Senin, 24 Februari 2020

CATALEYA

Tidak ada yang lebih rapuh dari masa lalu, selain masa depan yang terlampau tidak jelas untuk diarungi. Mak puak pernah berpesan, lihatlah dirimu lewat masa lalu karena di sanalah tempat yang paling nyaman menerawang masa depan. 

DERAP langkahnya terlalu berat melangkah di jalan setapak yang sedang dia lalui saat ini, maka sesekali dia menoleh ke belakang. Melihat-melihat di sekitarnya. Pada bunga-bunga yang tumbuh berbaris di pinggir jalan.

Lelaki itu sedang mengamati deretan bunga Catalya yang berbaris di halaman rumah sakit ketika seorang perempuan tua menyentuh pundaknya.

Sore itu adalah awal musim hujan, setelah berbulan-bulan dengan suhu sepanas api, kini bunga-bunga mulai bermekaran, kuncup bunga Catalya adalah yang pertama menarik perhatiannya.

“Anggrek Catalya Bunga berkuncup runcing. Aku membayangkan mereka berbaris sebelum tahun baru datang. Dan mekar saat detik-detik tahun baru mulai berganti”.

Dia masih saja diam tak bergeming. Di tepi teras kamar rumah sakit, di bawah riuh burung-burung gereja yang birahi. Dia membayangkan seberapa rapuh kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. 

Meskipun nasib sudah ditentukan sebelum semua betul-betul terjadi tapi dia tetap berharap pada nasib baik di tahun baru ini. Nasib yang dapat mengangkat level ceritanya agar pembaca kian merasa sedang memerankan salah satu lakon dalam cerita.

“Aku hanya seorang pengarang muda. Hidup bergantung pada rimbunnya kata-kata. Jika aku kehilangan kata-kata maka hilang pulalah diriku. Bunga-bunga Catalya, mereka akan berbaris sebagai deretan kata-kata dalam cerita yang baru. Akan mulai kuceritakan sejak detik pergantian tahun ini”.

Tahun baru berarti cerita baru. Cerita baru berarti peruntungan baru. Juga nasib baru. Pokoknya semua hal harus baru agar hasilnya juga baru.

Karena proses kehidupan yang harus terus terbarukan maka seseorang yang bekerja sebagai seorang penulis pasti tahu bahwa tahun baru berarti diksi-diksi baru, lakon baru dengan nama-nama baru, serta penghasilan baru yang seharusnya kian meningkat.

Seorang pengarang cerita pendek mengisi dompetnya dari peruntungan perasaan pembaca. Semakin banyak yang menyenangi ceritanya maka semakin deras pesanan cerita pendek dari redaktur. Maka setelah semua kewajiban pembayaran dari persalinan istrinya lunas dan tuntas dia berjanji akan pulang ke rumahnya dan langsung kembali menulis. Sore ini, setelah antrian cek out rumah sakit.

Masih ada waktu yang cukup tuk menulis tiga hingga lima buah cerita pendek sampai lonceng pergantian tahun berbunyi. Setidaknya salah satu diantaranya bercerita tentang Cataleya, tahun baru, bunga-bunga baru, dan harapan-harapan baru.

“Ini waktu yang tepat untuk menulis sebuah cerita yang tepat. Cerita tentang Bunga kecil yang akan tumbuh bertunas di rumah kami. Aku berharap dia akan mewangi di seluruh sudut ruang dan kamar. Menjadi pelipur lara dan menjadi dewi keberuntungan dalam rumah kami di tahun-tahun yang akan datang”.

Kebetulan, Bunga, anak pertamanya, baru saja lahir malam tadi. Bertepatan saat kuncup bunga-bunga Cataleya mulai bermekaran.

“Anak itu telah lahir sebagai tunas harapan. Pemecah kebekuan dalam rumah tangga. Dia telah lahir membawa harum dan akan hidup dalam ribuan ceritaku selanjutnya”.

Sekalipun dia tidak memiliki kekuatan supranatural untuk mengubah masa depan tapi dia memiliki jutaan kata-kata untuk menciptakan dramaturgi dalam ribuan cerita-cerita pendek. Bunga adalah energi dalam cerita ini. Tokoh sentral yang menggerakkan cerita fiksi ini menjadi kenyataan.

Maka sebelum tahun baru betul-betul berganti, sejak detik-detik kelahirannya berlangsung, dia sudah mengubah segala nasib buruk yang telah menimpa diri seorang penulis cerita pendek yang sekaligus sebagai ayahnya sendiri.

Tentu, semua hal bisa seketika berubah dalam hitungan paragraph. Dalam sebuah cerita pendek. Bahkan hal-hal yang sebetulnya fiksi dapat menemukan nyawa dan energinya jika semua yang fiksi itu diasosiakan menjadi keyataan. Sungguh hanya terlihat sebagai permainan kata-kata tapi bukankah kita dapat hidup dan dapat berbahagia di dalam sana?, di dalam fiksi.

Bangku-bangku yang bergoyang, bunga-bunga bermekaran, burung-burung berkicau, bahkan ketika sebuah cerita pendek sedang bercerita tentang bumi yang kehilangan gravitasi dan seluruh manusia melayang-melayang ke atas langit kita akan ikut merasakannya. Begitulah fiksi menggerakkan kita dalam permainan kata-kata. Menarik fikiran imaginer kita dalam drama cerita yang tidak nyata.

Tangan perempun tua itu masih rekat di pundaknya dan tidak berkata-kata sedikitpun. Dia tahu bahwa anak laki-lakinya ini sedang menikmati kelopak bunga-bunga Catalya yang bermekaran. 

“Bunga-bunga Cataleya, wanginya harum, bunganya indah, kelopaknya berdesak-desakan. Rimbun di musim hujan dan berguguran di waktu kemarau. Gugur sebagai kenyataan yang tidak bisa kembali tapi aku kan terus mengejanya sebagai deretan kata-kata yang terus bermekaran”.

Rumput-rumput taman rumah sakit masih basah sejak hujan berhenti sejam yang lalu. Butir-butir hujan masih lengket di daun-daun rumput, juga di daun bunga-bunga Catelya. Satu-dua di antaranya tabah diinjak oleh manusia yang merasa dirinya tak berguna. 

Namun lelaki itu masih tetap diam saat tangan perempuan itu tetap di pundaknya.

“Tidak perlu musim semi untuk membuat bunga-bunga bermekaran. Aku hanya butuh hujan untuk membuat segalanya menjadi indah. Hujan membuat kenangan tumbuh sebagai imajinasi. Kata-kata membuat imajinasi menjadi sebuah cerita. Dan cerita romansa membuat perasaan yang sedih menjadi terlihat berbunga-bunga”.

Dia masih tetap diam. Berbicara dalam hati. Dan tidak peduli pada siapapun.

Mulut lelaki itu sebetulnya ingin berbicara, atau hanya sekedak menyapa perempuan itu dengan sebutan “mak”, tapi dia sudah terlanjur hanyut dalam genangan hujan. Hanya tunas bunga-bunga Catalya yang berbicara, bahwa dia sedang tidak ingin diganggu. Dia ingin sendiri, menikmati kebahagiaan yang hari ini lahir dalam bentuk anak perempuan.

Di pihak lain, Perempuan tua itu juga paham bahwa sebetulnya dia sedang mengganggu suasana, maka dia lepaskan tanganmya dari pundak lelaki itu lalu berdiri menatap ke arah taman yang sama. Tak satupun yang berbicara atau sekedar menatap wajah masing-masing. 

Membatulah mereka berdua di tempatnya masing-masing. 

“Aku ingin kembali menulis mak”. 

Lelaki itu memulai. Semakin kukuh saat dia melanjutkan ucapannya.

“Aku akan menulis sesuatu yang baru. Menulis cerita masa depan, bukan menulis masa lalu. Aku ingin ceritaku hidup dalam masa depan, bermekaran di sepanjang baris kata-kata, agar seluruh yang membaca tulisanku merasa bahwa aku lah manusia yang paling berbahagia”.

Ibunya tahu tentang segala yang terjadi pada anaknya. Dia tahu tentang masa lalu anaknya yang rapuh. Juga tentang bagaimana anaknya menikahi seorang perempuan yang tidak pernah dia cintai sedikitpun. Dan hingga hari ini anak itu masih tetap setia. Ibunya tahu setelah membaca cerita-ceritanya di masa lampau.

“Seseorang telah memetik Bunga Cataleya tapi aku hanya bisa diam membatu di luar sini. Jejaknya tertinggal di hamparan rerumput nan hijau. Cataleya yang malang, tahun belum juga berganti tapi kelopaknya sudah ra’ib dalam genggaman orang lain”.

“Sekarang waktunya pulang nak, semua barang sudah dalam koper. Istri dan anakmu sudah bisa pulang”. Ujar perempuan tua itu.

Mereka kemudian pulang ke rumah. Meninggalkan rumah sakit, dan bunga-bunga Catalya yang sudah tumpas dipetik orang.

Makassar, 25 Februari 2020. DAENG PALALANG. Penulis Cerpen CATALEYA.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar