Selasa, 29 November 2022

LAYLA MALAM

"Maka seperti apakah cinta yang kau sebut tulus dan apa adanya itu !?, yah seperti saat kita dipertemukan sesingkat senja berlalu tapi aku memilih mencintaimu sepanjang malam berlalu.."

Layla, seindah apakah malam yang kau sebut bintang gemintang berkedip-kedip tanpa henti di hamparan langit yang luas sehingga malam yang begitu sunyi nan gelap itu berangsur-angsur ramai oleh kedipan-kedipan bintang. Lalu, kau berani menyebutnya nyata setelah kau bersumpah bahwa bintang gemintang yang berkedip-kedip itu datang padamu mengetuk pintu jendalamu lalu pendar di dalam kamarmu. O Layla, sebahagia apakah perasaan seorang lelaki yang melihat sebuah malam yang jauh lebih sempurna dari sketsa malam yang kau ceritakan ini ?.

Sepanjang waktu berlalu, selalu ada cerita tentang wanita kesepian. Malam yang memeluknya dalam dingin yang serba sendiri. Lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya suara debur ombak yang menghempas batuan karang dapat terdengar hingga ke atas langit, maupun ke pulau seberang.

Padahal sepanjang malam berganti, sebuah cerita tentang lelaki kesepian jauh lebih hangat untuk diceritakan. Malam yang membuatnya berfikir tentang malam di suatu tempat nun jauh dari bentangan samudera yang menjadi pemisah dari dirinya saat ini, dan mungkin lebih jauh dari suatu waktu yang pernah dia alami di masa lalu. Samudera yang menyembunyikan palung kerinduan yang teramat dalam dan beku, yang menjadi kuburan hidup untuknya, dimana ia tahu bahwa ia bisa saja terkubur bersama kerinduannya di dalam sana, hingga tak ada lagi jalan kepulangan untuknya.

Lelaki itu sedang menulis tentang malam yang sesungguhnya bukan malam yang saat ini sedang ia jalani. Tapi suatu malam yang panjang dalam ribuan peristiwa malam dalam hidupnya, ia pun tidak sadar bahwa sejak dari tadi, tepat setelah senja berakhir dirinya telah tenggelam ke dalam sana, dalam sebuah kenangan malam yang hening dan sunyi. 

Layla, ia sedang berusaha merayumu, membuka lebar ingatanmu tentang sebuah malam di Akkarena, dua puluh tahun silam. Potret malam yang andai bisa ingin sekali ia ziarahi satu kali saja di sepanjang nafasnya berembus.

Kebekuan Pantai Sedayu menambah ringkih suasana, dingin dalam deretan kata-kata yang sebentar lagi hidup sebagai cerita malam yang terbang dari teras rumahnya ke dalam kamarmu yang di penuhi bintang-bintang. Sementara itu puntung tembakaunya kian berserakan di atas lantai. Tersapu oleh angin pantai yang meliuk-liuk.

Sambil menatap hirau pada langit malam ia terus menulis diatas kertas yang bisu dan pasrah. Seakan-akan tulisan itu akan menjadi lembaran cerita dalam hidupnya yang kacau. Ia pun berharap pada bintang gemintang di langit malam yang tak terhitung jumlahnya menjadi saksi tentang cerita yang ia tuliskan malam ini.

"Layla, setiap aku melihat langit malam, aku memikirkanmu". 

Tulis lelaki itu penuh khidmat, Kemudian ia lanjutkan tulisannya.

"Di malam yang cerah, di tepi Pantai Akkarena. Kita duduk menjuntaikan kaki, menikmati embusan angin mammiri dan melihat perahu-perahu phinisi dengan lampu kerlap-kerlip di sekujur bagannya, pergi entah kemana, berlayar ke mana angin membawa kepergiannya. Dan, itulah sketsa malam ketika itu".

Lalu ia menulis dalam paragraph baru. Sesekali menghisap tembakau di tangannya, yang terbang pelan mengudara dalam bentuk gulungan-gulungan asap, lalu hilang perlahan bersama angin malam yang tak meninggalkan apa-apa selain bau tembakau yang pekat dan basah, mungkin juga kerinduan dari dalam dadanya terbang menguap bersamanya, lepas menjadi udara dingin.

"Jadi, Selama apakah seorang wanita mampu menunggu ?", 

O tidak, ia salah, dia menghapus kata lama lalu menggantinya dengan sebuah kata singkat. 

"Jadi, Sesingkat apakah seorang wanita mampu menunggu ?". 

Lelaki itu meyakini bahwa wanita tak pernah sanggup berlama-lama dalam urusan penantian, jadi ia menghapus kata lama. Sudah banyak bahasa yang kehilangan makna bagi penantian seorang wanita. Bahkan waktu pun tak punya daya yang lama dalam memikul beban berat perasaan seorang wanita yang sedang menunggu. Jadi, ia mempersingkat waktu, seakan-akan waktu telah merambat lambat laksana gelombang yang teramat tinggi bangkit dari dasar samudera yang terhampar luas di depannya, dan perlahan gelombang tinggi itu menyapu seisi pantai hingga ke daratan nun jauh dari tempatnya, gelombang itu menelan seluruh isi bumi yang bisa jadi ia akan ceritakan dalam tulisannya, tapi ia pun menyadari bahwa dirinya bersama lembaran-lembaran kertas di hadapannya juga telah lenyap.

Di dalam kepalanya, panggung seperti telah disiapkan. untuk sepasang manusia yg menunggu malam yang dimaksud si lelaki itu. Suasana penantian itu masih terus ringkih seakan di Pantai Akkarena tak pernah ada malam yang seindah malam yang sedang ia nantikan. Atau barangkali malam yang sebentar lagi datang akan menjadi malam terakhir bagi mereka, meski tentu malam akan teramat merindukannya, entah itu di mana. 

"Layla, mungkin Kamu tidak tahu kenapa aku mengajakmu menunggu malam waktu itu, dan sepanjang malam silih berganti kau hanya mengira itu sebagai sesuatu yang biasa saja, sesuatu yang tak punya makna, bahkan sesuatu yang tak dapat kau pahami sedikitpun sebagai bingkisan malam terindah untukmu".

Seperti sebelumnyaa, lelaki itu terus menulis. Tanpa suara, dan tanpa hirau pada suara angin dan desir-desir ombak di sekitarnya.

"Layla, sedalam apakah diam seorang wanita yang tak bertepi itu ?, mungkin kau pun tidak tahu bahwa aku bisa begitu mengenal wanita yang sediam malam, hingga aku mengetahuinya sebagai sesuatu yang gelap dan misterius, tetapi aku tetap suka berada di sampingmu sekalipun kau tak pernah menjawab apa-apa pada tiap suaraku. Dan kau menjadi serupa kegelapan, yang akan terus lelap tertidur tanpa kata-kata".

Nah.

"Lalu begitukah bentuk malam yang akan terus kita jalani hingga malam-malam selanjutnya ?, dan sudikah kita biarkan malam yang indah itu menjadi bangkai masa lalu tanpa menyimpan kenangan apa-apa ?, tanpa cerita, atau tanpa kerinduan sedikitpun". 

Okey

"Selain malam yang silih berulang dari malam ke malam, atau jangan-jangan kau telah menguburnya ke dalam liang yang gelap dan dalam hingga kau keliru bahwa itulah malam yang maha abadi. Di atasnya sebuah nisan kematian kau buat atas nama malam, yang kau harap dapat kita ziarahi sebagai tanda matinya kerinduan".

Lelaki itu terus menulis.

"Layla, lihatlah sepasang kekasih itu yang sedang menikmati langit malam, yang diam dan hirau pada suasana Akkarena ini. Yang saling tertawa yang mungkin kita lah yang sedang mereka tertawakan. Atau mungkin keduanya seperti kita, sedang bicara tentang langit malam dan bintang gemintang yang indah. Lalu kita menjadi sepasang manusia yang asing bagi mereka, yang tak punya rasi bintang untuk satu tujuan yang sama".

Sementara itu kau masih menduga-duga bahwa di pantai inilah sudut yang paling strategis menikmati bentuk malam, disini pandangan begitu luas melihat rasi bintang yang indah. Satu yang kau tunjukkan padaku dengan jemarimu, tanpa suara, tanpa kata-kata. Sekalipun begitu, aku tahu itu sebagai rasi kepulangan bagi siapapun yang berlayar dari sebuah kepergian yang tak tentu arah"

"Semacam rasi penyesalan ?. Iya, sebuah arah kepulangan bagi seorang lelaki yang pernah meninggalkan seorang wanita dan memilih pergi mengarungi samudera kepergian bersama orang lain. Memang benar samudera penyesalan itu sangatlah luas terbentang, dan butuh waktu yang panjang untuk kembali. Dan hari ini melalui pertemuan ini sudikah kau menerimaku pulang sebagai seorang lelaki yang dipenuhi penyesalan ??".

Seperti biasa, seperti malam yang dingin dan pendiam, kau tak menjawabku.

"Lantas kita terus menikmati malam dalam diam dan rindu yang ringkih tersapu debur-debur ombak Akkarena. Aku pun bahagia setidaknya sesekali kau tersenyum menatap bintang yang berkedip-kedip malam ini".

Lelaki itu sekarang berhenti menulis, lalu menoleh ke langit malam yang terpampang luas di hadapannya, memikirkan kata-kata yang tepat tuk ia tumpahkan ke dalam kertas di depannya. Seakan-akan suasana malam ingin dia masukkan seutuhnya ke dalam prosa yang panjang, yang harus ia selesaikan malam ini. Latar malam yang hitam pekat hingga ke dasar samudera yang dalam ingin ia lipat lalu ia masukkan sebagai malam yang hidup dalam tulisannya. Hingga siapapun yang membacanya seakan-akan menemukan kehidupan malam yang betul-betul indah, tak terkecuali Layla.

"Tapi apakah seorang wanita benar-benar dapat berubah menjadi malam !??"

Kau masih diam, tak menjawab apa-apa.

"Layla, andai kau demikian, maka aku kan kembali untuk sebuah jalan kepulangan yang sekalipun itu konon lebih jauh dari lautan makassar ini !!!".

Dan kau tak menjawab apa-apa.

Sepanjang angin berembus, kau masih terus diam. Tapi malam semakin dingin, pohon-pohon kelapa melambai ke arah meraka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, purnama belum datang.


Surabaya, 27 September 2022

Penulis adalah pengagum malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar