Minggu, 21 Agustus 2022

BONEKA KUCING DARI KUNANG-KUNANG


     Pada malam hari, ayahmu akan menjadi kunang-kunang, terbang kesana kemari, di atas mekar bunga-bunga, berkeliling sepanjang jalan, mencari remang cahaya, hinggap di daun-daun pohon, berteduh dari hujan dan gerimis, lalu terbang lagi, ke bebatuan, ke atap-atap rumah, ke tiap-tiap jendela. Sepanjang malam ayahmu menjadi kunang-kunang, mencari kamu yang sudah lama hilang.

”Di mana kamu, anakku? Di mana?”

Nyala di tubuhnya begitu terang, seperti kerinduan yang membara, namun berkedip-kedip, seperti rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ayahmu—kunang-kunang malam itu—terus mengembara, berjam-jam, tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Ia akan terus mencarimu, ia arungi sepanjang jalanan yang berliku, yang senyap berbatu, ia terbang di atas sungai yang bercabang, yang entah bermuara di mana. Ia datangi setiap gubug-gubug lapuk. Sampai akhirnya ia temui kamu di sebuah rumah, rumah yang kemudian sangat dikenalnya. Dan sejak itulah, setiap malam, bapakmu selalu setia mengunjungi rumah itu, melihat dirimu tertidur pulas, mendoakan keselamatanmu, lalu bergegas pergi ketika pagi hendak tiba, dengan niat untuk kembali di malam berikutnya….

***

Hari ini tanggal 20 Agustus 2022, 14 tahun berlalu, sejak aku tumbuh besar di tempat ini, ceritanya akan selalu seperti itu, turun-temurun. Di kampung sepanjang gunung ini, yang sebentar lagi akan tergerus oleh pesatnya kota. Katanya, bukit-bukit batu yang mengelilingi kampung ini akan diratakan dengan tanah dan dibuat menjadi bandara. Tapi saya yakin kalau cerita itu akan ikut tergerus di kampung ini, bahwa jika ada seorang anak yang kehilangan ayahnya, entah meninggal atau minggat dengan perempuan lain, maka orang-orang akan menghibur dengan cerita itu, mereka akan mengatakan bahwa ayahnya sekarang sudah berubah menjadi kunang- kunang yang rajin mengunjunginya. Meski tak berwujud manusia, anak itu harus sadar bahwa sang ayah masih benar-benar ada, masih suka berdiam di dekatnya, terutama di malam hari, untuk memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya.

Sejak dahulu aku tak benar-benar percaya dengan cerita tersebut, sampai malam ini aku mendengar cerita temanku, Aliyah. Gadis kecil yang tiga tahun lalu ditinggal sang ayah, menikah lagi dengan seorang wanita, Aliyah dan ibunya pun hidup serumah bersama-sama. Senasib dengannya, aku memang suka menemani Aliyah yg kesepian, ia tinggal sendiri bersama sang Kakek, sementara ibunya juga sudah tiada tepat setahun setelah ayahnya minggat dari rumahnya, pergi bersama istri sirinya. Ibu Aliyah menjadi korban kebakaran rumah di kota perantauan. Sepulang dari sekolah ia harus menyaksikan ibunya terpanggang sendirian dalam kobaran api rumahnya yang terbakar. Tinggallah Aliyah sebatang kara di kota itu, hingga akhirnya Aliyah diajak kakeknya tuk pulang ke kampung halaman.

Aliyah berkisah padaku, bahwa semalam ia baru saja bertemu bapaknya. Awalnya aku tak terkejut, sebab bisa saja bapaknya memang berkunjung ke desa ini untuk menjenguk Aliyah. Tetapi gadis itu berkata bahwa ayahnya sudah menjelma kunang-kunang, dan ia melihat kunang-kunang itu terbang di luar kaca jendela kamarnya.

”Lalu? kamu buka jendelanya?” Tanyaku.

”Iya, kubiarkan kunang-kunang itu masuk, lalu tidur di sampingku, di atas kasur.”

”Terus?”

”Terus aku tidur dan bermimpi, dalam mimpi itu, aku benar-benar bertemu ayah.”

”Jadi, kamu bertemu ayahmu cuma dalam mimpi?”

”Iya.”

”Besok paginya bagaimana?”

”Besok paginya kunang-kunang itu hilang.”

”Hilang?”

”Iya. Hilang begitu saja.”

Wajah Aliyah berakhir sedih. Namun saat itu juga pikiranku melayang jauh. Setelah berpamitan & meninggalkan rumah Aliyah, cerita itu seperti berputar kembali untuk diriku sendiri.

Aku membayangkan ayahku masih ada sampai saat ini, sampai detik ini, & dia pun amat merindukanku malam ini.

Tetapi, siapa ayahku?

Barangkali ayahkuu memang penjahat. Ya. Sudah jadi dugaan umum, bahwa dia penjahat. Seorang laki-laki yang tega meninggalkan ibuku demi perempuan lain. Dia perlakukan ibuku dengan sangat kasar dan tanpa perasaan. Dia seorang laki-laki tengik, yang tidak bertanggungjawab. Konon katanya, saat itu aku masih berusia 7 bulan. Hingga akhirnya ibu memutuskan untuk minggat dari rumah dan pulang ke rumah nenek, di rumah ini.

”Dulu, ayahmu sering menyakitiki hati ibumu. Tidak peduli dengan kondisi ibumu. Hingga akhirnya ibumu jadi kurus kerontang” Kata Nenek.

"Kenapa ayah setega itu, Nek?”

”entahlah, nak.”

”Apakah ayah pernah membujuk ibu untuk pulang, Nek?”

”Beberapa kali, di awal-awal, tapi ibumu saya larang ikut, hingga akhirnya ia tidak pernah datang lagi".

”Terus ayah ke mana?”

”Tidak tahu.”

”Apa ayah masih hidup nek ?”

”Tidak tahu.”

”Apa Nenek mau bantu aku mencari ayahku ?”

”Hmm, tidak mau”.

Lalu desas-desus tentang ayahku pun mengiringi bertambahnya usiaku, ketika aku beranjak lima belas tahun, ketika aku dianggap sudah mulai bisa mengingat dan menampung kenangan. Aku semakin ingin tahu tentangnya. 

Begitulah para tetangga, sebagian menjelekkan pribadi ayahku. Kebanyakan bercerita kebaikannya. Tapi entah kenapa, semua orang di rumah ini seolah-olah bersepakat bahwa ayahku adalah orang jahat, termasuk ibu.

Sepanjang aku mulai mencari tahu tentang ayahku pada tetangga setiap tetangga berusaha memberikan cerita versinya masing-masing.

”Biasanya, seorang laki-laki yang meninggalkan istrinya itu karena punya simpanan wanita lain di luar sana"

”Tapi, mungkin ayahmu berlaku demikian karena hal lain. Setahuku, ayahmu orang baik. Sifatnya dingin dan tidak banyak basa-basi"

”Eh, mungkin saja ibumu minggat dari rumah karena keinginan sendiri. Tapi entahlah, yang kami dengar dari mereka selama ini ayahmu lah yang salah"

Dan sebagian berbisik senyap di kupingku lalu mengatakan:

”Atau mungkin saja keluargamu lah yang menyembunyikan cerita yang sebenarnya pada kami".

Semakin lama, kisah tentang ayahku membuatku pusing, namun aku sempat heran, mengapa tak ada yang menghiburku dengan cerita yang mengatakan bahwa ayahku suatu saat akan datang kemari menjengukku. Bahkan aku tidak mampu mengingat bagaimana wajah ayahku. Wajah yang pasti pernah menggendongku hingga akhirnya memutuskan untuk tidak pernah menemuiku lagi.

Cerita itu hanya ditujukan untuk menghiburku, cerita yang benar adalah apa yang dikatakan ibu. Tidak mungkin ibuku bohong padaku. Tapi, apakah ibuku benar-benar jujur tanpa sedikitpun menyembunyikan sesuatu dariku !??. Ibu mungkin tidak bohong tapi bisa saja menyembunyikan patahan cerita yang lain dariku agar aku ikut merasakan kebenciannya dan tidak mencari ayah. Tapi apakah pantas semua kesalahan seutuhnya dilimpahkan pada ayahku !??.  Entahlah.. Tapi aku merasa ada sesuatu yang ganjil dari seluruh cerita tentang ayahku dari dalam rumah ini. 

Semakin orang bercerita tentang kejahatan dan keburukan ayahku aku semakin ingin mencari tahu tentang kebenarannya. Jika memang ayah jahat, kenapa ibu menikah dengan ayah ?, kenapa nenek merestui pernikahan itu ?, dan tidak mungkin aku lahir di dunia ini sebagai seorang anak dari hasil pernikahan cinta mereka berdua. 

Kenapa ayahku teramat tega tidak pernah datang menjenguk anaknya. Padahal setahuku kami tidak pernah pindah rumah. Dia tahu dimana seharusnya dia datang menjengukku. Setega itukah dia sebagai seorang bapak. Sejujurnya aku sangat marah padanya, bahkan kemarahan itu sudah membatu di dadaku. Dia pun tak pernah datang menjengukku walau sekedar dalam rupa kunang-kunang.

****

Hari pun beranjak lenyap, cahaya jingga sudah pendar memayungi langit. Aku harus pulang dan pamit dari sini. Ibu pasti sudah risau menunggu kepulanganku.

Aku berjalan pulang dari rumah Aliyah dengan setengah melamun, melangkah sendirian di gang kompleks yang temaram. Dan di sebuah perempatan yang remang, beberapa ratus meter sebelum rumahku, tiba-tiba kulihat seekor kunang-kunang terbang rendah di dekat tanah. Aku terheran-heran. Kunang-kunang itu sendirian saja, berkedip lemah.

Tunggu.

Apakah ia adalah jelmaan seorang ayah yg anaknya ada di kampung ini? Apakah ia ayah dari Aliyah yang kemarin malam terbang di luar jendela?

Apakah ia ayahku yg dikatakan jahat itu ?

Kudekati kunang-kunang itu, kuambil salah satu botol bekas yang berserak di tempat sampah. Aku membentuk cekungan pada telapak tangan kiri untuk menggiring kunang-kunang itu masuk ke lubang botol, lalu aku menutupnya dengan telapak tanganku. Anehnya, kunang-kunang itu menurut begitu saja.

Kunang-kunang itu sekarang ada dalam botol, cahayanya tak memantul, ia terbang kesana-kemari, sepertinya kebingungan, berpindah-pindah pada dinding botol. Aku setengah berlari menuju rumah, langsung ke kamar, untung saja Nenek sudah tidur, jadi tak tahu apa yang kulakukan. Kututup bagian atas botol dengan plastik dan karet, lalu kuletakkan di atas meja. Dan seperti cerita Aliyah, aku berharap malam ini bisa bertemu ayah, agar aku bisa tahu wajah ayah, walaupun hanya dalam mimpi.

Aku memang benci Ayah tapi aku ingin punya ayah yang setiap sore atau pagi mengajakku berkeliling kompleks sambil meremas tangannya yang kasar. Aku ingin punya ayah yang setiap makan malam memanggilku tuk makan bersama. Aku ingin punya ayah seperti teman-temanku yang lain yang katanya, sebelum tidur ayahnya membacakan dongeng pengantar tidur. Aku ingin punya ayah yang di setiap hari ulang tahunku membawa kado istimewa untukku.

Sambil merebah di atas tempat tidur, masih bisa kunikmati cahaya lemah kunang-kunang itu, hingga akhirnya aku terlelap dengan sendirinya.

*****

Entah sudah berapa jam berlalu, aku seperti tergagap bangun, kemudian segalanya menjadi terasa amat ringan. Ini seperti nyata. Dan ketika perlahan kubuka mata, tampak seorang lelaki sedang duduk dengan pandangan mata yang mengarah kepadaku. Dia memegang sebuah boneka kucing yang lucu. Seperti boneka pemberian ayah saat ulang tahun pertamaku. Aku pun langsung mengarahkan mataku pada lemari kaca di sudut kamar, memastikan bahwa boneka pemberian ayah 14 tahun lalu itu masih tersimpan rapi disana.

”Apakah kamu kunang-kunang yang semalam itu ?”, tanyaku.

”Benar, aku kunang-kunang yang kamu tangkap dengan mudah, yang kau masukkan ke dalam botol.”

"Trus, kamu ini siapa ?".

"Aku ayahmu nak". Jawabnya dengan lirih.

Dengan lidah yang kaku dan bergetar aku pun menjawab. Memastikan sekali lagi ucapan lelaki itu yang menyebut dirinya sebagai ayahku.

"Be....tu...lll... kamu ayah ?". 

"Iya betul".

"Trus kenapa ayah baru datang sekarang ????".

Dan ibu tiba-tiba mengetuk pintu dan berteriak dari balik pintu, mengajakku shalat subuh.

"Nak, shalat subuh..!!!"

Aku pun terbangun. Dan langsung menoleh ke arah meja. Botol plastik itu lenyap bersama kunang-kunang itu. Tapi.... boneka kucing itu memandangku diam dari atas meja.

Samata, 21 Agustus 2022


Ditulis oleh seorang bapak yang rindu pada anaknya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar