Pertama, ibuku, dia perempuan yang teramat sabar. Perempuan yang selalu percaya pada kekuatan do'a. Bagaimana do'a telah membawanya lebur dalam kehidupan yang serba getir ini. Dalam hal apa saja ibu berdoa untukku. Pernah saat saya pertama kali belajar mengaji, ibu membawaku ke Surau, menemui calon guru mengajiku. Aku duduk di sampingnya, mendengar bisu percakapan mereka berdua hingga usai. Dan sebelum pamit ibu bilang padanya;
"Semoga anak ini kelak pintar mengaji, tidak nakal, dan rajin ke surau seterusnya". Ibupun pamit, dan meninggalkan sisa2 do'anya di Surau itu untukku.
Saat saya memasuki bangku sekolah Dasar, ibu juga berkata demikian pada Kepala Madrasah dan guru-guru yang ada disana. Begitu seterusnya hingga saya tamat Sarjana. Waktu itu ibu hadir dalam acara wisudaku, dan lagi, ibu pun berdo'a;
"Nak selamat, saya do'akan ilmumu bermanfaat. Semoga jadi orang berguna".
Berjuta-juta do'a yang telah saya dengarkan dari mulut ibu. Do'a yang dia panjatkan di setiap momen penting dari lompatan-lompatan kehidupanku sampai sekarang, dan saya percaya itu sebagai do'a yang paling murni tanpa embel-embel apa-apa, apalagi menunggu pamrih dariku. Tidak banyak yang saya berikan pada ibu, apalagi membalas do'a-do'anya walau hanya dengan satu do'apun.
Bilangan do'a-do'a ibu tak terhingga sekalipun kebebalanku padanya melebihi hitungan dari seluruh do'a-do'anya. Saya sering membuatnya terpaksa meratap tangis karena ulahku yang pembangkang, tapi ibu selalu hadir sebagai angin dingin yang menyelinap kedalam bathinku, oleh nasehatnya, juga do'a-do'anya. Selain dihadapanku, seringkali kudapati ibu diam-diam berdoa di sudut kamar yang sunyi dengan linangan air mata. Setiap waktu, hingga senja tiba. Begitulah ibuku, mungkin juga ibumu.
*****
Kedua, bapakku, tidak banyak yang dapat saya ceritakan perihal do'a bapakku. Dia seorang lelaki pendiam, irit kata-kata, lebih banyak berbuat daripada menyatakan do'a-do'a. Itu yang dapat saya simpulkan tentang bapakku. Sekalipun urusan do'a adalah urusan yang paling misterius dalam lubuk sanubarinya, tapi saya seperti dapat melihat do'a-do'a bapak pada setiap tetes keringat yang keluar kala bapak memanggul karung gabah hasil panen ke dalam rumah.
Bapak bagiku sosok lelaki yang seringkali bisu tapi sorot matanya mengandung semesta kosa kata yang penuh makna. Mata itulah yang ku jadikan mihrab melihat Tuhan. Do'a yang sekalipun diliputi kemarahan tapi begitulah dia bekerja dalam tiap kebisuannya. Pernah sesekali saya dapati bapak berdo'a dengan sangat lantang padaku. Waktu itu sudah enam hari saya tidak ke Surau mengaji, dan bapak tahu, lalu diambilnya potongan bambu tua dari samping rumah kemudian memukulkannya kepadaku.
"Dasar anak nakal.. tidak tahu diajar.. mau jadi apa kau kalau tak tahu mengaji.. mudah-mudahan kau tidak seperti saya..". Kata-kata itu terus dia ulang-ulang hingga potongan-potongan bambu di tangannya habis tak tersisa.
Begitulah doa bapakku yang pernah saya dengar. Mungkin menurut sebagian orang itu bukanlah do'a tapi bagiku itulah sejatinya do'a. Do'a seorang bapak yang memaksa Tuhan untuk mengabulkannya. Mungkin, jika bapak tak memperlakukanku demikian maka akan jadi apa saya sekarang ini?, dan karena kejadian itulah saya akhirnya rajin ke Surau dan tamat sebagai santri terbaik. Mungkin bgitulah do'a bapakku bekerja, do'a bapakmu bagaimana ?.
Tak cukup sekali saya ingat bapak berdoa untukku. Kedua kalinya dia sampaikan dalam sebuah kalimat yang tumpas sebagai ancaman. Kala itu saya ingin menikah, maksud dan tujuan itu pun harus saya sampaikan kepadanya. Dan, sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin bapak pun berkata:
"Perkara menikah itu perkara tanggungjawab. Bebannya berat. Tapi kalau kau sudah merasa sanggup, silahkan. Saya hanya bisa doakan semoga kau mampu memikulnya..". Lalu beliau diam, saya pun diam, dan semua isi rumah seperti menjadi diam.
Tapi begitulah bapakku. Sekalipun dengan nada mengancam tapi karena dia akhiri dengan kata doa maka dapat saya simpulkan bahwa dia pun telah merestuinya. Lalu saya pun akhirnya menikah. Dan percayalah, hingga senja tiba, sebelum pulang ke rumahnya, lelaki tua pendiam itu setiap saat mendoakanku di sudut-sudut sawahnya dengan ribuan bahasanya yang paling diam...
****
Ketiga Istriku Vv, Awalnya kami bahagia. Aku mengenal istriku sebagai gadis yang pendiam tapi menyenangkan. Sungguh setiap kali saya melihat dia tersenyum, oh, Tuhan, saya seperti merindukan saat-saat itu lagi. Saya tidak pernah menyangka satu kalipun bahwa wanita secantik dia akan bisa menjadi istriku. Hingga saat ini takdir itu terasa misterius dan mungkin Tuhan sudah khilaf menurunkannya untukku. Saya menduga, sekali ini saja Tuhan keliru dalam urusan penciptaan. Dan Dia telah menciptakan seorang manusia biasa yang sangat sempurna bagiku.
Senja selalu merona serupa wajahnya yang menyimpan malu kala merayunya. Dan, di pengujung tenggelamnya matahari itu aku selalu melihatnya berdoa. Setelah berdo'a aku mengecup keningnya yang serupa purnama. Pada matanya yang sayup, ku temukan ketabahan yang mengalir laksana mata air yang dia bawa dari Surga. Sungguh dirinya jauh lebih ajaib dari seluruh do'a-do'anya.
Istriku itu cantik, saya yakin jauh lebih cantik dari istrimu. Rambutnya tidak lurus, sedikit berombak, dia terlihat menyenangkan dan anggun dengan rambut seperti itu. Bau tubuhnya harum, keimananku selalu rubuh kala mendekatinya lalu memeluknya dari belakang, dan betapa senangnya dia ketika saya berbisik di telinganya bahwa saya lah suami paling beruntung dapat menikahi bidadari secantik dia. Dan dia pun hanyut dalam ribuan gairah bersamaku, mewujudkan do'a-do'a yang kami panjatkan bersama di setiap waktu. Memiliki seorang anak yang kelak akan memanggilnya ibu.
Tak butuh waktu lama untuk membuatnya menjadi seorang ibu. Dan dia terus berdo'a agar anak yang di kandungnya dapat lahir menjadi matahari penerang dalam hari-hari kami atau sebagai rembulan yang menyinari gelap malam rumah tangga kami. Do'a nya telah terkabul dan dia teramat bahagia, hari-harinya diliputi kebahagiaan hingga tak ada lagi yang dia lakukan selain berdo'a. Kamu tahu kawan, seakan-akan dunianya berubah, kami bahkan jarang berdo'a bersama lagi, apalagi bicara bersama tentang tempat liburan minggu ini, atau mendebati alur cerita film-film korea kesukaannya. Sekarang kami lebih banyak diam.
Istriku saat ini berusia 31 tahun, masih cantik, sekalipun dia tak lagi banyak bersolek, yang tersisa di meja riasnya hanyalah lipstik dan gincu yang selalu dia pakai setiap kali dia keluar rumah. Tiap kali dia datang dan pergi tak pernah lagi dia tersenyum, apalagi merenggut tanganku dan menciumnya sebagai sebuah harapan atas doa dan ridhoku menjadi suaminya. Saya pun merasa bahwa dia tak lagi membutuhkannya.
*****
Keempat, Anakku. Menjadi seorang ayah adalah anugerah kehidupan yang tiada tara. Di setiap keringatnya yang mengucur deras pasti selalu ada nama anaknya di sana yang terus membasuhnya, hingga kau lupa pada rasa lelah yang menumpuk di pundaknya. Pernahkah kau mengalami bagaimana air matamu menetes dari celah matamu tanpa tahu kenapa air mata itu harus keluar dan mengalirkan air mata, lagi ?. Begitulah yang saya alami saat anakku lahir, pagi itu.
Hari demi hari air mata itu terus mengalir seiring tubuhnya yang terus tumbuh menjadi seorang anak yang cantik jelita tapi tak pernah mengenal ayahnya sedikitpun. Dia telah menjadi korban atas perpisahan ibu dan ayahnya. Dan sebagai ayah dari anak itu hati ini pun tak sanggup menanggung kerinduan untuknya, berpisah sekian lama darinya. Maka dari itulah anak itu ku beri nama Senja.
Menurutku, Senja lahir dari jutaan ketegaran yang membawanya hidup dan tumbuh, hingga kita lupa ketika samudera memerah di pelataran senja jutaan mutiara sedang berkedap-kedip di dalam sana dengan penuh kebahagiaan, seperti sedang tersenyum seolah-olah menyambut pertemuan antara terang dan malam dari sebuah perperpisahan yang sangat panjang. Dan tahukah kamu bahwa saya teramat merindukan Senja itu datang saat ini juga ?.
Tapi sudahlah, mengharapkan kepulangannya sama saja dengan mengharap abu dari tungku-tungku pembakaran yang tak pernah menyala!. Dia masih teramat belia, belum tahu arti dari sebuah pertemuan. Apalagi tahu dan merindukan sosok seorang bapak yang tak pernah berkeluh kesah atas kehadirannya, yang baginya anaknya adalah nafas yang membuatnya masih tetap hidup sampai hari ini.
Usia anakku belum cukup 2 tahun. Dia anak yang pintar. Mungkin sudah tahu berdo'a tapi belum tahu bagaimana fungsi do'a itu dan apa yang harus dia do'akan di dunia ini, tapi sekalipun begitu dia menjadi semesta do'a bagiku di setiap do'a-do'aku. Banyak yang mendoakannya, termasuk malaikat-malaikat yang menjaganya. Bahkan jutaan kunang-kunang yang terbang di waktu senja akan terus mendoakannya hingga do'a itu juga lah yang melahirkan do'a-do'a dan terus begitu, sampai do'a ayah itu betul-betul terkabul; Semoga kelak Senja kembali sebelum usia senjanya tiba...
Samata, 06 Januari 2023
IHR. Berdoalah hingga Senja kembali...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar