Selasa, 29 November 2022

LAYLA MALAM

"Maka seperti apakah cinta yang kau sebut tulus dan apa adanya itu !?, yah seperti saat kita dipertemukan sesingkat senja berlalu tapi aku memilih mencintaimu sepanjang malam berlalu.."

Layla, seindah apakah malam yang kau sebut bintang gemintang berkedip-kedip tanpa henti di hamparan langit yang luas sehingga malam yang begitu sunyi nan gelap itu berangsur-angsur ramai oleh kedipan-kedipan bintang. Lalu, kau berani menyebutnya nyata setelah kau bersumpah bahwa bintang gemintang yang berkedip-kedip itu datang padamu mengetuk pintu jendalamu lalu pendar di dalam kamarmu. O Layla, sebahagia apakah perasaan seorang lelaki yang melihat sebuah malam yang jauh lebih sempurna dari sketsa malam yang kau ceritakan ini ?.

Sepanjang waktu berlalu, selalu ada cerita tentang wanita kesepian. Malam yang memeluknya dalam dingin yang serba sendiri. Lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya suara debur ombak yang menghempas batuan karang dapat terdengar hingga ke atas langit, maupun ke pulau seberang.

Padahal sepanjang malam berganti, sebuah cerita tentang lelaki kesepian jauh lebih hangat untuk diceritakan. Malam yang membuatnya berfikir tentang malam di suatu tempat nun jauh dari bentangan samudera yang menjadi pemisah dari dirinya saat ini, dan mungkin lebih jauh dari suatu waktu yang pernah dia alami di masa lalu. Samudera yang menyembunyikan palung kerinduan yang teramat dalam dan beku, yang menjadi kuburan hidup untuknya, dimana ia tahu bahwa ia bisa saja terkubur bersama kerinduannya di dalam sana, hingga tak ada lagi jalan kepulangan untuknya.

Lelaki itu sedang menulis tentang malam yang sesungguhnya bukan malam yang saat ini sedang ia jalani. Tapi suatu malam yang panjang dalam ribuan peristiwa malam dalam hidupnya, ia pun tidak sadar bahwa sejak dari tadi, tepat setelah senja berakhir dirinya telah tenggelam ke dalam sana, dalam sebuah kenangan malam yang hening dan sunyi. 

Layla, ia sedang berusaha merayumu, membuka lebar ingatanmu tentang sebuah malam di Akkarena, dua puluh tahun silam. Potret malam yang andai bisa ingin sekali ia ziarahi satu kali saja di sepanjang nafasnya berembus.

Kebekuan Pantai Sedayu menambah ringkih suasana, dingin dalam deretan kata-kata yang sebentar lagi hidup sebagai cerita malam yang terbang dari teras rumahnya ke dalam kamarmu yang di penuhi bintang-bintang. Sementara itu puntung tembakaunya kian berserakan di atas lantai. Tersapu oleh angin pantai yang meliuk-liuk.

Sambil menatap hirau pada langit malam ia terus menulis diatas kertas yang bisu dan pasrah. Seakan-akan tulisan itu akan menjadi lembaran cerita dalam hidupnya yang kacau. Ia pun berharap pada bintang gemintang di langit malam yang tak terhitung jumlahnya menjadi saksi tentang cerita yang ia tuliskan malam ini.

"Layla, setiap aku melihat langit malam, aku memikirkanmu". 

Tulis lelaki itu penuh khidmat, Kemudian ia lanjutkan tulisannya.

"Di malam yang cerah, di tepi Pantai Akkarena. Kita duduk menjuntaikan kaki, menikmati embusan angin mammiri dan melihat perahu-perahu phinisi dengan lampu kerlap-kerlip di sekujur bagannya, pergi entah kemana, berlayar ke mana angin membawa kepergiannya. Dan, itulah sketsa malam ketika itu".

Lalu ia menulis dalam paragraph baru. Sesekali menghisap tembakau di tangannya, yang terbang pelan mengudara dalam bentuk gulungan-gulungan asap, lalu hilang perlahan bersama angin malam yang tak meninggalkan apa-apa selain bau tembakau yang pekat dan basah, mungkin juga kerinduan dari dalam dadanya terbang menguap bersamanya, lepas menjadi udara dingin.

"Jadi, Selama apakah seorang wanita mampu menunggu ?", 

O tidak, ia salah, dia menghapus kata lama lalu menggantinya dengan sebuah kata singkat. 

"Jadi, Sesingkat apakah seorang wanita mampu menunggu ?". 

Lelaki itu meyakini bahwa wanita tak pernah sanggup berlama-lama dalam urusan penantian, jadi ia menghapus kata lama. Sudah banyak bahasa yang kehilangan makna bagi penantian seorang wanita. Bahkan waktu pun tak punya daya yang lama dalam memikul beban berat perasaan seorang wanita yang sedang menunggu. Jadi, ia mempersingkat waktu, seakan-akan waktu telah merambat lambat laksana gelombang yang teramat tinggi bangkit dari dasar samudera yang terhampar luas di depannya, dan perlahan gelombang tinggi itu menyapu seisi pantai hingga ke daratan nun jauh dari tempatnya, gelombang itu menelan seluruh isi bumi yang bisa jadi ia akan ceritakan dalam tulisannya, tapi ia pun menyadari bahwa dirinya bersama lembaran-lembaran kertas di hadapannya juga telah lenyap.

Di dalam kepalanya, panggung seperti telah disiapkan. untuk sepasang manusia yg menunggu malam yang dimaksud si lelaki itu. Suasana penantian itu masih terus ringkih seakan di Pantai Akkarena tak pernah ada malam yang seindah malam yang sedang ia nantikan. Atau barangkali malam yang sebentar lagi datang akan menjadi malam terakhir bagi mereka, meski tentu malam akan teramat merindukannya, entah itu di mana. 

"Layla, mungkin Kamu tidak tahu kenapa aku mengajakmu menunggu malam waktu itu, dan sepanjang malam silih berganti kau hanya mengira itu sebagai sesuatu yang biasa saja, sesuatu yang tak punya makna, bahkan sesuatu yang tak dapat kau pahami sedikitpun sebagai bingkisan malam terindah untukmu".

Seperti sebelumnyaa, lelaki itu terus menulis. Tanpa suara, dan tanpa hirau pada suara angin dan desir-desir ombak di sekitarnya.

"Layla, sedalam apakah diam seorang wanita yang tak bertepi itu ?, mungkin kau pun tidak tahu bahwa aku bisa begitu mengenal wanita yang sediam malam, hingga aku mengetahuinya sebagai sesuatu yang gelap dan misterius, tetapi aku tetap suka berada di sampingmu sekalipun kau tak pernah menjawab apa-apa pada tiap suaraku. Dan kau menjadi serupa kegelapan, yang akan terus lelap tertidur tanpa kata-kata".

Nah.

"Lalu begitukah bentuk malam yang akan terus kita jalani hingga malam-malam selanjutnya ?, dan sudikah kita biarkan malam yang indah itu menjadi bangkai masa lalu tanpa menyimpan kenangan apa-apa ?, tanpa cerita, atau tanpa kerinduan sedikitpun". 

Okey

"Selain malam yang silih berulang dari malam ke malam, atau jangan-jangan kau telah menguburnya ke dalam liang yang gelap dan dalam hingga kau keliru bahwa itulah malam yang maha abadi. Di atasnya sebuah nisan kematian kau buat atas nama malam, yang kau harap dapat kita ziarahi sebagai tanda matinya kerinduan".

Lelaki itu terus menulis.

"Layla, lihatlah sepasang kekasih itu yang sedang menikmati langit malam, yang diam dan hirau pada suasana Akkarena ini. Yang saling tertawa yang mungkin kita lah yang sedang mereka tertawakan. Atau mungkin keduanya seperti kita, sedang bicara tentang langit malam dan bintang gemintang yang indah. Lalu kita menjadi sepasang manusia yang asing bagi mereka, yang tak punya rasi bintang untuk satu tujuan yang sama".

Sementara itu kau masih menduga-duga bahwa di pantai inilah sudut yang paling strategis menikmati bentuk malam, disini pandangan begitu luas melihat rasi bintang yang indah. Satu yang kau tunjukkan padaku dengan jemarimu, tanpa suara, tanpa kata-kata. Sekalipun begitu, aku tahu itu sebagai rasi kepulangan bagi siapapun yang berlayar dari sebuah kepergian yang tak tentu arah"

"Semacam rasi penyesalan ?. Iya, sebuah arah kepulangan bagi seorang lelaki yang pernah meninggalkan seorang wanita dan memilih pergi mengarungi samudera kepergian bersama orang lain. Memang benar samudera penyesalan itu sangatlah luas terbentang, dan butuh waktu yang panjang untuk kembali. Dan hari ini melalui pertemuan ini sudikah kau menerimaku pulang sebagai seorang lelaki yang dipenuhi penyesalan ??".

Seperti biasa, seperti malam yang dingin dan pendiam, kau tak menjawabku.

"Lantas kita terus menikmati malam dalam diam dan rindu yang ringkih tersapu debur-debur ombak Akkarena. Aku pun bahagia setidaknya sesekali kau tersenyum menatap bintang yang berkedip-kedip malam ini".

Lelaki itu sekarang berhenti menulis, lalu menoleh ke langit malam yang terpampang luas di hadapannya, memikirkan kata-kata yang tepat tuk ia tumpahkan ke dalam kertas di depannya. Seakan-akan suasana malam ingin dia masukkan seutuhnya ke dalam prosa yang panjang, yang harus ia selesaikan malam ini. Latar malam yang hitam pekat hingga ke dasar samudera yang dalam ingin ia lipat lalu ia masukkan sebagai malam yang hidup dalam tulisannya. Hingga siapapun yang membacanya seakan-akan menemukan kehidupan malam yang betul-betul indah, tak terkecuali Layla.

"Tapi apakah seorang wanita benar-benar dapat berubah menjadi malam !??"

Kau masih diam, tak menjawab apa-apa.

"Layla, andai kau demikian, maka aku kan kembali untuk sebuah jalan kepulangan yang sekalipun itu konon lebih jauh dari lautan makassar ini !!!".

Dan kau tak menjawab apa-apa.

Sepanjang angin berembus, kau masih terus diam. Tapi malam semakin dingin, pohon-pohon kelapa melambai ke arah meraka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, purnama belum datang.


Surabaya, 27 September 2022

Penulis adalah pengagum malam.

Minggu, 18 September 2022

SENJA MERAH

SATU

Setiap kali aku kesana tidak ada satupun wajah orang-orang yang tidak bahagia disana. Dan mereka tak butuh alasan melakukannya, tertawa sepuas-puasnya saat senja datang membawa guratan merah di langit luas, di atas hamparan air laut yang juga memerah. 

Hubungan kita terus berjalan, berhenti sejenak, kemudian lanjut lagi, lalu berpisah lagi, dan bertemu lagi, berpisah lagi, dan seterusnya. Aku juga akan menceritakan cerita ini seperti hubungan ini, karena diantara mereka yang duduk menikmati senja itu ada kamu disana sedang duduk di atas rerumputan yang kering, dengan baju yang kusut, menatap kosong pada cakrawala, menunggu senja dengan hati bahagia. Semua orang disana mengenalmu, seorang wanita tanpa nama yang tidak pernah alpa menunggu senja di tiap-tiap sore, di tempat ini. 

Tiap-tiap sore kamu pasti datang dengan pakaian andalanmu, walau aku hanya lebih suka melihatmu saat sesekali kau memakai baju abu-abu dengan kerudung hitam yang kau kenakan di satu sore, ditambah celana jeans panjang yang kakinya sedikit terangkat karena lingkar kakimu yang kian membesar. Aku teramat mengenalmu walau kau datang dengan kostum yang berbeda-beda. Dan aku lebih mudah menemukanmu dari puluhan pasangan yang duduk berbaris di tepi pantai, walau batu-batu karang menyembunyikan tubuhmu. Itu karena kamu selalu datang lebih cepat dari wanita-wanita itu yang hadir bersama pasangannya, lebih dulu menemani kicau burung dan debur-debur ombak yang melambat labuh, tidur diatas rerumputan yang hijau dan terkadang kamu memetiknya, lalu melemparkannya pada ikan-ikan yang mengiranya sebagai umpan, atau menemani sepasang angsa yang tak jemu berkejar-kejaran di belakangmu. Kamu pasti ingin seperti mereka, hidup penuh bahagia, tanpa air mata, tanpa kesedihan, bersama dengan bebas, menikmati ketentraman, dan menjadi bagian keindahan di mata setiap orang.

Masih sangat hangat diingatan saat pertama kali kau datang bersama seorang laki-laki yang entah siapa. Berjalan dari kejauhan, sembari bercerita, entah apa yang kalian ceritakan, andai bisa kuraba narasi cerita itu maka aku yakin kalian sedang bercerita tentang senja hari ini, yang sebentar lagi datang menemui kalian. Dan andai aku menjadi laki-laki itu, maka aku kan memulainya dari sebuah kata-kata yang sedikit lebay dan dengan kadar sastra yang berada jauh dibawah garis kemiskinan kata-katamu. Aku tahu kamu seorang penulis sastra, dan aku hanya seorang laki-laki yang berusaha terlihat sastrawi walaupun itu naif;

”Aku suka senja, apalagi jika melihat burung-burung terbang ke arah barat, seakan-akan rumah mereka adalah senja.”

”Tetapi, aku tidak begitu mengerti senja. Bagiku tak ada sekat antara sore dan malam, antara sisa-sisa cahaya siang dan datangnya potongan-potongan malam.”

”Apa kamu tidak pernah bermain di pantai ketika sore hari? Ketika kamu lihat langit menggaris merah dan beberapa perahu berlayar lurus hanya menyisakan layarnya yang berkibar. Seperti sangat dekat dengan garis dunia itu. Seakan bersandar pada cahaya senja.”

"Tidak, aku hanya tahu pantai yang panas, dan sore hari aku pulang untuk beristirahat.”

"Jadi, kamu tidak pernah melihat senja?”

”Aku bisa melihatnya dari foto-foto.”

"Foto-foto tidak hidup, semuanya diam, seperti dunia tanpa waktu.”

”Kalau begitu berikan aku video yang merekam senja.”

"Tidak. Aku tidak punya. Aku saja jarang menikmati senja yang utuh. Pertemuan kami hanya sesekali, kadang setahun dua kali, kadang setahun sekali, bahkan sering tidak sama sekali.”

"Lalu, di mana kamu bisa melihat senja yang utuh?”

"Aku hanya melihatnya ketika aku pulang ke rumah orangtuaku di kampung. Di sana ada bukit luas yang jarak pandangnya sampai ke pantai, dan ketika sore tidak akan ada yang menghalangi pemandangan terbenamnya matahari, termasuk senja itu.”

Kemudian segalanya hening.

”Kalau begitu, aku akan membawamu ke suatu tempat di kota ini yang bisa melihat senja setiap hari.”

"Apa? Bukankah tadi kamu bilang tidak pernah melihat senja?”

------------

DUA

Hari ini hujan, kita tak bisa melihat senja. Jadi janji kita tuk melihat senja hari ini kita tunda saja, sampai hatimu benar-benar tak kelabu seperti awan-awan yang kelabu, rintik-rintik air hujan, serta kabut pekat di tengah laut yang menguap ke atas langit.  Aku tak ingin hujan menyembunyikan kebahagianmu hari ini. Aku hanya ingin menatapmu puas saat engkau tertawa, tidak bersedih, tidak menangis, dan berbahagia serupa langit cerah di hari kemarin.

Kita nikmati saja senja di rumah masing-masing. Bersama hujan yang mungkin akan lama. Cukup kita membayangkan senja di atas genangan air hujan. Di halaman belakang rumah kita. Menemukan irama dari ricis hujan, hingga dapat membawa kita membayangkan pemandangan senja yang kekal. Senja yang berbeda kali ini. Senja yang guratan merahnya begitu pekat, seperti kelopak mawar merah atau seperti merah darah yang baru saja tumpah dari tenggorakan.

Orang-orang di sini, di sekitar rumahku tak begitu peduli apakah matahari telah tenggelam atau bahkan terbit dari arah tenggelamnya. Tiap-tiap hari mereka hanya sibuk menunggu sinar, bukan peristiwa. Bagi mereka tidak ada momen yang penting diabadikan selain pergi dan pulang begitu saja. Pagi dan senja hanya penanda, dan jika malam tiba mereka memilih tertidur pulas di atas kasur empuknya. Sejak itulah aku seperti kehilangan nyawa dalam tiap senja yang kutemui di tempat ini.

Begitupun kamu, tak ada senja disana, selain rintik-rintik hujan yang jatuh dari atap rumahmu, dan kau teramat sedih karena tak dapat melihat senja kali ini. 

Sebentar lagi malam. Tiba-tiba hening.. 

Sebercak cahaya merah merambat ke dalam kamarmu, tumpah seperti lukisan penuh darah pada dinding-dinding kamarmu.

"Senja, yah itu senja...", ucapmu.

Senja itu aneh. Senja yang dapat kau temui di dalam kamarmu, yang datang di waktu hujan turun. Senja yang sulit kau percaya, yang walaupun dia telah datang kau masih meragukannya sebagai sebuah senja.

Dan, senja itu begitu basah, dingin, dan beda. Senja yang dari jauh menerabas rintik-rintik hujan hanya untuk menjengukmu dari jendela kamarmu.

Beginilah senja itu. Tidak ada burung-burung terbang, tidak ada layar-layar perahu yang menghiasinya, dan senja yang tidak punya apa-apa selain membawa bercak-bercak merah seperti darah.

Lalu pelan-pelan kamu mengarahkan pandanganmu ke jendela dan menatapnya bahagia. Senja itu pun tersenyum melihatmu tersenyum.

Wajah putihmu yang teduh membuatnya urung untuk berpaling. Dengan senyummu senja itu tiba-tiba bahagia walaupun sepertinya kamu mampu membaca gurat kepedihan yang murung dari tirai senja kali ini.

Lalu semuanya hening, angin kencang menghempas daun jendela, hujan semakin lebat, dan senja itupun menghilang. 

Kau begegas ke jendela membuka jendelamu, mencari-cari senja itu, berteriak-teriak menyebut namanya. Tapi, senja itu telah tiada.

Senja itu pergi tanpa permisi..

Senja itu pergi karena kau tak boleh membayangkan tentang malam. Malam hanya akan membuyarkan senja. Tentu, karena senja dan malam hanya mungkin dipertemukan oleh sebuah garis waktu yang teramat singkat.

Tapi senja yang datang itu benar-benar nyata untukmu. Sekalipun kau menyangsinya sebagai kenyataan. Sebuah senja yang dapat kau bentuk dalam khayal, senja yang hanya datang saat hujan turun di rumahmu. 

Dan senja itu, aku...

------------

TIGA

Sejak kemarin aku menunggumu di sini, tapi kau tak pernah datang, waktu telah menyisakan pertanyaan besar di kepalaku, rasa penasaran yang membatu di pelipis senja yang membuatmu absen selama 6 hari ini. Ada apa denganmu?? hingga senja pun terasa kosong sejak kau tak pernah ada.

Atau apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di tepian langit itu telah mematikan rasamu untuk mencintainya?, sehingga kau lupa bahwa senja itu jugalah yang membuat samudera yang biru berubah merah seperti kelopak bunga mawar merah. Tidakkah kau rindu melihat air yang biru itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran ombak yang menabrak bibir pantai !?. Sealpha apakah perasaanmu saat ini ??.

Sepanjang angin akan berembus di sore ini senja pun terlihat kesepian terbenam tanpa kehadiran seorang wanita yang tiap-tiap hari menunggunya datang, menyambutnya dengan senyum manis semanis legit coklat buatanmu, yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar.

Lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh ombak tak pernah henti menabrak pantai, atau bebatuan yang menumpuk di ujung tanjung. Yang ada hanyalah mereka yang berbaris di tepian bersama pasangannya masing-masing tanpa peduli pada senja yang datang. Tidak peduli pada merah senja yang berubah dari hari ke hari. 

Dan kini, aku sudah mengerti bagaimana senja itu begitu merah saat kau tiada. Saat kau tak pernah datang menjenguk senja sejak 6 hari yang lalu. Di saat itu pula cahaya senja di permukaan air laut seperti berubah menjadi merah yang benar-benar merah, merah pekat, merah darah. Warna merah yang seperti nyata, bukan sebatas pantulan merah yang datang dari langit, seolah-olah warna merah itu datang dari bawah samudera yang dalam dan menakutkan.

Sudah begitu lama, semakin lama kau alpha semakin senja berubah bentuk. Sudah genap kepedihanku itu membatu di dadaku karena menunggumu datang. Dan hari ini telah kuputuskan tuk tidak menunggumu lagi, tuk tidak menantimu lagi, tuk tidak mengharapkanmu datang, menunggu seorang wanita yang sama di setiap senja datang. Wanita pencinta senja, seorang wanita yang sejak dia alpha senja itu tak lagi merah semerah biasanya..

Maka di bawah senja yang merah, dari senja yang terus berubah sampai sore ini aku meminta pamit tak menunggumu lagi, dan kau boleh pergi selamanya hingga senja yang lain datang, nanti..

----------

EMPAT

Tidak ada lagi aku, kamu, dan senja...


Tanjung Bunga, 18 September 2022


Ditulis di waktu-waktu senja dan dari senja yang datang dan pergi..


Minggu, 21 Agustus 2022

BONEKA KUCING DARI KUNANG-KUNANG


     Pada malam hari, ayahmu akan menjadi kunang-kunang, terbang kesana kemari, di atas mekar bunga-bunga, berkeliling sepanjang jalan, mencari remang cahaya, hinggap di daun-daun pohon, berteduh dari hujan dan gerimis, lalu terbang lagi, ke bebatuan, ke atap-atap rumah, ke tiap-tiap jendela. Sepanjang malam ayahmu menjadi kunang-kunang, mencari kamu yang sudah lama hilang.

”Di mana kamu, anakku? Di mana?”

Nyala di tubuhnya begitu terang, seperti kerinduan yang membara, namun berkedip-kedip, seperti rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ayahmu—kunang-kunang malam itu—terus mengembara, berjam-jam, tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Ia akan terus mencarimu, ia arungi sepanjang jalanan yang berliku, yang senyap berbatu, ia terbang di atas sungai yang bercabang, yang entah bermuara di mana. Ia datangi setiap gubug-gubug lapuk. Sampai akhirnya ia temui kamu di sebuah rumah, rumah yang kemudian sangat dikenalnya. Dan sejak itulah, setiap malam, bapakmu selalu setia mengunjungi rumah itu, melihat dirimu tertidur pulas, mendoakan keselamatanmu, lalu bergegas pergi ketika pagi hendak tiba, dengan niat untuk kembali di malam berikutnya….

***

Hari ini tanggal 20 Agustus 2022, 14 tahun berlalu, sejak aku tumbuh besar di tempat ini, ceritanya akan selalu seperti itu, turun-temurun. Di kampung sepanjang gunung ini, yang sebentar lagi akan tergerus oleh pesatnya kota. Katanya, bukit-bukit batu yang mengelilingi kampung ini akan diratakan dengan tanah dan dibuat menjadi bandara. Tapi saya yakin kalau cerita itu akan ikut tergerus di kampung ini, bahwa jika ada seorang anak yang kehilangan ayahnya, entah meninggal atau minggat dengan perempuan lain, maka orang-orang akan menghibur dengan cerita itu, mereka akan mengatakan bahwa ayahnya sekarang sudah berubah menjadi kunang- kunang yang rajin mengunjunginya. Meski tak berwujud manusia, anak itu harus sadar bahwa sang ayah masih benar-benar ada, masih suka berdiam di dekatnya, terutama di malam hari, untuk memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya.

Sejak dahulu aku tak benar-benar percaya dengan cerita tersebut, sampai malam ini aku mendengar cerita temanku, Aliyah. Gadis kecil yang tiga tahun lalu ditinggal sang ayah, menikah lagi dengan seorang wanita, Aliyah dan ibunya pun hidup serumah bersama-sama. Senasib dengannya, aku memang suka menemani Aliyah yg kesepian, ia tinggal sendiri bersama sang Kakek, sementara ibunya juga sudah tiada tepat setahun setelah ayahnya minggat dari rumahnya, pergi bersama istri sirinya. Ibu Aliyah menjadi korban kebakaran rumah di kota perantauan. Sepulang dari sekolah ia harus menyaksikan ibunya terpanggang sendirian dalam kobaran api rumahnya yang terbakar. Tinggallah Aliyah sebatang kara di kota itu, hingga akhirnya Aliyah diajak kakeknya tuk pulang ke kampung halaman.

Aliyah berkisah padaku, bahwa semalam ia baru saja bertemu bapaknya. Awalnya aku tak terkejut, sebab bisa saja bapaknya memang berkunjung ke desa ini untuk menjenguk Aliyah. Tetapi gadis itu berkata bahwa ayahnya sudah menjelma kunang-kunang, dan ia melihat kunang-kunang itu terbang di luar kaca jendela kamarnya.

”Lalu? kamu buka jendelanya?” Tanyaku.

”Iya, kubiarkan kunang-kunang itu masuk, lalu tidur di sampingku, di atas kasur.”

”Terus?”

”Terus aku tidur dan bermimpi, dalam mimpi itu, aku benar-benar bertemu ayah.”

”Jadi, kamu bertemu ayahmu cuma dalam mimpi?”

”Iya.”

”Besok paginya bagaimana?”

”Besok paginya kunang-kunang itu hilang.”

”Hilang?”

”Iya. Hilang begitu saja.”

Wajah Aliyah berakhir sedih. Namun saat itu juga pikiranku melayang jauh. Setelah berpamitan & meninggalkan rumah Aliyah, cerita itu seperti berputar kembali untuk diriku sendiri.

Aku membayangkan ayahku masih ada sampai saat ini, sampai detik ini, & dia pun amat merindukanku malam ini.

Tetapi, siapa ayahku?

Barangkali ayahkuu memang penjahat. Ya. Sudah jadi dugaan umum, bahwa dia penjahat. Seorang laki-laki yang tega meninggalkan ibuku demi perempuan lain. Dia perlakukan ibuku dengan sangat kasar dan tanpa perasaan. Dia seorang laki-laki tengik, yang tidak bertanggungjawab. Konon katanya, saat itu aku masih berusia 7 bulan. Hingga akhirnya ibu memutuskan untuk minggat dari rumah dan pulang ke rumah nenek, di rumah ini.

”Dulu, ayahmu sering menyakitiki hati ibumu. Tidak peduli dengan kondisi ibumu. Hingga akhirnya ibumu jadi kurus kerontang” Kata Nenek.

"Kenapa ayah setega itu, Nek?”

”entahlah, nak.”

”Apakah ayah pernah membujuk ibu untuk pulang, Nek?”

”Beberapa kali, di awal-awal, tapi ibumu saya larang ikut, hingga akhirnya ia tidak pernah datang lagi".

”Terus ayah ke mana?”

”Tidak tahu.”

”Apa ayah masih hidup nek ?”

”Tidak tahu.”

”Apa Nenek mau bantu aku mencari ayahku ?”

”Hmm, tidak mau”.

Lalu desas-desus tentang ayahku pun mengiringi bertambahnya usiaku, ketika aku beranjak lima belas tahun, ketika aku dianggap sudah mulai bisa mengingat dan menampung kenangan. Aku semakin ingin tahu tentangnya. 

Begitulah para tetangga, sebagian menjelekkan pribadi ayahku. Kebanyakan bercerita kebaikannya. Tapi entah kenapa, semua orang di rumah ini seolah-olah bersepakat bahwa ayahku adalah orang jahat, termasuk ibu.

Sepanjang aku mulai mencari tahu tentang ayahku pada tetangga setiap tetangga berusaha memberikan cerita versinya masing-masing.

”Biasanya, seorang laki-laki yang meninggalkan istrinya itu karena punya simpanan wanita lain di luar sana"

”Tapi, mungkin ayahmu berlaku demikian karena hal lain. Setahuku, ayahmu orang baik. Sifatnya dingin dan tidak banyak basa-basi"

”Eh, mungkin saja ibumu minggat dari rumah karena keinginan sendiri. Tapi entahlah, yang kami dengar dari mereka selama ini ayahmu lah yang salah"

Dan sebagian berbisik senyap di kupingku lalu mengatakan:

”Atau mungkin saja keluargamu lah yang menyembunyikan cerita yang sebenarnya pada kami".

Semakin lama, kisah tentang ayahku membuatku pusing, namun aku sempat heran, mengapa tak ada yang menghiburku dengan cerita yang mengatakan bahwa ayahku suatu saat akan datang kemari menjengukku. Bahkan aku tidak mampu mengingat bagaimana wajah ayahku. Wajah yang pasti pernah menggendongku hingga akhirnya memutuskan untuk tidak pernah menemuiku lagi.

Cerita itu hanya ditujukan untuk menghiburku, cerita yang benar adalah apa yang dikatakan ibu. Tidak mungkin ibuku bohong padaku. Tapi, apakah ibuku benar-benar jujur tanpa sedikitpun menyembunyikan sesuatu dariku !??. Ibu mungkin tidak bohong tapi bisa saja menyembunyikan patahan cerita yang lain dariku agar aku ikut merasakan kebenciannya dan tidak mencari ayah. Tapi apakah pantas semua kesalahan seutuhnya dilimpahkan pada ayahku !??.  Entahlah.. Tapi aku merasa ada sesuatu yang ganjil dari seluruh cerita tentang ayahku dari dalam rumah ini. 

Semakin orang bercerita tentang kejahatan dan keburukan ayahku aku semakin ingin mencari tahu tentang kebenarannya. Jika memang ayah jahat, kenapa ibu menikah dengan ayah ?, kenapa nenek merestui pernikahan itu ?, dan tidak mungkin aku lahir di dunia ini sebagai seorang anak dari hasil pernikahan cinta mereka berdua. 

Kenapa ayahku teramat tega tidak pernah datang menjenguk anaknya. Padahal setahuku kami tidak pernah pindah rumah. Dia tahu dimana seharusnya dia datang menjengukku. Setega itukah dia sebagai seorang bapak. Sejujurnya aku sangat marah padanya, bahkan kemarahan itu sudah membatu di dadaku. Dia pun tak pernah datang menjengukku walau sekedar dalam rupa kunang-kunang.

****

Hari pun beranjak lenyap, cahaya jingga sudah pendar memayungi langit. Aku harus pulang dan pamit dari sini. Ibu pasti sudah risau menunggu kepulanganku.

Aku berjalan pulang dari rumah Aliyah dengan setengah melamun, melangkah sendirian di gang kompleks yang temaram. Dan di sebuah perempatan yang remang, beberapa ratus meter sebelum rumahku, tiba-tiba kulihat seekor kunang-kunang terbang rendah di dekat tanah. Aku terheran-heran. Kunang-kunang itu sendirian saja, berkedip lemah.

Tunggu.

Apakah ia adalah jelmaan seorang ayah yg anaknya ada di kampung ini? Apakah ia ayah dari Aliyah yang kemarin malam terbang di luar jendela?

Apakah ia ayahku yg dikatakan jahat itu ?

Kudekati kunang-kunang itu, kuambil salah satu botol bekas yang berserak di tempat sampah. Aku membentuk cekungan pada telapak tangan kiri untuk menggiring kunang-kunang itu masuk ke lubang botol, lalu aku menutupnya dengan telapak tanganku. Anehnya, kunang-kunang itu menurut begitu saja.

Kunang-kunang itu sekarang ada dalam botol, cahayanya tak memantul, ia terbang kesana-kemari, sepertinya kebingungan, berpindah-pindah pada dinding botol. Aku setengah berlari menuju rumah, langsung ke kamar, untung saja Nenek sudah tidur, jadi tak tahu apa yang kulakukan. Kututup bagian atas botol dengan plastik dan karet, lalu kuletakkan di atas meja. Dan seperti cerita Aliyah, aku berharap malam ini bisa bertemu ayah, agar aku bisa tahu wajah ayah, walaupun hanya dalam mimpi.

Aku memang benci Ayah tapi aku ingin punya ayah yang setiap sore atau pagi mengajakku berkeliling kompleks sambil meremas tangannya yang kasar. Aku ingin punya ayah yang setiap makan malam memanggilku tuk makan bersama. Aku ingin punya ayah seperti teman-temanku yang lain yang katanya, sebelum tidur ayahnya membacakan dongeng pengantar tidur. Aku ingin punya ayah yang di setiap hari ulang tahunku membawa kado istimewa untukku.

Sambil merebah di atas tempat tidur, masih bisa kunikmati cahaya lemah kunang-kunang itu, hingga akhirnya aku terlelap dengan sendirinya.

*****

Entah sudah berapa jam berlalu, aku seperti tergagap bangun, kemudian segalanya menjadi terasa amat ringan. Ini seperti nyata. Dan ketika perlahan kubuka mata, tampak seorang lelaki sedang duduk dengan pandangan mata yang mengarah kepadaku. Dia memegang sebuah boneka kucing yang lucu. Seperti boneka pemberian ayah saat ulang tahun pertamaku. Aku pun langsung mengarahkan mataku pada lemari kaca di sudut kamar, memastikan bahwa boneka pemberian ayah 14 tahun lalu itu masih tersimpan rapi disana.

”Apakah kamu kunang-kunang yang semalam itu ?”, tanyaku.

”Benar, aku kunang-kunang yang kamu tangkap dengan mudah, yang kau masukkan ke dalam botol.”

"Trus, kamu ini siapa ?".

"Aku ayahmu nak". Jawabnya dengan lirih.

Dengan lidah yang kaku dan bergetar aku pun menjawab. Memastikan sekali lagi ucapan lelaki itu yang menyebut dirinya sebagai ayahku.

"Be....tu...lll... kamu ayah ?". 

"Iya betul".

"Trus kenapa ayah baru datang sekarang ????".

Dan ibu tiba-tiba mengetuk pintu dan berteriak dari balik pintu, mengajakku shalat subuh.

"Nak, shalat subuh..!!!"

Aku pun terbangun. Dan langsung menoleh ke arah meja. Botol plastik itu lenyap bersama kunang-kunang itu. Tapi.... boneka kucing itu memandangku diam dari atas meja.

Samata, 21 Agustus 2022


Ditulis oleh seorang bapak yang rindu pada anaknya.