Jingga, kau pemuda yang
digariskan tuhan menjadi penukar gelisah bagi mereka, dirimu laksana terang
yang terbit di penghujung waktu. Kau menjadi pemenang yang menenangkan, yang
memenangkan setiap perang yang kau tempuh. Tapi diantara kemenangan-kemenangan
yang kau raih ada selaksa gelisah yang terpancar dihatimu laksana cahaya yang
terbias ditumpukan air yang hinggap dipunggung daun di kala pagi, dia
menyilaukan dan tak akan mampu kau terkah isinya. Tatapanmu begitu tajam
menusuk seperti menumpangkan sakit dibalik mata-mata mereka. Jinggga kau telah
menaklukkan sepenjuru hati tapi hatimu masih belum kau taklukkan, kau boleh
tersenyum dalam setiap lipatan waktu tapi yakinlah bahwa setiap waktu yang
berlalu jiwamu meredup perlahan, telah banyak kisah penaklukan yang telah kau
torehkan, sosok penakluk yang tak berdaya karena kesendiriannya, mungkin
kesendirian adalah musuh terbesar bagimu sehingga mendorong hasratmu menjajah
jiwa-jiwa yang bersekan yang tak bertuan diluar sana. Kau dipertuan tapi tak
bermahkota diatas singgasana jiwamu karena selongsong pistolmu hanya mampu kau
todongkan pada mereka yang tak berdaya. Jangan jumawa Jingga karena dibalik
kekuasaan yang kau raih ada rentetan penderitaan yang kau lewati, didalam hatimu
yang bersorak pada tiap kemenangan-kemenangan yang kau raih ada bisikan yang
tak mampu kau dengar berkata pada dunia bahwa “aku menderita...!!!”. Ingatlah,
sekencang-kencangnya kakimu berlari kau takkan mampu mengalahkan waktu karena
waktu akan selalu berada didepanmu. Maaf jingga, kau belum pantas menjadi tuan
sebelum waktu mampu kau taklukkan.
Pernahkah kau dengar
Jingga, tentang kisah juang sang penakluk Iskandar the Great yang menaklukkan
seantero dunia dari masyrik ke maghrib. Dia anak yang lahir dari kesunyian
dunia berikrar penuh tekad bahwa dia kan menyatukan seluruh potongan-potongan
negeri, bercita-cita menguasai seluruh jiwa, dan menggenggam semua kuasa dalam
genggamannya. Tapi tahukah kau bahwa kesunyian takkan pernah hilang dalam
jiwanya, ketika dia menaklukkan sebuah negeri maka sontak datanglah kebanggaan
bertengger di hatinya yang penuh tekad tapi jauh ke dasar jiwanya begitu rapuh
karena dia harus melangkahi darah dan mayat-mayat yang berserakan di setiap medan
perang, dalam setiap langkahnya yang kokoh matanya lemah tak berdaya memandangi
hamparan kematian dan darah yang tumpah tercecer diatas tanah perang. Tahukah
bahwa kepiawaiannya memerangi takkan mampu mengalahkan kesucian jiwanya yang fana,
pedangnya yang tajam takkan mampu mengalahkan ketajaman hatinya yang terasah
oleh waktu, serta panji perangnya yang berkibar hentak diudara takkan mampu
menjulang tinggi diruang hatinya yang berangin lambai. Dia telah menguasai
sepenjuru dunia tapi pada akhirnya jiwanya pun kembali sepi,,, sunyi.
Jingga, aku punya pesan
yang ingin kusampaikan padamu perihal dunia dan cinta. pesan ini kutulis dikala
sore redup diantara suara adzan yang mendayu-dayu diudara dingin, perlahan
menjadi irama yang membius akalku dalam menyusun kata demi kata pada suratku.
Suara debur ombak tak lagi kuhirau. Aku menulis menggoreskan penaku pada
secarik kertas yang lembut, kutuliskan drama cerita perlahan membiarkan sang
pena menari-nari kegirangan pada setiap huruf yang kubentuk rapih. Aku begitu
bersemangat menulis untukmu sampai tak terasa senja begitu cepat berlalu, saat
ini semangatku begitu berkobar karena momentum ini hanya mampu didapatkan
sekali dalam setahun berlalu dan pula setahun ke depan. Rona jingga diufuk
barat telah hilang ditelan samudera tapi disini dibawah sinar lampu yang redup
perlahan aku masih tetap menulis untuk Jingga.
Dalam kesunyian awal
malam, angin sepoi merambat pelan-pelan masuk melalui jendela kamarku, membelai
lembut penuh hangat punggung bingkai jendela, seakan angin begitu rindu
berjumpa pada sang kayu. Aku tahu, dulu sang angin dan kayu jendela itu pernah
hidup damai dalam harmoni dibelentara hutan yang rimbun nan damai,
ilalang-ilang liar menjadi saksi kebersamaan mereka tapi suatu waktu mereka
harus terpisah oleh kerakusan dan ketamakan manusia. Mereka memisahkan cinta
yang tumbuh suci yang saling menyatu dalam satu sisi rasa yang sama,
merontokkan ranting cinta yang melakat pada hati mereka berdua. Tapi ingatlah
bahwa dalam cinta tak mengenal hukum keterpisahan, karena pada jarak yang
memisahkan cinta ada tali rindu yang setiap saat mengutas erat pada dua hati
yang berjarak, semakin lama kau menjarakkannya maka semakin bergelora hasrat
pertemuannya, cinta tak pernah mati terbunuh tapi hanya pergi sesaat dan akan
datang meski pada rupa yang beda. Itulah semangat cinta yang takkan mampu
diterka oleh akal yang fana.
Sejenak kita tinggalkan
cerita romansa antara kayu dan angin, biarkanlah mereka saling berbagi rindu
disana, saling membalai kasih, jangan sampai mereka terusik karena perhatian
kita. Mari kita kembali pada aku yang
sedang menulis surat untukmu..
Diluar sana sedang
hujan pada kurun jam berlalu, aku masih saja menulis sendu-sendu harap padamu.
Merangkai bait-bait perasaan yang tersusun rapih menjadi deret kata yang
bermakna. Kugores penaku layaknya memberi kesempatan pada jemariku melampiaskan
libidonya. Seperti siklus konsep psikodinamika Freud, terjadi dominasi Id pada si jemari yang tak
terbendung, dia masih saja asyik meluapkan birahinya menjejali baris-baris
kertas yang sejak awal tadi kosong putih bersih tanpa goresan. Melupakan seruan
adzan, tak menghirau desingan hujan yang jatuh merintik diatap rumah, dan tak
ingin menyaksi cumbu kayu dan angin, tak ada kata lelah pada dirinya
sampai-sampai gelas putih berisikan air yang tegak berdiri diujung kertas tak
dia hirau karena dia tak sedang kehausan tapi dia sedang birahi pada pena yang
sejak tadi dia peluk, mereka berdua tak akan berhenti hingga menemukan klimaks
pada ujung deret surat. Udara dingin perlahan merangsek masuk, diam-diam
ingatanku menemukan potongan kisah dalam tumpukan kisah masa lalu yang telah
kusam. sebuah frase tentang hujan:
frase hujan..
hujan hari ini, awalnya hanyalah tanda-tanda. ada awan yg mendung, tak
ada angin sepoi, udara pengap, dunia terbungkus awan pekat, langit begitu pekat
dan sedikit lagi gelap. hiruk pikuk jalanan, kendaraan begitu liar melaju,
kerikil-kerikil tajam tak dihirau oleh mereka yg seperti kesetanan, diburu oleh
kecemasan kota. berpacu dgn waktu krn hujan sebentar lagi datang.
begitulah hujan memberi tanda tentang jalan kedatangannya hingga dia
datang disela waktu yang tak terkira. Pada sore tadi hingga malam saat ini. Mungkin
seperti itu pula cara kedatangan cinta, menyampaikan tanda-tanda kedatangan
tapi tak memberi kepastian kapan dia akan datang.
disaat hujan tumpah maka sekejap lahirlah sunyi, udara perlahan mendingin,
kepengatan pergi diusir oleh rintiknya yg perlahan, yg ada hanya suara rintik
yg membentur atap, iramanya indah bak denting piano yg mengalun diantara sunyi.
kemudian tidurlah mereka kawan-kawanku dgn iramanya.
kala hujan terus rintik perlahan menyusun melodi dan irama untuk mereka
yang lelap sementara aku disini sedang menepis ingatan pada mata sayup yang malu
itu, aku larung dalam kenangan perjumpaan sesaat. seperti air hujan yg menyisir
sela tanah, mengalir sangat cepat pada aliran deras sungai. hujan malam ini
bekerja menyusun kenangan jumpa yang berlalu, kuartal demi kuartal kejadian dia
ungkap. mengalir pelan perlahan menenggelamkan khayal dalam arus masa lampau.
Saat itu sekejap waktu berjalan melambat. seperti itulah hujan membius. Entah
kenapa hujan begitu bersahabat dengan damai masa lalu.
selepas hujan berlalu tak ada yg dia tinggalkan selain tetes air yg
perlahan menetes disudut atap menimpali bunyi lompatan detik jam yg melompat
pada baris-baris detik yg teratur. dalam sunyi keduanya saling membagi irama,
saling melengkapi menjadi nada-nada pembius. Dalam ikatan nada tanpa lyric,
nyanyian, dan tarian. Hingga rintik berlalu dengan mudahnya meninggalkan
segenap damai yang ada. Yang tersisa hanya detik yang terus melompat dengan
tabah. Keduanya memang tak bisa lama bersama karena mereka dicipta dari dunia
yang beda, mereka hanya direkatkan oleh keadaan alam yang hanya sejenak
membias. Bukan kah cinta Merahmu pernah demikian Jingga...???.
hujan pergi begitu tiba-tiba, pamit begitu saja, dengan salam permisi
yang congkak. Tanpa menyisa kata yang mengharapkan. Dia pergi begitu saja. tak
punya sopan santun. Dia hanya menyimpan genangan-genangan terka. yg tersisa
tinggallah kesedihan, sendiri menghitung detik-detik waktu. Pada hari-hari
selanjutnya dia masih saja mengharap hujan datang walaupun dia tahu bahwa alam
punya kuasa berkehendak beda pada harapnya karena hujan hanya datang membias
pada musimnya saja... Lupakan dia (Cinta Merah) itu, dan carilah Hujan yang
datang kala sore yang men-Jingga..
seperti itulah hujan datang kemudian pergi, setelah datang memberi sunyi.
pada hari-hari yang terus menitip harap, pada hari-hari selanjutnya....
kemudian dia pergi tak menyisakan apapun selain tetesan-tetesan kesedihan pada
sunyi yang sama.
*********
Jingga, tahukah kau
makna tentang potongan-potongan kisah yang kubuat untukmu kali ini. Kau pasti
bingung tentang alurnya, dan seperti apa makna yang kubentuk pada deret-deret
katanya...????. tulisan ini kubuat dalam penggalan-penggalan paraghraph yang
tak saling terikat. Tapi didalamnya ada fakta yang penyiratkan nilai dan kau
harus tahu. Bahwa jadilah seorang pemuda yang hidup di dunia dari banyak
kepingan-kepingan cerita, temukan setiap kepingan-kepingan makna pada setiap
kejadian yang berbeda maka kuyakin kau kan tahu makna tentang perjalanan hidupmu
ke depan yang akan kau tempuh. Bukankah hidup ini seperti puzzle yang terdiri
dari potongan-potongan kejadian yang saling terikat. Siapa yang mampu
menyusunnya menjadi sebuah puzzle yang utuh maka hidupnya kan bernilai. Bukankah
seperti itu dirimu jingga,, ???, bahwa dulu kau pernah punya potongan kisah
merah yang menderang tapi suatu waktu merahmu memudar pada sebuah jejak
peristiwa yang memilukan jiwa, hatimu harus kau sandarkan pada sandaran
ketabahan, seakan adat tak lagi menjadi kawan baikmu. Selepas peristiwa itu Kau
harus tertatih dikarenakan hari-harimu akan kau jalani dengan kesendirian
hingga kau harus menjaring sinar merah itu, menangkapnya kemudian
memenjarakannya dalam penjara gelap jiwa hingga rona merahnya tak lagi ada. Kini,
Merah itu telah tiada, dia telah termakan waktu, hilang digantikan cahaya
Jingga yang memberi sinar terang dihatimu, menerangi segenap relung jiwamu. Senyumanmu
yang dulu kosong kini telah terisi cinta. Begitu tulus dan penuh kedamaian...
tapi ingatlah Jingga, puzzle-puzzle hidupmu belum kau selesaikan, Kau baru
berhasil menemukan kepingan-kepingannya tapi belum kau rapihnya menjadi utuh...
Jingga, kau pemuda yang
cerdas, dibalik kematangan usiamu terkurung jiwa yang sedikit lagi ranum. Pada
kisah diatas ada ekspectasi yang kutitip lewat makna-makna yang saling terikat
tentang Jingga yang telah lama kukenal. Dia (jingga) dikenal ceria dan seorang lelaki yang
pemberani. Tapi kegundahannya tak mampu dia sembunyikan dariku, ada ruang gelap
yang menutup satu sisi hatinya, tentang sebuah kisah masa lalunya yang
membenak. Kuharap dia (Jingga) selalu belajar bahwa masa lalu janganlah dikenang
tapi jadikanlah sebagai pemandu cita masa depan yang lebih baik. Dia (Jingga)
yang bijaksana kan menemukan Jingga-nya disuatu sore yang kokoh.. mungkin
sekarang dia telah menemukannya pada penghujung masa usia ke-30-nya yang
berlalu...
Jingga, tahukah kau
bahwa surat yang sedari tadi kubuat untukmu hanya berisi satu paraghraph saja,
yaitu;
Dear Jingga...
Telah banyak kisah yang
kau lewati, mungkin pernah kau temukan kisah pilu pada masa yang lalu. Sebuah
niat tulus yang kau jaga harus dirampas oleh adat dan waktu. Sekarang, kau menemukan
warna yang baru, kapan kau kan balas dendammu pada adat dan waktu yang pernah
berlaku begitu kejam padamu...????. Bolehkah kutahu,,,!?.
Jogjakarta, 01
Mey 2016
Sahabatmu,,

Tidak ada komentar:
Posting Komentar