecuali seseorang datang, memungutnya dan memindahkannya”.

“Aku tahu maksudmu. Tapi Kamu keliru. Cinta tak seperti itu. Coba lihat ke arah air mancur itu. Di ujung sana. Dibalik guyuran air mancur itu. Sebetulnya yang ingin aku tunjukkan bukanlah guyuran air mancur itu tapi sepasang kekasih yang sedang duduk dibalik, sedang memadu kasih. Sejak tadi mereka berdua di sana, bahkan lebih dahulu dari kedatangan kita di tempat ini. Coba perhatikan sekali lagi, mereka tampak bahagia. Begitulah cinta, harus pekaa, harus berperasaan agar dapat merasakan hal-hal yang halus dan tidak berwujud, seperti kebahagiaan mereka. Cinta juga harus melihat hal yang tidak terlihat di depan mata, bahkan lebih jauh dari itu, yang datang lewat isyarat dan tanda-tanda”.

Lelaki itu tersenyum, dia tercubit oleh kata-kata perempuan yang kian lama semakin cerewet, yang sedang duduk sampingnya ini.

“Tapi kamu mau kan menikah denganku ?”.

Lelaki itu diam sejenak.

“Ini serius, bukan main-main”. Sambung lelaki itu.

Nah, disinilah letaknya. Letak dari frase serius dan tidak main-main itu. Frase kesedihan yang tidak boleh diceritakan. Dan, Frase itu terletak tepat setelah frase ini. 

Ini serius, cerita ini harus diubah. Jika diubah maka tidak boleh diceritakan di dalam cerita ini. Jika kamu menolak mengubahnya, kita lebih baik berhenti, cukup sampai disini, kita akhiri cerita ini saja. 

Sebagai penulis dari cerita ini, Aku tidak ingin menceritakannya. Aku hanya ingin sampaikan bahwa sejak tadi mereka berdua memperhatikan kita. Sejak mereka  pertama kali duduk di kursi itu, kemudian saling memejam mata, lalu menunjuk ke arah kita. Mereka pasti mengira bahwa kitalah sepasang kekasih yang sedang duduk menikmati pancuran air mancur dan saling berbagi kasih di sebuah sudut taman dan tidak menyadari keberadaan mereka berdua. 

Lihat lelaki itu, dia berdiri, kemudian pergi. Sementara perempuan itu masih di tempatnya tenggelam dalam genangan air mata yang mendalam. 

Tapi karena aku telah berjanji bahwa cerita ini harus diubah dengan akhir cerita yang bahagia, agar tidak ada tuntutan dan demonstrasi pada Tuhan. Cerita ini harus tampak serius dan benar-benar sempurna. Ok, mari kita ubah.

Lihat lelaki itu, dia berdiri, nampak sangat senang, kemudian pergi dengan hati yang berbunga-bunga. Sementara perempuan itu masih di tempatnya, tersenyum sendiri, tersenyum pada bunga Cataleya yang tumbuh tepat di hadapannya sambil memegangi jemari manisnya. 

Waooowww... lihat !!, ada sesuatu yang baru di dalam jemari perempuan itu. Cincin emas, iya, itu cincin emas. Cincin lamaran yang baru saja dia terima dari lelaki itu.

Percayalah pada cerita ini. Bukan hanya Tuhan yang perlu kau percaya, tapi aku juga, cerita-ceritaku.

Takalar, 01 Maret 2020. Daeng Palang. Penulis fiksi yang ingin cerita-ceritanya dianggap serius dan benar-benar nyata.


Senin, 24 Februari 2020

CATALEYA

Tidak ada yang lebih rapuh dari masa lalu, selain masa depan yang terlampau tidak jelas untuk diarungi. Mak puak pernah berpesan, lihatlah dirimu lewat masa lalu karena di sanalah tempat yang paling nyaman menerawang masa depan. 

DERAP langkahnya terlalu berat melangkah di jalan setapak yang sedang dia lalui saat ini, maka sesekali dia menoleh ke belakang. Melihat-melihat di sekitarnya. Pada bunga-bunga yang tumbuh berbaris di pinggir jalan.

Lelaki itu sedang mengamati deretan bunga Catalya yang berbaris di halaman rumah sakit ketika seorang perempuan tua menyentuh pundaknya.

Sore itu adalah awal musim hujan, setelah berbulan-bulan dengan suhu sepanas api, kini bunga-bunga mulai bermekaran, kuncup bunga Catalya adalah yang pertama menarik perhatiannya.

“Anggrek Catalya Bunga berkuncup runcing. Aku membayangkan mereka berbaris sebelum tahun baru datang. Dan mekar saat detik-detik tahun baru mulai berganti”.

Dia masih saja diam tak bergeming. Di tepi teras kamar rumah sakit, di bawah riuh burung-burung gereja yang birahi. Dia membayangkan seberapa rapuh kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. 

Meskipun nasib sudah ditentukan sebelum semua betul-betul terjadi tapi dia tetap berharap pada nasib baik di tahun baru ini. Nasib yang dapat mengangkat level ceritanya agar pembaca kian merasa sedang memerankan salah satu lakon dalam cerita.

“Aku hanya seorang pengarang muda. Hidup bergantung pada rimbunnya kata-kata. Jika aku kehilangan kata-kata maka hilang pulalah diriku. Bunga-bunga Catalya, mereka akan berbaris sebagai deretan kata-kata dalam cerita yang baru. Akan mulai kuceritakan sejak detik pergantian tahun ini”.

Tahun baru berarti cerita baru. Cerita baru berarti peruntungan baru. Juga nasib baru. Pokoknya semua hal harus baru agar hasilnya juga baru.

Karena proses kehidupan yang harus terus terbarukan maka seseorang yang bekerja sebagai seorang penulis pasti tahu bahwa tahun baru berarti diksi-diksi baru, lakon baru dengan nama-nama baru, serta penghasilan baru yang seharusnya kian meningkat.

Seorang pengarang cerita pendek mengisi dompetnya dari peruntungan perasaan pembaca. Semakin banyak yang menyenangi ceritanya maka semakin deras pesanan cerita pendek dari redaktur. Maka setelah semua kewajiban pembayaran dari persalinan istrinya lunas dan tuntas dia berjanji akan pulang ke rumahnya dan langsung kembali menulis. Sore ini, setelah antrian cek out rumah sakit.

Masih ada waktu yang cukup tuk menulis tiga hingga lima buah cerita pendek sampai lonceng pergantian tahun berbunyi. Setidaknya salah satu diantaranya bercerita tentang Cataleya, tahun baru, bunga-bunga baru, dan harapan-harapan baru.

“Ini waktu yang tepat untuk menulis sebuah cerita yang tepat. Cerita tentang Bunga kecil yang akan tumbuh bertunas di rumah kami. Aku berharap dia akan mewangi di seluruh sudut ruang dan kamar. Menjadi pelipur lara dan menjadi dewi keberuntungan dalam rumah kami di tahun-tahun yang akan datang”.

Kebetulan, Bunga, anak pertamanya, baru saja lahir malam tadi. Bertepatan saat kuncup bunga-bunga Cataleya mulai bermekaran.

“Anak itu telah lahir sebagai tunas harapan. Pemecah kebekuan dalam rumah tangga. Dia telah lahir membawa harum dan akan hidup dalam ribuan ceritaku selanjutnya”.

Sekalipun dia tidak memiliki kekuatan supranatural untuk mengubah masa depan tapi dia memiliki jutaan kata-kata untuk menciptakan dramaturgi dalam ribuan cerita-cerita pendek. Bunga adalah energi dalam cerita ini. Tokoh sentral yang menggerakkan cerita fiksi ini menjadi kenyataan.

Maka sebelum tahun baru betul-betul berganti, sejak detik-detik kelahirannya berlangsung, dia sudah mengubah segala nasib buruk yang telah menimpa diri seorang penulis cerita pendek yang sekaligus sebagai ayahnya sendiri.

Tentu, semua hal bisa seketika berubah dalam hitungan paragraph. Dalam sebuah cerita pendek. Bahkan hal-hal yang sebetulnya fiksi dapat menemukan nyawa dan energinya jika semua yang fiksi itu diasosiakan menjadi keyataan. Sungguh hanya terlihat sebagai permainan kata-kata tapi bukankah kita dapat hidup dan dapat berbahagia di dalam sana?, di dalam fiksi.

Bangku-bangku yang bergoyang, bunga-bunga bermekaran, burung-burung berkicau, bahkan ketika sebuah cerita pendek sedang bercerita tentang bumi yang kehilangan gravitasi dan seluruh manusia melayang-melayang ke atas langit kita akan ikut merasakannya. Begitulah fiksi menggerakkan kita dalam permainan kata-kata. Menarik fikiran imaginer kita dalam drama cerita yang tidak nyata.

Tangan perempun tua itu masih rekat di pundaknya dan tidak berkata-kata sedikitpun. Dia tahu bahwa anak laki-lakinya ini sedang menikmati kelopak bunga-bunga Catalya yang bermekaran. 

“Bunga-bunga Cataleya, wanginya harum, bunganya indah, kelopaknya berdesak-desakan. Rimbun di musim hujan dan berguguran di waktu kemarau. Gugur sebagai kenyataan yang tidak bisa kembali tapi aku kan terus mengejanya sebagai deretan kata-kata yang terus bermekaran”.

Rumput-rumput taman rumah sakit masih basah sejak hujan berhenti sejam yang lalu. Butir-butir hujan masih lengket di daun-daun rumput, juga di daun bunga-bunga Catelya. Satu-dua di antaranya tabah diinjak oleh manusia yang merasa dirinya tak berguna. 

Namun lelaki itu masih tetap diam saat tangan perempuan itu tetap di pundaknya.

“Tidak perlu musim semi untuk membuat bunga-bunga bermekaran. Aku hanya butuh hujan untuk membuat segalanya menjadi indah. Hujan membuat kenangan tumbuh sebagai imajinasi. Kata-kata membuat imajinasi menjadi sebuah cerita. Dan cerita romansa membuat perasaan yang sedih menjadi terlihat berbunga-bunga”.

Dia masih tetap diam. Berbicara dalam hati. Dan tidak peduli pada siapapun.

Mulut lelaki itu sebetulnya ingin berbicara, atau hanya sekedak menyapa perempuan itu dengan sebutan “mak”, tapi dia sudah terlanjur hanyut dalam genangan hujan. Hanya tunas bunga-bunga Catalya yang berbicara, bahwa dia sedang tidak ingin diganggu. Dia ingin sendiri, menikmati kebahagiaan yang hari ini lahir dalam bentuk anak perempuan.

Di pihak lain, Perempuan tua itu juga paham bahwa sebetulnya dia sedang mengganggu suasana, maka dia lepaskan tanganmya dari pundak lelaki itu lalu berdiri menatap ke arah taman yang sama. Tak satupun yang berbicara atau sekedar menatap wajah masing-masing. 

Membatulah mereka berdua di tempatnya masing-masing. 

“Aku ingin kembali menulis mak”. 

Lelaki itu memulai. Semakin kukuh saat dia melanjutkan ucapannya.

“Aku akan menulis sesuatu yang baru. Menulis cerita masa depan, bukan menulis masa lalu. Aku ingin ceritaku hidup dalam masa depan, bermekaran di sepanjang baris kata-kata, agar seluruh yang membaca tulisanku merasa bahwa aku lah manusia yang paling berbahagia”.

Ibunya tahu tentang segala yang terjadi pada anaknya. Dia tahu tentang masa lalu anaknya yang rapuh. Juga tentang bagaimana anaknya menikahi seorang perempuan yang tidak pernah dia cintai sedikitpun. Dan hingga hari ini anak itu masih tetap setia. Ibunya tahu setelah membaca cerita-ceritanya di masa lampau.

“Seseorang telah memetik Bunga Cataleya tapi aku hanya bisa diam membatu di luar sini. Jejaknya tertinggal di hamparan rerumput nan hijau. Cataleya yang malang, tahun belum juga berganti tapi kelopaknya sudah ra’ib dalam genggaman orang lain”.

“Sekarang waktunya pulang nak, semua barang sudah dalam koper. Istri dan anakmu sudah bisa pulang”. Ujar perempuan tua itu.

Mereka kemudian pulang ke rumah. Meninggalkan rumah sakit, dan bunga-bunga Catalya yang sudah tumpas dipetik orang.

Makassar, 25 Februari 2020. DAENG PALALANG. Penulis Cerpen CATALEYA.