Selasa, 28 Januari 2020

SUPIANA

GADIS itu bernama Supiana, lahir di bawah rembulan, tumbuh di sepanjang cita-citanya, dan kelak akan menjadi harapan terakhir dari bapak dan ibunya. 

Di Negerinya, profesi tentara masuk dalam kategori pekerjaan bergengsi. Maklum, negeri itu aman dan tenteram, nyaris tidak ada perang. Disana tentara hanya sibuk berlatih perang, tidak pernah perang betulan. Maka jadilah tentara sebagai profesi paling laris di pasaran lapangan kerja. Dia anak terakhir dari dua orang bersaudara. 7 tahun silam kakaknya jadi tentara dan langsung dikirim ke perbatasan sebagai tentara penjaga batas teritori. Sejak saat itu kakaknya tidak pernah pulang kampung.

Supiana, si gadis manis nan malang, pernah bermimpi di suatu malam akan menjadi tentara wanita yang akan memberantas kejahatan militeristik di negerinya yang tercinta. Tapi malang seribu malang, tujuh puluh ribu kali Supiana mendaftar dan ikut ujian tentara, seratus ribu kali ia kecewa atas hasil test itu. Tiga puluh ribu kali sisanya adalah kekecawaan karena Supiana tahu tentang korupsi dan kolusi yang menjangkiti tubuh institusi ketentaraan negerinya.

Sudah jatuh tertimpa tangga lagi, dan Supiana jatuh berkali-kali di tangga yang sama. Tiap kali Supiana mendaftarkan diri menjadi tentara, berkas pendaftarannya selalu dikembalikan berkali-kali dengan alasan administrasi yang kurang dan tidak lengkap. Dan tiap kali penolakan itu terjadi, tiap kali pula Supiana mempersiapkan berbagai berkas-berkas tambahan sebelum pengumuman itu terbit, semua itu dilakukan oleh Supiana agar tidak kehabisan waktu untuk melengkapinya kembali. 

Hanya untuk urusan berkas saja sulitnya minta ampun. Tapi syukurlah Supiana lolos berkas. Supiana pun dipersilahkan untuk ikut ujian Calon tentara bersama calon-calon tentara lainnya.

Sistem birokrasi di Negerinya yang tercinta memang korup dan bertele-tele. Bahkan pada urusan ketentaraan saja semua hal harus diukur berdasarkan angka-angka. Tinggi badan harus sekian meter koma sekian-sekian sentimeter, dan selalu berubah dari tahun ke tahun, tergantung dari tinggi anak pak jenderal yang akan mendaftar pada tahun itu. Seakan-akan standar tinggi dan keberanian seorang tentara dapat diukur dan diuji berdasarkan tinggi rendahnya keberanian anak pak jenderal. 

Tapi ini bukan perihal pendek dan tingginya tubuh Supihana tapi ini perihal ketinggian cita-cita dan cintanya pada negerinya. Supiana tidak pernah terkendala satu kalipun pada soal tinggi-pendek tubuhnya karena tingginya telah melampaui rata-rata standar tinggi badan tentara. Jadi biarpun standar tinggi itu diubah berkali-kali Supiana akan tetap lolos dalam urusan ini. Ia memang punya tinggi diatas rata-rata wanita zaman ini.

Tiada lain semua ukuran-ukuran tinggi-rendah itu selalu mendarat ke perihal tinggi-pendeknya standar kejantanan seorang wanita. Dalam dunia tentara, Wanita dituntut menjadi jantan. Terlihat kuat dan berani. Sebuah sisi yang paling monopolik dalam tubuh seorang laki-laki. Inilah problem yang paling sulit diselesaikan oleh Supiana. Menjadi berani mungkin iya, tapi menjadi kuat nampaknya sulit. Supiana punya jenis gen yang berbeda yaitu B, Bongsor. Juga golongan darah G, Gendut.

Supiana tidak kehabisan akal, dia memutuskan untuk berolahraga, fitness, dan mengurangi kuadrat kelaparannya dengan cara diet setiap hari, bahkan bukan hanya saat-saat ujian, tapi juga di hari-hari biasa. Sebuah cara yang cukup familyar dalam dunia kewanitaan tapi sangat sulit bagi Supiana. Dia jenis wanita yang berbeda. Dari spesies unggul di belahan dunia yang tak terbatas, di galaksi berbeda bernama BTM, Bongsor Tapi Menggoda.

Mau tidak mau Supiana harus mau. Memiliki tubuh proporsional bagi seorang tentara harus diterima sebagai kodrat ketentaraan. Tentara tidak butuh kecantikan tapi butuh kelenturan, tentara tidak boleh gemuk karena harus melesat seperti peluru. Tentara berperang dengan senjata bukan dengan pensil alis. Maka rutinlah Supiana mengatur jadwal olahraga tiap minggu. Tapi malang disayang malang Supiana tetap begitu, tetap menjadi spesies terbaik dari hasil mutasi kromosom B dan M.

Malangnya Supiana selalu jatuh dalam test ini. Setiap pengumuman hasil test kejantanan, Supiana selalu mendapatkan nilai kejantanan yang rendah. Anggaplah, dari 30 orang calon tentara yang ikut dalam test kejantanan ini dan hanya 15 orang diantaranya yang akan diterima, nama Supiana selalu bergelantungan tepat di bawah garis kelulusan. Dia tidak pernah lulus, hanya nyaris lulus.

Sebetulnya menjadi tentara wanita di negeri ini tidak perlu jantan-jantan amat. Anggaplah, dari 15 orang yang lulus itu akan selalu ada salah satu diantaranya  yang lulus karena perbuatan yang tidak jantan. Ini tergantung dengan standar harga yang ditetapkan oleh pak jenderal dan cukong-cukongnya, atau lebih enak disebut dengan nama calo’. Sebagaimana biasa, jika calo’ telah bermain-main dalam urusan hidup anda maka bersiaplah merogoh kocek sebanyak-banyaknya. Kata tinggi itu tidak lagi menunjuk pada tinggi badan tapi menunjuk pada tinggi-rendahnya harga penawaran anda.

Nasib buruk selalu menerpa Supianha Tapi satukalipun juga ia tidak pernah berburuk sangka pada nasib. Inilah sisi yang paling tentaraistik pada Supiana. Supiana tidak pernah berputus asa hingga titik darah penghabisan. Baginya, gagal adalah kemenangan yang tertunda. Jika satu strategi gagal memenangkan peperangan maka gunakanlah strategi lain yang bisa memenangkannya. Jika seorang tentara kehabisan peluru maka tangan dan kakinya akan dijadikan sebagai senjata, dan jika tangan dan kakinya lumpuh masih ada do’a yang menjadi senjata mematikan baginya.

Waktu terus melompat ke batas teritori yang paling rawan dengan konflik. Sebentar lagi Supiana kehabisan peluru, mimpinya menjadi tentara akan segera pupus dan sirna selamanya. Usianya tidak dapat dia tahan. Setahun lagi Supiana akan menginjak usia 30 tahun, usia yang tidak lagi muda bagi seorang gadis cantik seperti dirinya. Teman-teman sebayanya telah berguguran satu per satu sebagai perawan, menjadi seorang istri lalu menjadi ibu bagi anak-anaknya. Hanya tinggal satu-dua orang saja, itupun tak seburuk nasib Supianha.

Karena tentara-ismenya, Supianha harus mengorbankan pilihan yang paling lazim dari dirinya sebagai seorang perempuan, yakni menikah. Supiana terjebak dalam cita-citanya yang nampak ilutif. Tidak cukup untuk mengatakan bahwa cita-cita itu akan betul-betul terwujud jika melihat keadaan percalokan yang membelit institusi ketentaraan di negeri ini. Juga akan terlalu naif jika mengatakan bahwa Supiana seorang perempuan yang gagal menjadi spesies betina dari struktur sosial masyarakatnya, karena sudah banyak laki-laki yang meradang nasib ditolak olehnya dengan dalih karena Ia ingin jadi tentara dan tidak akan menikah sebelum jadi tentara.

Tahun ini adalah tahun terakhir untuknya. Tahun yang menentukan segala arah yang akan ia tempuh selanjutnya. Tahun terakhir untuk ikut test tentara. Tahun dimana usianya genap menjadi 30 tahun dan ia harus segera menikah. Jika tidak, Supianha akan menjadi bulan-bulanan dalam group whatsApp keluarganya, sebagai objek ejekan yang paling empuk bagi seluruh peserta group. Dan Jika ejaan status “lajang” yang tertera di dalam profil facebooknya masih tetap sama di tahun ini sebagai Ejaan Yang Belum Disempurnakan maka bersiap-siaplah dikatai oleh seluruh netizen facebook sebagai perawan tua. Supianha menyadari itu dan telah berjanji pada rumput yang bergoyang bahwa dia akan menikah di tahun ini.

Dalam urusan umur selalu ada kata habis yang mengikutinya. Bukan hanya kematian saja yang dapat membunuh seseorang tapi juga kebodohan. Supianha tidak bodoh, dia hanya tolol. Bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan itu bahwa, Supiana telah melamar dan dilamar berkali-kali tapi selalu gagal. Maksudnya adalah Supiana telah gagal melamar sebagai tentara berkali-kali dan juga gagal dilamar oleh seorang tentara berkali-kali. Sepertinya ini memang sangat ilutif. Oleh karena itu, segala macam tetek bengek kehidupan yang memiliki kaitan dengan ketentaraan harus segera dia tinggalkan. Tentara sudah menjadi momok kesialan yang paling kejam dalam kehidupannya.

Supianha gadis yang pintar, bapak dan ibunya percaya itu. Oleh karena itulah keduanya tidak pernah menjadi orang tua yang oteriter seperti keoteriteran seorang komandan pada prajuritnya. Tidak terkecuali dalam urusan perjodohan. Supiana pun menjadi wanita bebas yang bebas menghitung kuadrat ketampanan dari laki-laki calon suaminya, serta kuadrat2 lain yang menurutnya bisa menghasilkan gen tentara berkategori unggul pada anak-anaknya kelak.

Sejak kanak-kanak Supiana terlalu matematis untuk menghitung segala-galanya. Kemudian tumbuh dewasa mendaftarkan diri sendiri sebagai mahasiswa matematika sembari menunggu test tentara terbuka tiap tahun. Sampai dewasa, Supianha tetap sangat matematis memperhitungkan banyak hal dalam hidupnya. Hingga tamat dan menjadi sarjana matematika strata dua di salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini.

Contoh hitungan kehidupan yang paling sering dia katakan. Saat dia ditanyai perihal pernikahan, bahwa di usia 30 tahun barulah dia akan menikah, lulus atau tidak lulus tentara. Katanya usia itu masih cukup jauh dari usia 45 tahun, usia monopause seorang perempuan. Masih ada 15 tahun untuk menikmati sensasi seksualitas bersama suaminya. Menjadi seorang ibu dari 4 sampai 5 orang anak. Dan hidup menua dalam sisa usia kurang lebih 20 tahun bersama salah satu dari anak-anaknya.

Segala hitungan kehidupannya telah Supiana susun dengan rigid dan tersistematis. Tapi dia tidak tahu bahwa dibalik seluruh hitung-hitungan kehidupan seorang manusia, nasib baik tidak selalu datang dengan hasil kalkulasi yang sama. Andai saja tidak begitu maka tidak akan pernah terjadi sengketa teritori antar negara yang berasal dari kesalahan perhitungan derajat Lintang dan bujur bumi. Ini kehidupan, selalu menyentuh sisi paling labil dari kalkulasi masa depan manusia. Di sana ada variabel yang tidak terhingga oleh nalar dan akal sehingga tidak akan dapat dicapai oleh kalkulasi matematika paling canggih sekalipun, yaitu takdir.

Takdir tidak dapat diprediksi, hanya bisa dipasrahkan. Supiana lupa hal itu. Dia lupa bahwa segala hitungan-hitungan matematisnya di dalam kelas tidak akan berlaku dalam urusan takdir dan pernikahan. Orang bisa saja ditakdirkan lahir sebagai seorang wanita cantik dan anggun tapi tidak akan bisa memastikan kapan, dimana, dan dengan siapa dia akan menikah. Semua rumus kemungkinan tidak dapat menjawabnya. Termasuk Supianha, sekalipun dia ahli matematika.

Perdebatan tentang pernikahan Supiana telah menjadi rahasia yang paling nyaring di kampung ini. Seluruh tetangga hingga dukun tua yang tinggal di ujung hutan bertaruh kapan Supianha akan menikah. Contoh, Ibu-ibu di lorong rumah Supianha bertaruh dengan ibu-ibu dari lorong sebelah dengan taruhan sayur mayur, adapula dengan ikan kering dan gas elpiji milik perusahaan negara yang harganya semakin mahal. Ibu-ibu lorong sebelah yakin bahwa Supianha akan menikah tahun ini, dan sebaliknya.

Gayung bersambut, gas elpiji pun akan raip meledak dalam pasar taruhan. Sayup terdengar bisikan dari ibu Supiana bahwa di tahun ini Supiana akan menikah. Dia akan kedatangan laki-laki ke rumahnya dengan maksud melamar.  Menjadi suami Suphiana. Mudah-mudahan dia diterima..

Cerita ini ditulis di malam yang dingin dan banyak nyamuk.


Takalar, 29 Januari 2020

Senin, 20 Januari 2020

SATU TAMBAH SATU SAMA DENGAN RINDU

Kita adalah sepasang angka sederhana, sepasang angka dalam rumus sisi miring segitiga. Segitiga sama kaki, bukan samasisi, apalagi sebarang, atau siku-siku. Lalu kita terjebak di dalamnya, tersesat di dalam lipatan yang sama. Kita berusaha tuk saling menemukan jawaban lewat rumus2 yang tidak nyata. Pada Phytagoras, serta pada rumus2 segitiga lain yang aku tidak ketahui.

TAPI, apakah kita sedang berhitung ataukah sedang menulis puisi ?,

Di sudut yang kaku kita hidup dengan derajat kesakitan yang sama. Sedangkan rindu yang terbentang dari sisi yang memberikan kita jarak yang jauh menjadi sudut yang paling mecekam. Mengukurnya rumit, serumit mengukur sisi kebahagiaan antara kita yang tidak memiliki persamaan-persamaan yang nyata. Terlalu jauh jarak semu itu. Jika kita hitung, kita hanya akan larut dalam banyak ketidaksamaan. Kita tidak akan pernah menemukan jawaban. Seperti rumitnya menjawab seberapa banyak bintang di langit malam. 

Kita tidak sedang berhitung atau sedang menakar malam, kita sedang sedang bercerita.

Bruuukkkk..., kau betul-betul hebat, bukan hanya kamu yang membuatku tercubit sakit tapi juga logika segitigamu. Logika yang Membuatku menyinggung malam. Kau tahu kan, bahwa malam selalu membuatku larung dalam kegelapan, membuatku sakit dan tersesat sembilu. Bicara soal malam, berarti bicara soal ketidakjelasan. Sebuah algoritma yang menarikku ke dalam suasana bathin yang sepenuhnya tak biasa. Malam yang menawarkan sudut pandang paling indah tentang cinta yang buram dan remang. Tak ada bulan malam itu, tak ada lampu neon berkedap-kedip yang membuat napasmu terang oleh cahaya. Hanya ada kata dan angka, yang membuat kita merasa sedang bercanda di bawah tetesan gerimis.

Seperti matematika, kau pun memilih untuk mencari jalan panjng untuk menyelesaikan jawaban sederhana di hadapan kita. Kau lupa bahwa semakin panjang sebuah perjalanan maka semakin mungkin gelap kan menghapirimu. Kau tidak memperhitungkan malam yang bisa saja datang lebih cepat oleh hujan. Padahal kau tahu bahwa malam kan semakin melankolis karena hujan. Tapi kau abai. Kau lebih memilih menjalaninya.

Kau terus saja menghitung dlm rumus matematika yang rumit. Mencari sudut yg paling sunyi dlm lipatan segitiga sama sisi yg telah kau gunting sejak lama. & disana ada aku, di dlm sudut phytagoras sedang mengintipmu dari kesunyian hati. Memberikan isyarat untuk berhenti. Melambaikan tangan & membisiki telingamu dengan kata2 rindu. Kau tak menemukanku. Kau lebih menikmati ketulianmu. Memperhatikan potongan segitiga yg lain. & kau mendengarkannya nyaring & samar. 

Ini hanya soal segitiga, bukan cinta segitiga.

Sebelum kau menemukan jawaban atas jarak sisi yang semakin jauh di antara kita. Aku memutuskan untuk bersikap pengecut menunggumu tanpa romansa. Tanpa harapan, dan tanpa kejelasan. Bukan karena takut tapi karena aku tak pintar berhitung. Dari dahulu, dari sejak sekolah dasar, acapkali aku dikatai bodoh karena tak pandai perkalian. Yah, Aku memang tak pandai mengkali-kali, apalagi mengkali-kali sesuatu yang abstrak seperti cinta. 

Bahwa cinta bisa begitu berbatu oleh kata-kata. Yah, aku sepakat. Itu juga sdh kau ucapkan padaku. Saat malam itu. Kau seperti menarikku ke dlm kepergian yg asing, yg belum sempat kucatat setiap jejaknya. Bahkan sebelum kau mengutarakan isi hatimu aku telah lebih dahulu tahu bahwa kau akan pergi. Disanalah perbedaan kita, kau pandai berhitung dan aku tidak, tapi kau tak pernah pandai menakar kata-kata sedangkan aku selalu memberimu isyarat lewat kata-kata. Bukan hitung-hitungan angka.

Dan kau tahu? Kita tdk hidup di sebuah segitiga sama kaki yg menjadikan segala yg simetris menjadi berharga, kita lebih suka untuk mendefiniskan segala sesuatu sebagai sebuah segitiga yg memiliki sebuah sudut siku-siku, sehingga kita bercinta di garis phytagoras, & aku ingin merangkulmu dari sudut yg paling sepi itu, tanpa terangnya romantisme yg penuh kamuflase, tanpa hakikat kesabaran merangkai asmara lewat jalinan air mata.

Jadi ini hanya cerita segitiga siku-siku, bukan kenyataan !?.

Pertanyaan ini tidak serumit dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya yang abstrak dan sedikit berlebihan. Tapi harus kuakui bahwa kesunyianlah yang membuatnya begini. Yang juga membuatmu berhitung lewat kata-kata. Yang menghitung segala derap langkah kita ke dalam prosa dan puisi. Karena cerita ini bukan hanya soal segitiga semata melainkan tentang cerita cinta yang kita definisikan lewat teorema matematis. 

Sudah terlalu lama kita hidup dalam perbedaan-perbedaan yang nyata. Membuat diri kita terpenjara oleh perhitungan buta. Di luar sana kau asyik menghitung persamaan-persamaan. Padahal untuk menemukan itu kita hanya butuh kebersamaan, bukan persamaan. Maka masuklah kemari, ke dalam sudut segitiga yang paling sunyi ini, merasakan hal sama yang kurasakan. Bersamaku menikmati betapa perihnya kesunyian ini. Segitiga yang pernah kau gunting dengan amarah dan kesombongan. Bahwa kau kan menemukan jawabannya saat kau pergi, tapi hingga kini kau belum menemukannya jua.

“Apakah kita bisa melakukan sesuatu di dalam segi tiga ini?”

Bahkan ketika pintu itu terbuka, dan kau masuk ke dalamnya. Seketika itu juga segi tiga rekayasa itu menelan setiap kata dan angka, kita tak pernah pasti menyatakan bahwa kita akan bercerita. Karena di dalam sana kau masih sibuk berhitung. Kau seharusnya berdiam, lebih banyak merasakan, dan membathinkan diri ke dalam perasaanku. Berhentilah berhitung karena hitungan hanya akan membuatmu terlihat sebagai perempuan yang paling luka, sementara aku seperti lelaki yang paling mudah terhitung.

Mana bisa kau hitung kesetiaanku dengan rumus-rumus matematis. Itu mustahil. Kau hanya bisa merasakan seluruh kesunyiaan yang menguap di dalam sana. Bahkan kesetiaan takkan seperti kedipan lampu-lampu. Bahkan aku tak tahu apakah hatimu seperti pintu keluar dari sebuah drama perpisahan. Ataukah aku hanya kau jadikan sebagai cermin dari setiap duka yang senantiasa mengisi rongga-rongga perasaanmu. Tuk tahu itu terlalu rumit. Sebagaimana rumitnya menakar perasaan seorang murid yang tak tahu rumus perkalian di dalam kelas matematika. 

Terkadang kubayangkan kau seperti bandul jam yang tidak pernah berhenti bergerak, berpindah dari satu sudut ke sudut yang lainnya, mencari titik tumpu untuk mengayun kembali ke tempatnya semula. Tapi ternyata kau lebih diam dari batu karang yang diam. Hanya terus diam dan hanya mengenal alam yang diam. Padahal ketika setiap kata-kata berbau tanah yang basah, atau biru seperti langit yang cerah, atau syahdu seperti simphoni kematian, rindu secara otamatis bergeletar di dalam hatimu. 

Kita tak perlu membuat prasasti segitiga di dalam sudut phytagoras ini. Atau mengingat-ingat cerita masa lalu yang monumental di luar sana. Ruang ini hanya butuh kata maaf untuk membuatnya damai. Tidak perlu ada jawaban, apalagi ribuan pertanyaan tentang apa yang pernah terjadi dan yang akan terjadi. Segitiga kehidupan akan mencatatnya sendiri sebagai cerita yang suatu saat akan kita baca dalam keheningan. 

“Jangan lama, kita perlu secepatya.”

Dan bandul waktu terus bergerak, jarum jam terus melompat. Tapi kita telah membuat lompatan kita sendiri. Mungkin itulah sebabnya aku selalu membayangkan di atas sana, di balik langit yang biru, waktu sedang menertawai kita berdua. Menertawai kebodohan-kebodohan kita ingin mempersingkat waktu agar kita segera tahu bagaimana sesungguhnya akhir dari cerita kita. Atau hanya sekedar mengintipnya agar kita tak perlu was-was dalam penantian ini. Meski kita sebetulnya tahu bahwa tidak seorangpun yang dapat mengulang waktu, apalagi mengubah jalannya.

Aku tahu, bahwa hitungan matematika adalah hitungan yang bergerak dari titik keragu-raguan menuju ke kepastian. Bahwa diagram keraguan dalam diri manusia seperti notasi lagu yang takkan pernah statis tapi selalu berakhir pada satu irama yang indah. Meski aku juga tahu bahwa cinta akan lebih indah jika disampaikan lewat cerita-cerita metafora, tetapi aku lebih memilih menyampaikannya seperti seorang bocah kecil.

“Tunggu, kau belum melakukan apa-apa,” katamu.

Naif betul kata-katamu. Sepertinya kau salah menghitung luas segitiga ini. Coba ulang sekali lagi. Ulangi dengan rumus yang lain. Coba periksa lewat sisinya masing-masing. Pada sisi horisantal dan vertikalnya, mungkin disanalah jawaban dari seberapa jauh sisi kemiringan kita. Yang jelas jangan diam karena takkan ada apa-apa yang terjawab jika hanya diam. Jangan diam jika tidak mau membuatku terluka semakin parah. Bukankah seorang perempuan, bahkan bisa melukai tanpa harus melakukan apa-apa?.

Kau masih belum juga memahami kata-kataku?. Masih saja diam di tempatmu?. Sementara waktu terus melipat ingatan-ingatan kita. Membuat lipatan segitiga yang baru. Dan menjadikan kita hanya serupa segitiga yang pasrah. Hanya kaulah yang tahu cara memperbaiki semuanya, jangan diam, mulailah bergerak segera. Waktu memang tidak dapat didiamkan tapi bisa dihitung. Kau bisa memperhitungkan kemungkinannya. Dan menjadikan semua kediaman ini menjadi kedamaian. Aku tahu, bahwa perempuan bisa menggali setiap jurang dalam diamnya yang abadi, tapi aku juga tahu bahwa kau bukanlah salah satu yang terbodoh di antara itu. 

Ini panggung segi tiga. Rawan air mata. Kita adalah sepasang angka yang tersesat di dalamnya. Atau kaulah yang membuatku tersesat dari sebuah pintu keluar yang terbata-bata. Oleh karena itu, bawalah aku keluar dengan kebahagiaan. Aku tak ingin keluar dengan aliran air mata. Aku ini laki-laki yang jauh lebih bisa berdamai dengan penyesalan ketimbang dengan air mata. 

Kau lihat orang-orang yang sedang menonton cerita ini, apakah kau lihat bagaimana mereka tertawa?. Dan lihat itu, lelaki tua yang duduk di sudut sana, hanya dia yang tidak tertawa. Entah apa di dalam kepalanya. Hatinya tentu tak bahagia. Apakah dia menunggu cerita ini terulang?.

Bahwa tidak akan ada perulangan yang dapat sama secara sempurna, kau pun telah mengatakannya. Itu hanya berlaku pada hal-hal yang sifatnya matematis. Yang sama hanyalah sisi dari segitiga sama sisi, atau pada rumus persamaan yang tempo hari pernah kau jelaskan. Tapi waktu tidak sedang membuat kerangka algoritma, sebab kehidupan silih berganti. Yang tidak bisa berganti dan akan terus sama dari waktu ke waktu hanyalah wajahmu di kepalaku. 

“Sungguh, kau membuatku menikmatinya”.

Tetapi perhitungan ini terlanjur menghitam, membentuk jalinan rumit tentang sebuah dramaturgi kesetiaan. Acapkali aku merasa bahwa aku bukanlah siapa-siapa di dalam matamu. Mata yang terus menerus menemukan inti keberadaannya sebagai sumber kecantikan. Aku terlalu rapuh dan lemah di dalam sana, dan aku telah katakan sebelumnya bahwa aku merasa mata itu bukanlah milik manusia bodoh sepertiku yang tidak tahu berhitung dan tak punya sesuatu yang bisa dihitung.

Kita tahu, kita hidup di dalam kisah fiksi yang berjalan. Menjadi dialog yang kalap dengan kata-kata jahat. Berpindah dari satu sudut ke sudut yang tidak sama. Kadang perdebatan itu terjadi di dalam sudut tersempit dari segitiga ini, lalu bergerak membujur ke sudut yang sedikit lebih luas, berdebat tentang perhatian-perhatian dan kata-kata sayang yang tidak pernah satu kalipun terucap dari lidahmu. Kemudian kita semakin mendengki, lalu berpindah ke sudut yang paling konstan, sudut dimana ketiadaan menjadi sempurna, sudut dimana kematian menjadi semakin nyata. Di dalam sana segala sesuatu di antara kita, kau kuburkan dan tiadakan.  Tapi kau malah menyebutnya sebagai sudut kosong.

Selama ini kau bilang kau belum melakukan apa-apa. Sementara aku merasa bahwa kau seperti telah melakukan segala sesuatu, mengubah angka-angka dan kata-kata menjadi benar dan nyata. Kau seperti telah melakukan banyak hal dari diriku, tapi kau keliru memilikinya. Kau telah menggenggamku sepenuhnya, menggenggam sesuatu yang halus dalam diriku, sesuatu yang mudah raib, yaitu air mata.

Lalu bagaimana dengan kemungkinan-kemungkinan kita? Bahwa suatu saat aku akan membawamu beranjak dari segi tiga itu, bahwa aku telah berjanji untuk mengajakmu berdiam di satu sudut kampung terindah di dunia ini, dan hanya kita berdua disana, maka tiap saat aku akan selalu tenang memandangmu, layaknya memandang langit yang biru.

Sekarang sudah kutulis semua keraguanku ke dalam melodrama ini, bahkan telah kubunuh seluruh ketidakjujuranku lewat metafora-metafora. Kelak jika bisa kugenggam erat tanganmu, akan kuajak kau ke suatu tempat paling bisu di sepanjang jalan itu, jalan yang mengenal betul jejak-jejak air mata, dan kau kan kubuat merasa lelah menanjaki gunung yang mengerucut seperti segi tiga.

Maka pejamkanlah matamu, sebab kita sudah amat dekat, di sinilah saatnya kita akan saling menguji ketajaman imaji masing-masing. Meski sesungguhnya aku tak punya cukup bahasa bahkan hanya untuk membayangkan rambutmu yang terus memanjang. Degupan jantungmu yang kian mengencang dan mendesah seperti gerbong kereta api yang baru saja berangkat.

Aku sudah mulai tidak sabar, kau terlalu lama berhitung. Aku sudah lama merindukanmu bercinta tanpa kata di sini, di sudut phytagoras ini, sudut yang akan terus sunyi bahkan saat kau kembali suatu hari nanti.

“Tanpa hitung-hitungan?”
“Iya, tanpa hitung-hitungan.”

Ya. Bersama kata maaf ini, bersama sisa kata-kata yang terbakar rindu ini, aku telah berjanji, akan kutelusuri semua sudut segi tiga di sepasang bintik hitam di hatimu. Hingga usai. Sampai kita menjadi air mata terakhir, air mata yang tidak bisa lagi terhitung jumlahmya, airmata yang terus meneteskan airmata.


Vv, Makassar, 20 Januari 2020