Minggu, 01 Mei 2016

TITIP BAHAGIA UNTUK JINGGA

Jingga, kau pemuda yang digariskan tuhan menjadi penukar gelisah bagi mereka, dirimu laksana terang yang terbit di penghujung waktu. Kau menjadi pemenang yang menenangkan, yang memenangkan setiap perang yang kau tempuh. Tapi diantara kemenangan-kemenangan yang kau raih ada selaksa gelisah yang terpancar dihatimu laksana cahaya yang terbias ditumpukan air yang hinggap dipunggung daun di kala pagi, dia menyilaukan dan tak akan mampu kau terkah isinya. Tatapanmu begitu tajam menusuk seperti menumpangkan sakit dibalik mata-mata mereka. Jinggga kau telah menaklukkan sepenjuru hati tapi hatimu masih belum kau taklukkan, kau boleh tersenyum dalam setiap lipatan waktu tapi yakinlah bahwa setiap waktu yang berlalu jiwamu meredup perlahan, telah banyak kisah penaklukan yang telah kau torehkan, sosok penakluk yang tak berdaya karena kesendiriannya, mungkin kesendirian adalah musuh terbesar bagimu sehingga mendorong hasratmu menjajah jiwa-jiwa yang bersekan yang tak bertuan diluar sana. Kau dipertuan tapi tak bermahkota diatas singgasana jiwamu karena selongsong pistolmu hanya mampu kau todongkan pada mereka yang tak berdaya. Jangan jumawa Jingga karena dibalik kekuasaan yang kau raih ada rentetan penderitaan yang kau lewati, didalam hatimu yang bersorak pada tiap kemenangan-kemenangan yang kau raih ada bisikan yang tak mampu kau dengar berkata pada dunia bahwa “aku menderita...!!!”. Ingatlah, sekencang-kencangnya kakimu berlari kau takkan mampu mengalahkan waktu karena waktu akan selalu berada didepanmu. Maaf jingga, kau belum pantas menjadi tuan sebelum waktu mampu kau taklukkan.

Pernahkah kau dengar Jingga, tentang kisah juang sang penakluk Iskandar the Great yang menaklukkan seantero dunia dari masyrik ke maghrib. Dia anak yang lahir dari kesunyian dunia berikrar penuh tekad bahwa dia kan menyatukan seluruh potongan-potongan negeri, bercita-cita menguasai seluruh jiwa, dan menggenggam semua kuasa dalam genggamannya. Tapi tahukah kau bahwa kesunyian takkan pernah hilang dalam jiwanya, ketika dia menaklukkan sebuah negeri maka sontak datanglah kebanggaan bertengger di hatinya yang penuh tekad tapi jauh ke dasar jiwanya begitu rapuh karena dia harus melangkahi darah dan mayat-mayat yang berserakan di setiap medan perang, dalam setiap langkahnya yang kokoh matanya lemah tak berdaya memandangi hamparan kematian dan darah yang tumpah tercecer diatas tanah perang. Tahukah bahwa kepiawaiannya memerangi takkan mampu mengalahkan kesucian jiwanya yang fana, pedangnya yang tajam takkan mampu mengalahkan ketajaman hatinya yang terasah oleh waktu, serta panji perangnya yang berkibar hentak diudara takkan mampu menjulang tinggi diruang hatinya yang berangin lambai. Dia telah menguasai sepenjuru dunia tapi pada akhirnya jiwanya pun kembali sepi,,, sunyi.

Jingga, aku punya pesan yang ingin kusampaikan padamu perihal dunia dan cinta. pesan ini kutulis dikala sore redup diantara suara adzan yang mendayu-dayu diudara dingin, perlahan menjadi irama yang membius akalku dalam menyusun kata demi kata pada suratku. Suara debur ombak tak lagi kuhirau. Aku menulis menggoreskan penaku pada secarik kertas yang lembut, kutuliskan drama cerita perlahan membiarkan sang pena menari-nari kegirangan pada setiap huruf yang kubentuk rapih. Aku begitu bersemangat menulis untukmu sampai tak terasa senja begitu cepat berlalu, saat ini semangatku begitu berkobar karena momentum ini hanya mampu didapatkan sekali dalam setahun berlalu dan pula setahun ke depan. Rona jingga diufuk barat telah hilang ditelan samudera tapi disini dibawah sinar lampu yang redup perlahan aku masih tetap menulis untuk Jingga.

Dalam kesunyian awal malam, angin sepoi merambat pelan-pelan masuk melalui jendela kamarku, membelai lembut penuh hangat punggung bingkai jendela, seakan angin begitu rindu berjumpa pada sang kayu. Aku tahu, dulu sang angin dan kayu jendela itu pernah hidup damai dalam harmoni dibelentara hutan yang rimbun nan damai, ilalang-ilang liar menjadi saksi kebersamaan mereka tapi suatu waktu mereka harus terpisah oleh kerakusan dan ketamakan manusia. Mereka memisahkan cinta yang tumbuh suci yang saling menyatu dalam satu sisi rasa yang sama, merontokkan ranting cinta yang melakat pada hati mereka berdua. Tapi ingatlah bahwa dalam cinta tak mengenal hukum keterpisahan, karena pada jarak yang memisahkan cinta ada tali rindu yang setiap saat mengutas erat pada dua hati yang berjarak, semakin lama kau menjarakkannya maka semakin bergelora hasrat pertemuannya, cinta tak pernah mati terbunuh tapi hanya pergi sesaat dan akan datang meski pada rupa yang beda. Itulah semangat cinta yang takkan mampu diterka oleh akal yang fana.

Sejenak kita tinggalkan cerita romansa antara kayu dan angin, biarkanlah mereka saling berbagi rindu disana, saling membalai kasih, jangan sampai mereka terusik karena perhatian kita. Mari  kita kembali pada aku yang sedang menulis surat untukmu..

Diluar sana sedang hujan pada kurun jam berlalu, aku masih saja menulis sendu-sendu harap padamu. Merangkai bait-bait perasaan yang tersusun rapih menjadi deret kata yang bermakna. Kugores penaku layaknya memberi kesempatan pada jemariku melampiaskan libidonya. Seperti siklus konsep psikodinamika Freud, terjadi dominasi Id pada si jemari yang tak terbendung, dia masih saja asyik meluapkan birahinya menjejali baris-baris kertas yang sejak awal tadi kosong putih bersih tanpa goresan. Melupakan seruan adzan, tak menghirau desingan hujan yang jatuh merintik diatap rumah, dan tak ingin menyaksi cumbu kayu dan angin, tak ada kata lelah pada dirinya sampai-sampai gelas putih berisikan air yang tegak berdiri diujung kertas tak dia hirau karena dia tak sedang kehausan tapi dia sedang birahi pada pena yang sejak tadi dia peluk, mereka berdua tak akan berhenti hingga menemukan klimaks pada ujung deret surat. Udara dingin perlahan merangsek masuk, diam-diam ingatanku menemukan potongan kisah dalam tumpukan kisah masa lalu yang telah kusam. sebuah frase tentang hujan:

frase hujan..

hujan hari ini, awalnya hanyalah tanda-tanda. ada awan yg mendung, tak ada angin sepoi, udara pengap, dunia terbungkus awan pekat, langit begitu pekat dan sedikit lagi gelap. hiruk pikuk jalanan, kendaraan begitu liar melaju, kerikil-kerikil tajam tak dihirau oleh mereka yg seperti kesetanan, diburu oleh kecemasan kota. berpacu dgn waktu krn hujan sebentar lagi datang.

begitulah hujan memberi tanda tentang jalan kedatangannya hingga dia datang disela waktu yang tak terkira. Pada sore tadi hingga malam saat ini. Mungkin seperti itu pula cara kedatangan cinta, menyampaikan tanda-tanda kedatangan tapi tak memberi kepastian kapan dia akan datang.

disaat hujan tumpah maka sekejap lahirlah sunyi, udara perlahan mendingin, kepengatan pergi diusir oleh rintiknya yg perlahan, yg ada hanya suara rintik yg membentur atap, iramanya indah bak denting piano yg mengalun diantara sunyi. kemudian tidurlah mereka kawan-kawanku dgn iramanya.

kala hujan terus rintik perlahan menyusun melodi dan irama untuk mereka yang lelap sementara aku disini sedang menepis ingatan pada mata sayup yang malu itu, aku larung dalam kenangan perjumpaan sesaat. seperti air hujan yg menyisir sela tanah, mengalir sangat cepat pada aliran deras sungai. hujan malam ini bekerja menyusun kenangan jumpa yang berlalu, kuartal demi kuartal kejadian dia ungkap. mengalir pelan perlahan menenggelamkan khayal dalam arus masa lampau. Saat itu sekejap waktu berjalan melambat. seperti itulah hujan membius. Entah kenapa hujan begitu bersahabat dengan damai masa lalu.

selepas hujan berlalu tak ada yg dia tinggalkan selain tetes air yg perlahan menetes disudut atap menimpali bunyi lompatan detik jam yg melompat pada baris-baris detik yg teratur. dalam sunyi keduanya saling membagi irama, saling melengkapi menjadi nada-nada pembius. Dalam ikatan nada tanpa lyric, nyanyian, dan tarian. Hingga rintik berlalu dengan mudahnya meninggalkan segenap damai yang ada. Yang tersisa hanya detik yang terus melompat dengan tabah. Keduanya memang tak bisa lama bersama karena mereka dicipta dari dunia yang beda, mereka hanya direkatkan oleh keadaan alam yang hanya sejenak membias. Bukan kah cinta Merahmu pernah demikian Jingga...???.

hujan pergi begitu tiba-tiba, pamit begitu saja, dengan salam permisi yang congkak. Tanpa menyisa kata yang mengharapkan. Dia pergi begitu saja. tak punya sopan santun. Dia hanya menyimpan genangan-genangan terka. yg tersisa tinggallah kesedihan, sendiri menghitung detik-detik waktu. Pada hari-hari selanjutnya dia masih saja mengharap hujan datang walaupun dia tahu bahwa alam punya kuasa berkehendak beda pada harapnya karena hujan hanya datang membias pada musimnya saja... Lupakan dia (Cinta Merah) itu, dan carilah Hujan yang datang kala sore yang men-Jingga..

seperti itulah hujan datang kemudian pergi, setelah datang memberi sunyi. pada hari-hari yang terus menitip harap, pada hari-hari selanjutnya.... kemudian dia pergi tak menyisakan apapun selain tetesan-tetesan kesedihan pada sunyi yang sama.

*********

Jingga, tahukah kau makna tentang potongan-potongan kisah yang kubuat untukmu kali ini. Kau pasti bingung tentang alurnya, dan seperti apa makna yang kubentuk pada deret-deret katanya...????. tulisan ini kubuat dalam penggalan-penggalan paraghraph yang tak saling terikat. Tapi didalamnya ada fakta yang penyiratkan nilai dan kau harus tahu. Bahwa jadilah seorang pemuda yang hidup di dunia dari banyak kepingan-kepingan cerita, temukan setiap kepingan-kepingan makna pada setiap kejadian yang berbeda maka kuyakin kau kan tahu makna tentang perjalanan hidupmu ke depan yang akan kau tempuh. Bukankah hidup ini seperti puzzle yang terdiri dari potongan-potongan kejadian yang saling terikat. Siapa yang mampu menyusunnya menjadi sebuah puzzle yang utuh maka hidupnya kan bernilai. Bukankah seperti itu dirimu jingga,, ???, bahwa dulu kau pernah punya potongan kisah merah yang menderang tapi suatu waktu merahmu memudar pada sebuah jejak peristiwa yang memilukan jiwa, hatimu harus kau sandarkan pada sandaran ketabahan, seakan adat tak lagi menjadi kawan baikmu. Selepas peristiwa itu Kau harus tertatih dikarenakan hari-harimu akan kau jalani dengan kesendirian hingga kau harus menjaring sinar merah itu, menangkapnya kemudian memenjarakannya dalam penjara gelap jiwa hingga rona merahnya tak lagi ada. Kini, Merah itu telah tiada, dia telah termakan waktu, hilang digantikan cahaya Jingga yang memberi sinar terang dihatimu, menerangi segenap relung jiwamu. Senyumanmu yang dulu kosong kini telah terisi cinta. Begitu tulus dan penuh kedamaian... tapi ingatlah Jingga, puzzle-puzzle hidupmu belum kau selesaikan, Kau baru berhasil menemukan kepingan-kepingannya tapi belum kau rapihnya menjadi utuh...

Jingga, kau pemuda yang cerdas, dibalik kematangan usiamu terkurung jiwa yang sedikit lagi ranum. Pada kisah diatas ada ekspectasi yang kutitip lewat makna-makna yang saling terikat tentang Jingga yang telah lama kukenal. Dia (jingga)  dikenal ceria dan seorang lelaki yang pemberani. Tapi kegundahannya tak mampu dia sembunyikan dariku, ada ruang gelap yang menutup satu sisi hatinya, tentang sebuah kisah masa lalunya yang membenak. Kuharap dia (Jingga) selalu belajar bahwa masa lalu janganlah dikenang tapi jadikanlah sebagai pemandu cita masa depan yang lebih baik. Dia (Jingga) yang bijaksana kan menemukan Jingga-nya disuatu sore yang kokoh.. mungkin sekarang dia telah menemukannya pada penghujung masa usia ke-30-nya yang berlalu...

Jingga, tahukah kau bahwa surat yang sedari tadi kubuat untukmu hanya berisi satu paraghraph saja, yaitu;

Dear Jingga...

Telah banyak kisah yang kau lewati, mungkin pernah kau temukan kisah pilu pada masa yang lalu. Sebuah niat tulus yang kau jaga harus dirampas oleh adat dan waktu. Sekarang, kau menemukan warna yang baru, kapan kau kan balas dendammu pada adat dan waktu yang pernah berlaku begitu kejam padamu...????. Bolehkah kutahu,,,!?.

Jogjakarta, 01 Mey 2016

Sahabatmu,, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar