GADIS itu bernama Supiana, lahir di bawah rembulan, tumbuh di sepanjang cita-citanya, dan kelak akan menjadi harapan terakhir dari bapak dan ibunya.
Di Negerinya, profesi tentara masuk dalam kategori pekerjaan bergengsi. Maklum, negeri itu aman dan tenteram, nyaris tidak ada perang. Disana tentara hanya sibuk berlatih perang, tidak pernah perang betulan. Maka jadilah tentara sebagai profesi paling laris di pasaran lapangan kerja. Dia anak terakhir dari dua orang bersaudara. 7 tahun silam kakaknya jadi tentara dan langsung dikirim ke perbatasan sebagai tentara penjaga batas teritori. Sejak saat itu kakaknya tidak pernah pulang kampung.
Supiana, si gadis manis nan malang, pernah bermimpi di suatu malam akan menjadi tentara wanita yang akan memberantas kejahatan militeristik di negerinya yang tercinta. Tapi malang seribu malang, tujuh puluh ribu kali Supiana mendaftar dan ikut ujian tentara, seratus ribu kali ia kecewa atas hasil test itu. Tiga puluh ribu kali sisanya adalah kekecawaan karena Supiana tahu tentang korupsi dan kolusi yang menjangkiti tubuh institusi ketentaraan negerinya.
Sudah jatuh tertimpa tangga lagi, dan Supiana jatuh berkali-kali di tangga yang sama. Tiap kali Supiana mendaftarkan diri menjadi tentara, berkas pendaftarannya selalu dikembalikan berkali-kali dengan alasan administrasi yang kurang dan tidak lengkap. Dan tiap kali penolakan itu terjadi, tiap kali pula Supiana mempersiapkan berbagai berkas-berkas tambahan sebelum pengumuman itu terbit, semua itu dilakukan oleh Supiana agar tidak kehabisan waktu untuk melengkapinya kembali.
Hanya untuk urusan berkas saja sulitnya minta ampun. Tapi syukurlah Supiana lolos berkas. Supiana pun dipersilahkan untuk ikut ujian Calon tentara bersama calon-calon tentara lainnya.
Sistem birokrasi di Negerinya yang tercinta memang korup dan bertele-tele. Bahkan pada urusan ketentaraan saja semua hal harus diukur berdasarkan angka-angka. Tinggi badan harus sekian meter koma sekian-sekian sentimeter, dan selalu berubah dari tahun ke tahun, tergantung dari tinggi anak pak jenderal yang akan mendaftar pada tahun itu. Seakan-akan standar tinggi dan keberanian seorang tentara dapat diukur dan diuji berdasarkan tinggi rendahnya keberanian anak pak jenderal.
Tapi ini bukan perihal pendek dan tingginya tubuh Supihana tapi ini perihal ketinggian cita-cita dan cintanya pada negerinya. Supiana tidak pernah terkendala satu kalipun pada soal tinggi-pendek tubuhnya karena tingginya telah melampaui rata-rata standar tinggi badan tentara. Jadi biarpun standar tinggi itu diubah berkali-kali Supiana akan tetap lolos dalam urusan ini. Ia memang punya tinggi diatas rata-rata wanita zaman ini.
Tiada lain semua ukuran-ukuran tinggi-rendah itu selalu mendarat ke perihal tinggi-pendeknya standar kejantanan seorang wanita. Dalam dunia tentara, Wanita dituntut menjadi jantan. Terlihat kuat dan berani. Sebuah sisi yang paling monopolik dalam tubuh seorang laki-laki. Inilah problem yang paling sulit diselesaikan oleh Supiana. Menjadi berani mungkin iya, tapi menjadi kuat nampaknya sulit. Supiana punya jenis gen yang berbeda yaitu B, Bongsor. Juga golongan darah G, Gendut.
Supiana tidak kehabisan akal, dia memutuskan untuk berolahraga, fitness, dan mengurangi kuadrat kelaparannya dengan cara diet setiap hari, bahkan bukan hanya saat-saat ujian, tapi juga di hari-hari biasa. Sebuah cara yang cukup familyar dalam dunia kewanitaan tapi sangat sulit bagi Supiana. Dia jenis wanita yang berbeda. Dari spesies unggul di belahan dunia yang tak terbatas, di galaksi berbeda bernama BTM, Bongsor Tapi Menggoda.
Mau tidak mau Supiana harus mau. Memiliki tubuh proporsional bagi seorang tentara harus diterima sebagai kodrat ketentaraan. Tentara tidak butuh kecantikan tapi butuh kelenturan, tentara tidak boleh gemuk karena harus melesat seperti peluru. Tentara berperang dengan senjata bukan dengan pensil alis. Maka rutinlah Supiana mengatur jadwal olahraga tiap minggu. Tapi malang disayang malang Supiana tetap begitu, tetap menjadi spesies terbaik dari hasil mutasi kromosom B dan M.
Malangnya Supiana selalu jatuh dalam test ini. Setiap pengumuman hasil test kejantanan, Supiana selalu mendapatkan nilai kejantanan yang rendah. Anggaplah, dari 30 orang calon tentara yang ikut dalam test kejantanan ini dan hanya 15 orang diantaranya yang akan diterima, nama Supiana selalu bergelantungan tepat di bawah garis kelulusan. Dia tidak pernah lulus, hanya nyaris lulus.
Sebetulnya menjadi tentara wanita di negeri ini tidak perlu jantan-jantan amat. Anggaplah, dari 15 orang yang lulus itu akan selalu ada salah satu diantaranya yang lulus karena perbuatan yang tidak jantan. Ini tergantung dengan standar harga yang ditetapkan oleh pak jenderal dan cukong-cukongnya, atau lebih enak disebut dengan nama calo’. Sebagaimana biasa, jika calo’ telah bermain-main dalam urusan hidup anda maka bersiaplah merogoh kocek sebanyak-banyaknya. Kata tinggi itu tidak lagi menunjuk pada tinggi badan tapi menunjuk pada tinggi-rendahnya harga penawaran anda.
Nasib buruk selalu menerpa Supianha Tapi satukalipun juga ia tidak pernah berburuk sangka pada nasib. Inilah sisi yang paling tentaraistik pada Supiana. Supiana tidak pernah berputus asa hingga titik darah penghabisan. Baginya, gagal adalah kemenangan yang tertunda. Jika satu strategi gagal memenangkan peperangan maka gunakanlah strategi lain yang bisa memenangkannya. Jika seorang tentara kehabisan peluru maka tangan dan kakinya akan dijadikan sebagai senjata, dan jika tangan dan kakinya lumpuh masih ada do’a yang menjadi senjata mematikan baginya.
Waktu terus melompat ke batas teritori yang paling rawan dengan konflik. Sebentar lagi Supiana kehabisan peluru, mimpinya menjadi tentara akan segera pupus dan sirna selamanya. Usianya tidak dapat dia tahan. Setahun lagi Supiana akan menginjak usia 30 tahun, usia yang tidak lagi muda bagi seorang gadis cantik seperti dirinya. Teman-teman sebayanya telah berguguran satu per satu sebagai perawan, menjadi seorang istri lalu menjadi ibu bagi anak-anaknya. Hanya tinggal satu-dua orang saja, itupun tak seburuk nasib Supianha.
Karena tentara-ismenya, Supianha harus mengorbankan pilihan yang paling lazim dari dirinya sebagai seorang perempuan, yakni menikah. Supiana terjebak dalam cita-citanya yang nampak ilutif. Tidak cukup untuk mengatakan bahwa cita-cita itu akan betul-betul terwujud jika melihat keadaan percalokan yang membelit institusi ketentaraan di negeri ini. Juga akan terlalu naif jika mengatakan bahwa Supiana seorang perempuan yang gagal menjadi spesies betina dari struktur sosial masyarakatnya, karena sudah banyak laki-laki yang meradang nasib ditolak olehnya dengan dalih karena Ia ingin jadi tentara dan tidak akan menikah sebelum jadi tentara.
Tahun ini adalah tahun terakhir untuknya. Tahun yang menentukan segala arah yang akan ia tempuh selanjutnya. Tahun terakhir untuk ikut test tentara. Tahun dimana usianya genap menjadi 30 tahun dan ia harus segera menikah. Jika tidak, Supianha akan menjadi bulan-bulanan dalam group whatsApp keluarganya, sebagai objek ejekan yang paling empuk bagi seluruh peserta group. Dan Jika ejaan status “lajang” yang tertera di dalam profil facebooknya masih tetap sama di tahun ini sebagai Ejaan Yang Belum Disempurnakan maka bersiap-siaplah dikatai oleh seluruh netizen facebook sebagai perawan tua. Supianha menyadari itu dan telah berjanji pada rumput yang bergoyang bahwa dia akan menikah di tahun ini.
Dalam urusan umur selalu ada kata habis yang mengikutinya. Bukan hanya kematian saja yang dapat membunuh seseorang tapi juga kebodohan. Supianha tidak bodoh, dia hanya tolol. Bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan itu bahwa, Supiana telah melamar dan dilamar berkali-kali tapi selalu gagal. Maksudnya adalah Supiana telah gagal melamar sebagai tentara berkali-kali dan juga gagal dilamar oleh seorang tentara berkali-kali. Sepertinya ini memang sangat ilutif. Oleh karena itu, segala macam tetek bengek kehidupan yang memiliki kaitan dengan ketentaraan harus segera dia tinggalkan. Tentara sudah menjadi momok kesialan yang paling kejam dalam kehidupannya.
Supianha gadis yang pintar, bapak dan ibunya percaya itu. Oleh karena itulah keduanya tidak pernah menjadi orang tua yang oteriter seperti keoteriteran seorang komandan pada prajuritnya. Tidak terkecuali dalam urusan perjodohan. Supiana pun menjadi wanita bebas yang bebas menghitung kuadrat ketampanan dari laki-laki calon suaminya, serta kuadrat2 lain yang menurutnya bisa menghasilkan gen tentara berkategori unggul pada anak-anaknya kelak.
Sejak kanak-kanak Supiana terlalu matematis untuk menghitung segala-galanya. Kemudian tumbuh dewasa mendaftarkan diri sendiri sebagai mahasiswa matematika sembari menunggu test tentara terbuka tiap tahun. Sampai dewasa, Supianha tetap sangat matematis memperhitungkan banyak hal dalam hidupnya. Hingga tamat dan menjadi sarjana matematika strata dua di salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini.
Contoh hitungan kehidupan yang paling sering dia katakan. Saat dia ditanyai perihal pernikahan, bahwa di usia 30 tahun barulah dia akan menikah, lulus atau tidak lulus tentara. Katanya usia itu masih cukup jauh dari usia 45 tahun, usia monopause seorang perempuan. Masih ada 15 tahun untuk menikmati sensasi seksualitas bersama suaminya. Menjadi seorang ibu dari 4 sampai 5 orang anak. Dan hidup menua dalam sisa usia kurang lebih 20 tahun bersama salah satu dari anak-anaknya.
Segala hitungan kehidupannya telah Supiana susun dengan rigid dan tersistematis. Tapi dia tidak tahu bahwa dibalik seluruh hitung-hitungan kehidupan seorang manusia, nasib baik tidak selalu datang dengan hasil kalkulasi yang sama. Andai saja tidak begitu maka tidak akan pernah terjadi sengketa teritori antar negara yang berasal dari kesalahan perhitungan derajat Lintang dan bujur bumi. Ini kehidupan, selalu menyentuh sisi paling labil dari kalkulasi masa depan manusia. Di sana ada variabel yang tidak terhingga oleh nalar dan akal sehingga tidak akan dapat dicapai oleh kalkulasi matematika paling canggih sekalipun, yaitu takdir.
Takdir tidak dapat diprediksi, hanya bisa dipasrahkan. Supiana lupa hal itu. Dia lupa bahwa segala hitungan-hitungan matematisnya di dalam kelas tidak akan berlaku dalam urusan takdir dan pernikahan. Orang bisa saja ditakdirkan lahir sebagai seorang wanita cantik dan anggun tapi tidak akan bisa memastikan kapan, dimana, dan dengan siapa dia akan menikah. Semua rumus kemungkinan tidak dapat menjawabnya. Termasuk Supianha, sekalipun dia ahli matematika.
Perdebatan tentang pernikahan Supiana telah menjadi rahasia yang paling nyaring di kampung ini. Seluruh tetangga hingga dukun tua yang tinggal di ujung hutan bertaruh kapan Supianha akan menikah. Contoh, Ibu-ibu di lorong rumah Supianha bertaruh dengan ibu-ibu dari lorong sebelah dengan taruhan sayur mayur, adapula dengan ikan kering dan gas elpiji milik perusahaan negara yang harganya semakin mahal. Ibu-ibu lorong sebelah yakin bahwa Supianha akan menikah tahun ini, dan sebaliknya.
Gayung bersambut, gas elpiji pun akan raip meledak dalam pasar taruhan. Sayup terdengar bisikan dari ibu Supiana bahwa di tahun ini Supiana akan menikah. Dia akan kedatangan laki-laki ke rumahnya dengan maksud melamar. Menjadi suami Suphiana. Mudah-mudahan dia diterima..
Cerita ini ditulis di malam yang dingin dan banyak nyamuk.
Takalar, 29 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar