Sabtu, 21 Desember 2019

Dialekta Meirah

Lingkaran waktu terus berjalan, tidak cepat tidak pelan, melompat dengan ritme yang telah teratur. Sesekali berjalan cepat lewat kebahagian dan disaat yang lain dapat melambat dalam kesedihan, hanya saja ia tak peduli denganmu yang tenggelam di dalamnya. Apalagi dengan kenangan yang juga tak pernah peduli dengan waktu.

Aku di sampingmu, menjadi tempat bersandar dan jadi aliran air matamu yang mengalir deras. Tempat yang terus tabah menyediakan ketabahan dan kedamaian untuk sebentuk tangisan yang jika reda akan berubah menjadi kata-kata. Tempat itu tak pernah berubah dan takkan pernah berubah, bahkan disaat kau telah menemukan sandaran yang lain yang jauh lebih nyaman pun tempat itu takkan pernah berubah. Ingat itu !. Kau boleh datang kapan saja menyandarkan tubuhmu dan mengalirkan tangisanmu, serta berkeluh kesah tentang masalahmu disana. 

Maka menjelmalah aku menjadi sesuatu yang sempurna yang akan memberimu segala-galanya tepat disaat kau datang. Bukan hanya sebagai aliran air matamu tapi menjadi apa saja yang kau butuhkan. Aku bisa menjadi isakan dalam tangisanmu apalagi hanya menjadi sandaran kepedihanmu saja. Bahkan, Tuhan akan kulawan jika Ia tak memberimu keadilan. Tapi kurasa itu tak mungkin karena Tuhan selalu maha Adil.

Anggap saja di seluruh tubuhku adalah rumahmu. Pundakku adalah tempatmu bersandar, telingaku yang selalu setia mendengarkanmu, juga tangan yang selalu terbuka lebar untukmu. Tangan itulah yang akan membelai rambutmu, mengalirkan rasa sabar padamu hingga kau rasakan kedamaian di hatimu. Juga dadaku selalu lapang untuk segala kemarahan-kemarahanmu. Kau boleh berteriak di dalam sana, melampiaskan seluruh kepongahan di dadamu. Bisa jadi kau tidak tahu bahwa di dalam sana kemarahan apapun itu dapat tersumbat tabah. Kau sendiri takkan bisa mendengar jeritanmu, apalagi jeritanku.

Kemarahan jika tak diredam dalam kesunyian maka akan terus melukai hatimu. Jika dilampiaskan bukan pada tempatnya maka akan memicu kemarahan-kemarahan yang lain. Jika yang kau miliki adalah dendam dan sakit hati aku punya penawar juga belati. Kau pilihlah mana yang menurutmu lebih berguna untuk mengobati luka hatimu, atau kau boleh menikamkan belati ke jantungku agar kau menemukan kedamaian yang kau cari.

Alih-alih kau mengambil belati di tanganku, justru dari tangan orang lain kau temukan sebatang pisau yang bisa kau ambil untuk membunuhku. Menjadikannya kesempatan untuk menikamku dari belakang tapi seperti biasanya, kau tidak memilihnya. Kau lebih memilih menangis, memelukku lebih kuat hingga isakmu terdengar lebih hebat kemudian meredam perlahan, dan menjadi lirih di dalam dadaku. Tanganmu memelukku erat. Sangat erat, membuatku lupa kapan terakhir kau begini.

Sekalipun kau menangis bukan untukku tapi untuk orang lain aku kan tetap ditempatku dan tubuhku takkan bergeming. Aku akan berusaha terlihat baik-baik saja di hadapanmu. Sedikit saja aku bergeming kau kan berprasangka lain, berfikir bahwa sandaranmu ini adalah sandaran yang rapuh yang memiliki maksud dan tujuan yang lain. Aku khawatir, kau menebak kerapuhanku kemudian takkan kembali lagi mendekapku erat. Ini soal ketulusan, segenggam kekhawatiran yang akan selalu kusembunyikan. Kau tak boleh tahu.

Kukira itu bukan waktu yang tepat untuk mengajakmu berdebat bahwa seseorang yang kau tangisi sekarang bukanlah sesuatu yang istimewa juga indah maka aku memilih diam dan tidak berkata-kata sampai saat air matamu reda. Diam mungkin akan cukup. Menjadi pilihan terbaik untukmu dan untukku. Soalnya ini terkait sesuatu yang selalu kusembunyikan darimu. Sedari tadi geming itu kutahan dengan mulut tertutup dan emosi yang kutahan agar tak semakin naik. Ini untuk menjaga semuanya menjadi tidak mudah ditebak.

Setelah perasaanmu membaik, geming masih kutahan, kau lepas dekapanmu kemudian pergi meninggalkanku dengan kata permisi yang seperti biasa. Seakan-akan kau hanya singgah disini, sekedar berteduh dari panas amarahmu, kemudian pergi tanpa menoleh. Seperti biasa kau pergi dengan bahagia dan pasti tersenyum. Aku tahu senyum itu tertuju padaku tapi di dalam hatimu ada wajah laki-laki lain yang menatapmu bahagia, sedang menunggumu pulang dari sini.

Kau bagiku sesuatu yang luar biasa dan tak pernah sederhana. Dalam tiap langkah kau seperti anak panah yang dengan fokus menuju ke satu arah. Saat kau terjatuh seketika saja otakmu yang lumpuh tapi kakimu tetap berdiri dengan tangguh. Aku tidak tahu bagaimana menebakmu. Saat kau seharusnya menangis untukku kau tak menangis, bahkan suaramu datar, tak berubah sedikitpun. Kau seakan-akan tak menyimpan sedikitpun luka padaku. Tapi saat kau tak seharusnya menangisi orang lain kau malah datang padaku menangis dan menumpahkan seluruhnya di dadaku.

Aku tak paham padamu. Menyaksikan kau sekian lama jadi manusia beku yang tidak hangat padaku tapi di saat yang lain kau mampu menceritakan seluruh kebagiaanmu bersama orang lain dengan berapi-api padaku. Lantas Bagaimana dengan seluruh rasa yang kau punya sebelumnya padaku? Sudah jadi makanan cacingkah dalam tanah atau masih tetap di tempatnya sebab saat ini kau terlihat sangat bahagia !??.

Aku cemburu pada manusia itu. Bagaimana bisa membuatmu sebahagia itu sedangkan aku sendiri tak mampu. Entah itu siapa tapi Keparat! Kau didekapnya rapat-rapat.


Vv, Takalar, 22 Desember 2019

Selasa, 05 November 2019

CERITA INI RAWAN KENANGAN



Waktu tidak akan pernah bergerak terlalu cepat, juga tidak akan bergerak lambat. Ia akan datang tepat pada waktunya. Jika ingin baik-baik saja maka beranjaklah dari garis kenangan.

Sudah dua hari ia tidak pernah keluar dari kamarnya. Sejak kejadian malam itu. Ia datang dengan mata memerah, membuka pintu tanpa mengetuk, hanya sekedar berlalu dan masuk ke dalam kamar. Suara hempasan pintu mengagetkanku.

Anak itu sepertinya sedang patah hati. Ini pengalaman pertamanya. Sakit hati pada seorang laki-laki yang ia cintai. Aku dan ibunya hanya bisa diam, berusaha memahami bahwa ia sudah dewasa. Sudah mulai mengenal cinta. 

Melihat Meirah bertingkah aneh seperti itu, kami berdua sebagai orang tua tentu ikut merasakan kepedihan yang ia alami. Ibunya berusaha membujuk, dan saya sebagai seorang bapak yang jauh dari sifat lembut hanya memperhatikan dengan diam-diam.

Setelah 2 hari berlalu, Meirah tak kunjung keluar dari kamarnya, ibunya mulai resah. Ia mulai membujuk dari balik pintu, sahutan yang datang dari dalam hanya sebatas “iya bu, Meirah paham”. “Ibu tak usah khawatir”. Atau hanya dengan kata “hmmm”.

Bukan saya tak peduli pada Meirah, tapi saya tahu keterlibatanku takkan bisa mengubah apa-apa, yang paling mungkin saya lakukan hanya mencoba meyakinkan istriku untuk sabar membujuknya. Sesekali saya meminta tuk tidak terlalu khawatir pada anaknya. 

“Biarkan saja begitu, kesunyian kan membantunya menemukan dirinya sendiri. Luka dan sakit hati akan mengajarkannya tentang ketegaran. Ia akan bangkit dengan sendirinya. Meirah anak terdidik, tidak mungkin bertindak bodoh”. 

Cinta memang seperti peta buta yang bisa membuat kita tersesat di dalamnya. Aku pernah melihat orang yang terperosok dalam penderitaan yang mengerikan dan sangat sulit untuk bangkit. Aku juga pernah melihat orang tersiksa dan mati karena rasa sakit yang dialaminya.

Orang-orang yang mengalami pengalaman mengenaskan seperti itu adalah orang-orang yang tidak punya penunjuk arah dalam hidup sehingga mudah tersesat dan kehilangan arah. Berlayar tanpa bekal, tanpa kompas atau sebatas pengetahuan dan pengalaman sedikitpun, seolah-olah di depan sana takkan ada gelombang dan badai yang akan ia temui.

Saya paham mas. Tapi bukankah jatuh cinta itu indah?. Orang yang jatuh cinta jika sudah terjatuh tidak ingin berdiri lagi.

Iya, memang jatuh cinta adalah peristiwa kejatuhan yang paling indah. Terjatuh karena jatuh cinta membuat dunia seseorang berubah sekejap mata. Keadaan akan menjadi putih. Bersih tanpa noda. Satu-satunya yang ada hanya wajah orang yang dicintainya. Bahkan orang yang sedang jatuh cinta bisa menganggap tai ayam sebagai coklat cair.

Pada golongan orang-orang yang seperti itu akan mudah terjerembab ke dalam lubang kenangan yang mengerikan. Ia terlihat sangat bahagia tapi hatinya mudah rapuh. Tidak punya pegangan. Menganggap semua hal nampak begitu indah. Di mata dan fikirannya cinta hanyalah keindahan saja. Apalagi jika ia jatuh cinta pada orang yang salah, dapat dipastikan ia akan lupa dimana jalan pulang.

Pada sebagian orang yang jatuh cinta tapi punya persiapan yang memadai untuk pulang maka ia akan pulang saat waktunya tiba. Orang-orang ini menganggap cinta sebagai pendakian, oleh karena itu ia akan terus waspada dan berhati-hati. Ia tahu di kanan kirinya ada jurang terjal yang menganga. Jika salah melangkah akan terjatuh. Begitulah perjalanan Seorang pendaki gunung. Hanya ingin menemukan puncak. Setelah itu pulang tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.

Tidak usah heran jika banyak orang-orang yang jatuh cinta setelah menyadari kesalahannya kemudian berdiri dan pergi meninggalkan tempatnya. Karena baginya cinta adalah lubang gelap yang menakutkan. Di dalam sana perasaan terus-menerus menyiksa. Tapi, justru tidak sedikit orang yang memilih ingin tetap tinggal di tempatnya, tdk mau beranjak sedikitpun karena ia telah terjatuh di tempat yang tepat.

Sayang, kamu harus tahu. Cinta itu datang pada waktunya dan indah pada waktunya. Jika kau ingin tahu cinta itu bagaimana maka datanglah berkunjung ke dalam hatimu. Lihat seluruh isinya, di dalam sana tidak ada ratapan, apalagi penyesalan. Bahkan kesedihan takut menampakkan batang hidungnya sedikitpun. Tempat itu bukan tempat untuk meratapi sakit hati tapi justru berupa taman-taman rindu yang dipenuhi kupu-kupu bermacam-macam warna. Sangat-sangat indah. Tempat yang selalu memanggil kembali.

Hatimu adalah tempat bersemainya rindu. Rinduku padamu dan rindu anak-anakmu padamu. Di tempat manapun kami berpijak dan di sudut bumi manapun kami pergi hatimu selalu memanggil untuk pulang. Begitulah cinta yang haqiqi. Selalu ada rindu yang setiap saat memanggil-manggil untuk pulang.

Ada satu hal yang perlu kamu pahami. Bahwa manusia adalah makhluk fana. Tiap-tiap manusia akan menjumpai kehilangan. Jika tidak dengan kematian maka dengan perpisahan. Nah, berhati-hatilah di fase ini. Karena saat itu cinta akan datang membawa sekotak bingkisan dari masa lalu bernama kenangan. Bingkisan itu hanya bisa terbuka saat orang yang engkau cintai telah tiada. Bagi orang-orang yang menganggap cinta itu sebagai hal-hal yang biasa saja maka isi bingkisannya akan berupa kenangan yang juga biasa-biasa saja. Dan bagi orang yang benar-benar tulus mencintai maka kotak kenangan itu akan menjadi sesuatu yang lebih indah atau justru menjadi lebih buruk dari dugaannya. 

Di posisi itu, rindu dan kenangan bertali-talian satu sama lain, seperti kupu-kupu dan bunga-bunga yang saling terikat. Rindu menjadi kupu-kupu yang setiap saat mencari madu kenangan atau setidak-tidaknya menemukan hal-hal manis yang dapat diingat dari masa lalunya. Disanalah waktunya. Keramaian berubah menjadi kesunyian. Dan kesunyian menjadi suasana yang paling dilematis untuk dinikmati.

Tentu itu sama saja... !!!, bagi seorang ibu sekaligus sebagai seorang istri, saya sudah mengalami pasang-surut peristiwa baik dan buruk. Dari kejadian-kejadian itu selalu tersisa kenangan. Menumbuhkan kerinduan, kalau bukan kebencian. Syukur-syukur jika peristiwa itu berakhir indah tapi bagaimana jika sebaliknya ??. Tapi kenangan bukan hanya soal akhir dari peristiwa semata tapi juga proses. Di tiap-tiap patahan peristiwa itu ada yang indah dan tentu kan menjadi kenangan. Perpisahan hanya sebatas pemutus dari rangkaian peristiwa itu.

Nah, disitulah saya berkesimpulan bahwa rindu dan kenangan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan !!?. Rindu dapat menguatkan kenangan dan kenangan dapat menumbuhkan rindu. Kedua-keduanya sama keparatnya dalam urusan cinta. Rindu dan kenangan dapat membuat wanita lemah seperti Meirah menderita berkepanjangan.

Itu jelas keliru. Meirah bukan orang lemah. Kau fikir ia bertindak seperti itu karena telah takluk pada kepedihannya. Tidak, saat ini Meirah justru sedang berusaha menikmati kenangan. Di dalam sana ia sedang berfikir dan menyeleksi kenangan. Memilah-milah kenangan indah yang layak ia simpan dan menyimpan beberapa kenangan buruk agar dapat menjadi pelajaran untuknya di masa yang akan datang. 

Saya akui bahwa saya memang seorang bapak yang jarang menangis tapi saya percaya bahwa tangisan dapat mengeluarkan seluruh kesedihan yang ada di dalam dada. Meirah sedang melakukan itu, mengosongkan dadanya dari kesedihan sembari berharap pada luka dan kepedihan dapat keluar bersama air mata itu.

Meirah tidak akan berhenti menangis sampai dadanya terasa ringan. Lantaran demikian, tidak usah mengganggunya. Biarkan saja ia menangis. Beri ia ruang menikmati kesunyiannya. Merenungi segalanya dan memutuskan semua hal yang harus ia putuskan. Setelah itu ia takkan pernah lagi menangis, bahkan jika ia mau sekalipun ia takkan bisa menangis lagi. 

Dan, rindu yang selama ini kita sebut keparat itu akan kembali terbang bahagia seperti kupu-kupu di wajahnya.

Meirah akan segera kembali. Menjadi seperti semula. Berbahagia. Tersenyum. Menjadi kupu-kupu yang lepas dari indungnya. Melupakan segala kesedihannya dan akan terbang bebas di tempat-tempat yang kau sebut berbahaya itu, kenangan.

Suatu saat, di hari yang akan datang, ia akan anggap kenangan hanya sebagai tempat berekreasi. Di akhir pekan ia akan sengaja meluangkan waktu berjalan-jalan dan melihat-melihat tempat atau benda-benda yang menyimpan kenangan untuknya. Bukan untuk mengingat-ingat kepedihan tapi untuk menumbuhkan kebahagiaan. Disana, ia akan sangat bahagia, kehilangan diri, tertawa sangat keras hingga ia tidak sadar telah menertawai tertawaannya sendiri. 

Di tempat-tempat yang ia kunjungi itu, akan ada kenangan yang menyalip-nyalip ingatannya. Jika datang ke suatu pantai apapun itu, pantai itu akan mengingatkannya pada satu pantai yang paling menenangkan baginya di masa lalu. Dulu, mereka pernah menceritakan harapan dan mimpi-mimpinya masing-masing di pantai itu. Atau ia kan menertawai dirinya sendiri setelah melihat dirinya bertingkah bodoh, menangis seperti anak kecil, meratapi kesedihannya sendirian dan menghujat dirinya sendiri disana. Ia akan tertawa mengingat kenangan itu. Tertawa karena saat itu ia begitu bodoh memaknai sebuah hubungan cinta-kasih. Hal ini berlaku pada semua tempat yang pernah Meirah kunjungi bersama lelaki itu di masa lalu.

Begitulah kebiasaan orang-orang yang terlanjur bahagia mencintai, ia tidak akan lupa kepedihannya sampai ia tidak sadar bahwa hanya orang-orang bahagialah yang paling bodoh di dunia ini. Meirah akan mengalami itu kelak. Ia akan sadar bahwa masa lalunya pernah terjadi begitu lucu.

Jadi begini, kita sebagai orang tua. Saya sebagai seorang dan kamu sebagai seorang ibu jangan menjadikan anak kita sebagai kita. Meirah memang anak kita tapi ia pun anak waktu. Zaman kita berbeda dengannya. Ia tumbuh di tengah-tengah kemodernan. Tahukan bagaimana orang-orang modern berkebudayaan!??. 

Bagi pemuda masa kini, kota adalah tempat menumpuk kenangan. Kota hari ini dan di masa silam telah banyak berbeda. Saat ini, di kota ini, semua orang tidak saling mempedulikan satu sama lain. Semua orang bebas melakukan apa saja. Batas-batas etik tidak terlampau ketat. Juga tidak ada sanksi-sanksi adat sehingga semua orang bebas melakukan apa saja di tempat ini. 

Kota terus ditumbuhi gedung-gedung pemuas kebutuhan manusia. Di sisi lain kota juga tumbuh sebagai gudang kenangan. Gedung-gedung itu lebih banyak berfungsi sebagai tempat hiburan. Kafe-kafe, bioskop-bioskop, dan tempat-tempat perbelanjaan tumbuh sumbur dimana-mana bersama kenangan yang ditanam oleh para pengunjungnya di dalam sana. Itulah sebabnya kota telah menjadi tempat penyimpanan kenangan yang paling indah.

Semua kejadian masa lalu tersimpan rapi dalam isi kota. Di dalam kota ada banyak tempat yang memungkinkan kenangan tumbuh subur. Tidak perlu disiram berkali-kali, cukup disemai saja sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, tapi bersama-sama. Semakin banyak kenangan yang tumbuh di suatu tempat maka kan terasa lebih indah saat dikunjungi. Tidak perlu mengunjunginya bersama-sama. Sendirianpun cukup.

Suatu waktu, kita kan dapati Meirah duduk sendirian di suatu kafe, menatap sunyi pada salah satu meja kosong di sudut kafe sambil tersenyum. Tentu, bagi kita yang tidak tahu apa-apa. Tidak tahu pada apa yang pernah Meirah alami dengan meja sudut itu pasti kan bertanya-tanya dan menganggapnya gila karena karena ia tersenyum pada Meja kosong yang tak berpenghuni. Padahal Meirah pernah punya kenangan di meja itu. Entah itu apa, hanya Meirah yang tahu.

Kejadian-kejadian Meirah kan tersenyum sendirian atau tiba-tiba meneteskan air mata haru di suatu tempat berbeda akan sering kita lihat di hari-hari yang akan datang. Tidak usah heran, itu biasa dalam urusan kenangan.

Sebetulnya, kenangan akan lebih ramah dikunjungi dalam kesendirian. Oleh sebab itu Meirah harus lebih banyak keluar rumah sendirian. Karena tiap-tiap orang punya kenangan yang bebeda sehingga tiap-tiap orang punya cara yang berbeda menikmati kenangannya.

Banyak orang yang menerima kenangan itu sebagai bayangan buruk yang mengerikan. Akhirnya hidupnya tersiksa dibayang-banyangi oleh bayang-bayang kenangannya sendiri. Ia kan murung, mengunci diri di dalam kamar hingga berhari-hari lamanya, karena jika ia keluar dari kamarnya ia akan melihat gedung-gedung, jalanan, tempat-tempat persinggahan, serta benda-benda apapun itu yang punya ikatan masa lalu dengannya berubah menjadi hantu menakutkan yang sewaktu-waktu siap melahapnya.

Hidup orang-orang itu menjadi sempit. Ukuran dunianya menyempit dari bermil-mil jauhnya menjadi seluas kamar tidurnya yang hanya berukuran sekitar empat kali empat meter. Wajahnya terus-menerus muram karena kesedihan telah menjadi beban yang tidak dapat dia pikul sendirian. Lantas bagaimana kenangan justru bisa membuat seseorang bisa terlihat begitu bahagia ?.

Kita harus tahu, hanya dengan kenangan kita bisa menikmati kembali kebahagiaan yang telah hilang. Sejak kita mengenalinya, kenangan telah mengubah profesi kita sebagai Wisatawan. Kita bebas kemana saja mengunjungi tempat-tempat dimana kenangan itu pernah tumbuh indah. Kenangan akan berkawan baik dengan kita, bukan menakuti sebagai bayangan buruk.

Berarti semua hanya soal pemaknaan saja. Kenangan harus dimaknai sebagai kawan baik yang jika kesunyian datang ia juga kan datang membawamu berplesiran ke tempat-tempat indah dimana kenangan itu pernah hidup !??. Bagi seorang wanita sepertiku Itu bukan hal gampang, karena kenangan tidak pernah menyediakan tempat-tempat indah bagi kami. Yang justru ada di dalam kenangan adalah tempat-tempat kumuh yang kini seakan-akan tak pernah dianggap dan itu menjadi titik rawan bagi kami. 

Bagi kami mengunjungi tempat-tempat kenangan rawan dengan kesedihan. Karena kenangan itu akan selalu meminta untuk kembali, meskipun ia sering kali melukai. Itulah sebabnya seluruh wanita sepertiku lebih memilih mengunci diri di kamar. Menulis banyak cerita tentang kenangan. Membuat seakan-akan kenangan itu bisa hidup abadi. Kekal di dalam tulisan. 

Kami juga beranggapan bahwa kenangan itu sangatlah dekat dengan kerinduan. Kenangan bisa datang karena adanya rindu, rindupun akan semakin mengental karena adanya kenangan. Kedua-duanya seperti gurita yang melilit-lilit di fikiran kami.

Banyak tulisan saya tentang keduanya. Soal rindu dan kenangan. Memang, seluruh tulisan-tulisanku tidak sebanyak tulisan Mashdar, Ken, atau Noor. Para cerpenis-cerpenis hebat yang dapat membuat kenangan begitu mudahnya dipermainkan lewat kata-kata. Tapi saya tidak peduli itu. Saya hanya terus menulis. Menulis kenangan. Mengabadikan tempat-tempat yang rawan dengan kenangan.

Wanita ini sudah mulai cerewet. Istriku, ibu dari Meirah. Hobi menulis kenangan tapi sewaktu-waktu bisa jadi penceramah kenangan yang tidak punya batas spasi. Sebelum terlambat saya harus menghentikan ceramahnya.

Sayang, saya lapar !.

Ohh iya, saya belum masak. Ini sudah siang yah.


Ceramahnnya berhenti, dan Meirah masih mengunci diri di dalam kamar. Kuputuskan tuk sementara rindu kutaruh di kantong celana. Terlalu beresiko jika dikeluarkan lewat kata-kata. Cerita ini harus berhenti, di titik ini. Saya memang lapar.

Senin, 21 Oktober 2019

Di Pattallassang, Kehidupan Menjadi Benar-Benar Hidup

Di Pattallassang, sebuah tempat di sisiran pulau Sulawesi, bersemayam orang-orang yang hidup abadi, tapi segalanya dilahirkan dengan kesedihan.

Tidak sama dengan tempat lain di Sulawesi, bahkan di dunia ini. Pattallassang edentik dengan keabadian dan kesedihan. Konon dahulu kala Pattallasang adalah tempat menumbuhkan semua yang bernyawa. Jika ada seorang bayi lahir dan ia sangat diinginkan selamat dari kelahirannya, ibunya sengaja dibawa ke daerah Pattallassang. Bukan hanya bayi atau manusia, binatang hingga benda-benda yang tidak bernyawapun bisa tumbuh abadi di tempat itu. Termasuk kenangan.

Biasanya masyarakat sekitar Pattallassang sengaja mendatangi Pattallassang lebih dahulu jika telah membeli sesuatu yang baru. Motor baru, mobil baru, sepeda baru, bahkan istri baru. Pokoknya semua yang baru-baru harus lebih dahulu dibawa ke Pattallassang. Lebih lengkap lagi jika kesana kemudian membeli sesuatu yang manis-manis, seperti gula atau pisang. Yang jelas Pattallassang adalah tempat bermukimnya segala harapan-harapan manis di tempat itu.

Sayangnya, apapun yang terlahir di Pattallassang selalu dirayakan dengan kesedihan. Jika tidak dengan itu maka apa yang terlahir itu tetap akan lahir tapi akan tumbuh dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Kesedihan harus menjadi mantra kelahiran, tangisan adalah kuncinya. Jika ingin lebih baik maka buatlah seseorang membuatmu sakit hati hingga lupa bahwa kebahagiaan itu adalah hak dari seluruh manusia.

Baiklah, ada yang harus diceritakan pagi ini tentang Pattallassang. Sebuah cerita fiksi yang mungkin terkesan tidak masuk akal. Memang bgitu, semua hal yang fiksi memang cenderung tidak masuk akal tapi bagi seorang penulis fiksi, kenyataan bukanlah apa yang telah dan sedang terjadi tapi kenyataan yang sesungguhnya adalah apa yang telah dituliskannya di dalam cerita. Jadi belajarlah memahami penulis fiksi, percaya saja ceritanya. Jika tidak, maka cukup sampai di praghrap ini saja anda membacanya.

Jadi begini, Pagi ini saya sedang berusaha menuliskan cerita tentang Pattallassang. Sebetulnya saya pun capai setelah semalaman lelah berkelahi dengan kenangan di dalam mimpi, tapi tidak tahu kenapa jari-jariku terus ingin menulis. Jari-jari itu seperti telah kesetanan atau sedang dijangkiti semacam ilmu ghaib dari Pattallassang. Jari-jari itu ingin hidup dan bersemangat menuliskan seluruh cerita-cerita kesedihan di dunia ini.

Sekali lagi saya sampaikan, berhentilah disini jika tidak percaya pada ceritaku. Di sini. Di titik ini .

Jika betul-betul ingin tahu cerita soal pattallassang itu, mari kita melompat ke 8 jam sebelum ini. Di suatu tempat di dalam pattallassang hidup seorang dukun abadi. Konon katanya umurnya telah sampai 200 tahun lebih. Di dalam dunia nyata, tidak ada lagi orang yang bisa hidup hingga usia itu. Tapi di dalam tulisan fiksi ini, saya mendaulatnya masih hidup. Dan bisa jadi ia akan hidup selamanya, tergantung dari saya sebagai penulisnya.

Dukun itu sebetulnya dukun beranak tapi dia pun dukun multitalent, bisa mendukuni banyak hal. Misal, jika ingin dapat sapi cukup bawa ayam merah terbungkus dengan sesuatu yang berwarna putih. Terserah sesuatu itu apa, yang jelas berwarna putih. Seketika, ayam itu akan berubah jadi sapi. Tapi besar kecilnya sapi itu tergantung dari frekuensi dan intensitas tangisan. Jika hanya sekedar ingin sapi maka menangislah sekedarnya saja, tapi jika ingin sapi yang lebih besar dari biasanya maka menangislah lebih khusyu dari biasanya. Itu kuncinya, balasan besar kecil yang akan didapatkan tergantung dari seberapa banyak air mata yang tumpah dari kelopak mata.

Masih soal dukun itu. Suatu maghrib seorang perempuan ingin melahirkan. Sudah pembukaan terakhir. Kata dokter operasi sesar pun tidak bisa menyelamatkan keduanya, anak dan ibu. Jika anak dipaksa terlahir maka ibu yang akan meninggal. Jika ibunya yang harus diselamatkan maka anaknya yang harus mati. Sebetulnya si ibu telah pasrah, dia berani mengorbankan dirinya sendiri asalkan anak itu dapat lahir dengan selamat. 

Orang-orang tidak ada yang sepakat jika hanya anak itu yang selamat. Semua sepakat Ibu-nya lah yang harus selamat. Ini bukan soal pertimbangan untung rugi tapi ini pilihan yang murni hati nurani. Jika hanya sekedar untung rugi maka menurutku lebih baik anak itu saja yang lahir. Toh, ibu itu belum tentu akan bisa memberikan keturunan lagi jika ia hidup. Tapi saya tahu beban perasaan mereka, ibu telah terlanjur hidup di dunia ini, tidak mungkin mengorbankan yang telah lama ada dengan sesuatu yang baru akan datang. Ini soal hati nurani, bukan sekedar logika belaka. Ini soal nyawa seorang ibu, salah satu surga yang diciptakan Tuhan di bumi ini, termasuk salah satu yang lainnya adalah ibumu. Iya, ibumu, kamu, yang sedang membaca tulisan ini.

Ibu itu harus selamat, Tuhan bisa murka jika tak memilih surganya sebagai pilihan. Tapi anak itu juga harus selamat. Siapa sangka jika ia perempuan yang juga akan menjadi surga bagi anak-anaknya kelak. Berarti kedua-duanya harus hidup. Itu jadi kesimpulan. Tapi bagaimana caranya ???.

Saya fikir cerita ini sudah mudah ditebak. Dan kamu pasti sudah tahu arahnya akan kemana.

Iya, betul. Ibu itu harus di bawa ke Pattallassang. Tanah kehidupan yang tak pernah habis diceritakan. Sebuah tempat yang disediakan Tuhan untuk mewujudkan harapan kebahagiaan manusia. Orang-orang itu, termasuk ibu yang sedang melahirkan itu berharap anak itu lahir, menjadi harapan yang kelak akan tumbuh sebagai kebahagiaan.

Di rumah dukun itu, ibu itu menjalani persalinan. Ketubannya telah pecah. Sebantar lagi anaknya akan keluar. Sungguh bahagia perasaan orang-orang itu. Tapi, anak itu tidak keluar-keluar. Si ibu mengerang kesakitan. Seluruh orang di tempat itu sontak meraung-raung sangat keras, bathin mereka tertusuk oleh dugaan kematian anak itu. Mereka menangis dalam ke dalam sanubari, hingga mereka lupa bahwa mustahil orang bisa mati di tanah ini. Semuanya abadi, bahkan kenangan sekalipun itu. 

Anak itu kemudian keluar dengan tangisan menggema ke langit-langit kamar. Ternyata mereka memang lupa bahwa ini adalah Pattallassang. Tanah yang membuat apa saja bisa hidup. Mereka lupa karena fikiran mereka dihantui oleh ketakutan-ketakutan.

Sampai disini, jika kamu ingin berhenti dan merasa tidak asyik membaca cerita fiksi ini maka saya sarankan berhenti membaca sekarang. Karena cerita ini masih belum usai saya ceritakan.

Begitulah mungkin bapaknya memberikan nama pada anak itu dengan nama Meirah, sebagai sebuah kenyataan yang tidak akan pernah mati dan akan terus tumbuh sebagai api kenangan yang tidak pernah padam, juga tidak akan pernah mati. Anak itu telah memberi banyak cerita di masa lampau. Jarak Kenangan menjadi dapat terukur lewat keberadaannya. Semakin dekat dan begitu dekat dalam pelukan, sekalipun dalam rupa dan tubuh yang berbeda.

Sementara istriku, wanita yang kuanggap sebagai teman, saudara, dan sebagai partner rumah tangga tidak pernah bosan-bosannya menyadarkan bathinku bahwa kehidupan ini tidak lebih dari sekedar cerita fiksi. Yang menganggap bahwa kenyataan yang sesungguhnya bagi kehidupan ini ada di atas langit sana, di dalam catatan Takdir Tuhan. Kita hanyalah sekedar lakon yang hanya bisa yakin bahwa kehidupan ini benar-benar kenyataan, tidak di dalam cerita fiksi. Mustahil menangkap kebhatinan Tuhan tapi pun tidak salah jika dunia ini memang hanyalah fiksi. Tuhan penulisnya, Dia yang punya hak otoritas.

Anakku Meirah kini telah lahir. Menjadi harapan yang kokoh di masa yang akan datang. Ia lahir di tanah keabadian ini. Tanah kehidupan. Tanah yang diciptakan Tuhan untuk membalikkan kemustahilan. Semua orang bilang, Pattallassang adalah tanah Tuhan tapi itu terlalu berlebihan. Pattallasang juga adalah tanah yang seperti biasanya karena di pattallassang ini kematian tidak bisa dihidupkan, waktu tidak dapat diputarbalikkan. Apalagi kejadian masa lalu, juga tidak mungkin diulangi kembali. Cuman beruntungnya di tanah ini kelahiran dapat diabadikan. Bahkan kenanganpun bisa abadi di tempat ini. Salah satu contohnya adalah Meirah. 

Pagi ini, saat ia terbangun di samping ibunya yang masih lemas, ia merengek. Seakan-akan ingin terbang melompat ke dalam pelukanku. Sejak semalam saya hanya mengadzaninya. Selebihnya ibunya yang mengapihnya.

Sekarang kenangan telah hidup pada diri Meirah. Abadi sebagai satu kenyataan yang sekalipun hanya dapat diceritakan dalam cerita fiksi saja. Mungkin ia akan lebih giat datang sebagai ingatan lebih dari biasanya. Atau sedikit lebih malas karena ia akan menjadi anak yang lebih mencintai ibunya ketimbang ayahnya. Saya tetap terima. Karena memang sengaja kuabadikan namanya untuk mengekalkannya di hati. Ibunya pun tahu bahwa Meirah adalah nama yang telah sering kuceritakan. Ia tidak peduli cerita itu hanyalah fiksi atau bukan, yang jelas ia tidak keberataan nama itu melekat pada diri anaknya, Meirah.

Pattallassang, 22 Oktober 2019.


IHR, Tulisan ini hanyalah fiksi, bahkan saat kata-kata ini masih saya tuliskan.

Sabtu, 19 Oktober 2019

Di Timur Ada Yang Belum Selesai

“Orang itu orang timur, hati-hati,”. Sahutnya pada temannya sambil menutup hidung. Seakan-akan orang timur itu berpenyakitan dan ‘bau’.

Terlampau sering kata-kata semacam itu saya dengar dimana-mana. Soal bagaimana orang timur dikatai keras dan bodoh oleh orang-orang yang menganggap dirinya orang barat.

Ada yang menyela diri, tersenyum kecut, bahkan tak sedikit merasa ketakutan akan dikasari oleh orang-orang yang berasal dari timur. Tidak banyak yang berperilaku tidak sopan, hanya berlalu begitu saja sebelum menyapa dan memperkenalkan diri. Seakan-akan orang-orang timur itu berasal dari dunia yang berbeda dengannya.

Padahal, soal timur dan barat itu bukan hanya soal arah, bukan juga posisi, bukan juga kedudukan. Hei, dunia ini bulat karena itulah Orang-orang barat bisa jadi orang timur dan orang timur bisa jadi orang barat. Seperti berentet, orang barat bisa jadi orang timur bagi orang yang lebih barat darinya. Orang timur pun begitu, bisa jadi orang barat bagi orang yang sedang berada di bagian yang jauh lebih timur darinya. 

Menemukan kebenaran bahwa siapakah sesungguhnya yang benar-benar berada di bagian barat atau timur itu seperti mencari jarum dalam jerami. Tidak akan mudah didapatkan dan tidak berujung. Orang-orang timur itu juga bisa jadi jauh lebih barat dari orang-orang barat. Hingga orang-orang yang menyebut dirinya orang barat tadi menjadi orang yang jauh lebih timur dari orang timur.

Sejak Copernicus menemukan bahwa dunia ini bulat maka sejak itu pulalah dunia berubah tak berarah. Tidak ada lagi timur yang betul-betul timur atau barat yang betul-betul barat. Semua arah menjadi satu kesatuan yang saling berganti satu sama lain. Seperti sebuah gasing yang sedang berputar, tak punya ketetapan posisi karena adanya rotasi putaran.

Sebutan untuk Orang barat pada orang-orang yang katanya ada di barat itu pun tidak salah. Sebutan itu sudah melekat sejak vasco da gama berlayar dari portugis ke arah timur hingga menemukan India, atau sejak Colombus berlayar dari Spanyol ke arah barat kemudian menemukan benua amerika yang dihuni oleh orang-orang Maya.

Tapi, sejak Bill Gates memperkenalkan alat canggih yang disebut Microsoft sebagai perangkat lunak dalam komputer dan tomas graham bell menemukan pesawat telepon maka manusia telah merubah arah pandangnya tentang barat dan timur. Bill Gates dan Bell membuat alat komunikasi yang canggih sebagai cikal bakal munculnya era yang tanpa tapal batas. Manusia tak perlu lagi berkomunikasi dengan melintasi batas-batas teritori. Artinya apa, timur dan barat tidak lagi memainkan peran sebagai penunjuk arah tuk menemukan posisi seseorang karena orang-orang tidak lagi peduli dan membutuhkan soal-soal demikian.

Di era yang disruptif ini timur dan barat semakin berubah fungsi. Timur dan barat kini telah menjadi alat nyinyir. Alat yang mendifferensiasi kedudukan seseorang atau kelompok. Seolah-olah mereka yang duduk di bagian barat adalah mereka yang berkedudukan lebih tinggi dari orang-orang yang ada di timur. Mungkin karena itulah mereka yang di barat bebas saja menyinyiri dan memperlakukan orang yang ada di timur secara tidak adil.

Yang lebih parah lagi, timur dan barat sekarang sudah seperti timbangan. Timbangan yang tidak pernah sama beratnya dan adilnya. Barat selalu dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang timur sehingga total timbangan barat akan jauh lebih berat ketimbang timur. Sudah jadi rahasia umum kalau timbangan itu banyak diisi dengan gedung-gedung, uang, pangkat, dan jabatan. Bahkan naifnya, seringkali—tidak sesekali kalau jatah isian timbangan di bagian timur sering dipindahkan ke barat secara terang-terangan. Malupun tak punya sehingga tidak perlu mencuri dengan sembunyi.

Orang yang disebut sebagai orang timur itu mendengar nyinyiran orang yang mengaku dirinya orang barat itu. Ia pun menoleh dan menunduk dengan tabah. Ia berbisik ke dalam hatinya bahwa “kami memang kasar, keras, kolot, dan juga tidak berpendidikan tapi kami tidak rakus seperti kalian”. 

******
Soal hal-hal yang mungkin terlalu nampak di mata bahwa orang timur itu terbelakang dari orang barat, itu wajar. Sebab orang-orang timur itu di kala kecilnya telah diajarkan tentang penderitaan. Setiap hari ke sekolah dengan berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya. Mesti melewati jalanan berbatu tak beraspal, juga sungai-sungai berarus kencang, dan pematang-pematang sawah yang sempit untuk sampai ke sekolah. Mereka pun selalu terlambat.

Bukan hanya soal jauh, sekolah baginya bukan hanya sebagai tempat belajar tapi juga sebagai tempat mendapatkan penghidupan. Semakin jauh jarak rumahnya ke sekolah maka kemungkinan hidup dan bersekolahpun akan semakin lama. Setiap pagi mereka berjalan kaki ke sekolah sambil berteriak-teriak “eeeeee apang, tarajjong, bassang, na langkose..!!!”.

Orang yang disebut sebagai orang timur itu bertubuh kurus, kerontang, dan berperut buncit seperti orang sedang mengidap penyakit busung lapar. Di kampungnya memang banyak orang-orang yang bertubuh seperti mereka. Bagaiamana tidak, mereka (orang-orang timur) itu memang dari sejak kecil kekurangan gizi dan tidak pernah kebagian jatah kue yang enak-enak. 

Tapi itu jauh lebih baik ketimbang keadaan orang-orang barat sana yang setiap hari tidur di kasur empuk tapi masih saja sering mengeluh tentang sakit leher. Sampai-sampai terdengar bisikan bahwa dirinya sedang Wasir (sakit pantatnya), padahal tiap hari ia duduk di kursi empuk dalam gedung-gedung bertingkat. Sementara orang timur itu sekalipun dekil dan kurus kerontang tapi tubuhnya selalu sehat bugar. 

Penyakit yang paling mungkin di temukan pada orang-orang timur hanyalah sakit hati. Bukan jenis penyakit hati yang dapat  disembuhkan di rumah-rumah sakit mewah internasional tapi hanya bisa disembuhkan dengan kebijaksanaan dan keadilan. 

Sekalipun dekil dan terlihat kampungan tapi nampak terang kedamaian tergambar dari wajah orang timur itu. Gunung-gunung indah berantai-rantai dari kedua alisnya, rambut ikal keritingnya melengkung bagai sungai-sungai firdaus, juga nampak deretan pantai-pantai yang masih perawan di bibirnya. Tapi di balik matanya, menggumpal beban kesedihan yang luar biasa. Ada yang rapuh, ringkih menggeletar di dalam sana.

Di balik mata itu, segerombolan penjagal sedang menjagal keindahannya. Merampas seluruh isi kekayaannya. Keperawanannya diperkosa kemudian ditinggalkan begitu saja. Atas nama kebaikan, rayuan datang di tengah air matanya yang mengalir. Miliknya diambil dan dibawa pergi entah kemana. Orang timur itu seperti terasa asing pada dirinya sendiri. 

Ia menatap kosong ke arah depan. Memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Gedung-gedung bertingkat, mobil-mobil mewah, serta rumah-rumah yang mahalnya minta ampun berjejeran di sepanjang jalan. Kekaguman menyeruak dari hatinya. “Sungguh maju peradaban di tempat ini. Di tempatku, yang paling tinggi hanyalah pohon-pohon lontar. Tapi disini, gedung-gedung itu bahkan 20 kali lipat lebih tinggi dari pohon lontar”.

Ia masih di tempatnya, berdiri di trotoar jalan memperhatikan dengan seksama gedung-gedung tinggi yang berderet-deret. Di tengah kekagumannya yang meluap-luap tiba-tiba getir datang merampas. Air mata tumpah berserakan dari matanya melihat tayangan huru-hara di televisi berukuran ratusan inci tertempel di dinding sebuah gedung. Sekelompok orang sedang ditembaki dengan senapan dan gas air mata. Salah seorang mati. Mahasiswa. Mirip sekali dengan adiknya. Bukan hanya mirip tapi memang iya, dia adiknya.

Pilu melawan tangis atas kematian adiknya. Orang itu tersungkur, meraung tak tertahankan hingga raungan itu menggema ke dalam gedung-gedung, tapi tak ada yang mendengarkannya. Mereka di dalam sana lebih memilih sibuk menghitung uang dan mengkalkulasi untung rugi. Kasihan betul orang timur itu, ia ingin pulang memeluk dan mengantar langsung jenazah adiknya ke liang lahap tapi tak bisa. Keadaan memaksanya tinggal. Perongkosan pulang pun terlampau mahal.

Belum juga lama di tempat ini, ia telah ditimpa kabar buruk atas kematian adiknya. Padahal, ia datang kemari tuk melepas ingatan duka pada puluhan ribu nyawa tak berdosa yang dibantai pada puluhan tahun silam di tanahnya sendiri. Jenazah-jenazah hanya dikuburkan seadanya, kemudian dibuatkan tugu, seakan-akan kesedihan harus terus diingat oleh orang-orang sekitar. Nama neneknya, juga kakeknya, serta satu orang adiknya berderet mengisi prasasti tugu “Daftar Nama-nama Korban 40.000 Jiwa”.

Nasib buruk memang lebih banyak berteman dengan orang-orang terbelakang sepertinya. Sekalipun demikian takdir tidak bisa disesali, dan menggugat Tuhan pun naif. Nasib buruk itu mereka jalani dengan tabah dan sabar, bukan berarti ia dan mereka (orang-orang timur) itu sangat jarang tertawa. Kalian harus tahu bahwa, orang-orang timur itu selain pandai tertawa ia juga pandai memendam penderitaan. 

Terlalu banyak masalah di timur yang acapkali tidak dipedulikan oleh mereka yang di barat. Di satu waktu, saat ia masih kecil, ia diceritakan tentang kisah perjuangan oleh paman dan bibinya. Bahwa pernah ada segorombolan orang yang dituding pemberontak di tanahnya sendiri. Atas nama persatuan dan keamanan mereka dicari-cari dan dimusnahkan. Tapi oleh paman dan bibinya serta bagi semua orang-orang di kampungnya gerombolan itu adalah pejuang, pahlawan, penuntut keadilan, dan penegak harga diri.

Konon katanya, gerombolan itu kecewa karena dikhianati. Kue yang seharusnya miliknya diberikan ke orang lain. Akhirnya mereka melawan, kembali ke kampungnya, dan menegak perlawanan. Gerombolan itu lalu lalang di hutan rimbun. Keluar masuk kampung mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Sembari melawan ia mengajarkan agama dan membangun sekolah-sekolah. 

Wajar saja jika di mata orang-orang di kampungnya gerombolan itu adalah pahlawan, penegak harga diri, pejuang. Kisah itu takkan pernah habis diceritakan hingga masa yang akan datang. Terpendam sebagai ingatan pilu yang menyayat sanubari. 

Catatan sejarah memang tidak dapat dirubah. Mereka kan tetap dikenal pemberontak oleh orang lain. Sekalipun demikian, bagi anak cucunya, para penerusnya, semangat itu kan kokoh berdiri di dalam dada mereka. Semangat yang terus bergelora, takkan pernah hilang. Semangat perlawanan, semangat harga diri, bukan pengkhianatan. Warisan masa lampau yang akan tetap membumi di sanubari. Tidak dapat dimusnahkan sampai keadilan tegak di negeri ini.

Takalar, 19 Oktober 2019


IHR. Penulis, sengaja menulis catatan ini dalam HUT Sulawesi Selatan ke-350 tahun.

Kamis, 17 Oktober 2019

TANDA-TANDA

Muharram sebentar lagi habis. Saya harus melamarnya. Esok saya ke rumahnya, bertemu ibu-bapaknya, meminang anak perempuan mereka sebagai istriku. Baru setelah itu saya beritakan pada orang-orang di kampung, soal diterima atau tidaknya. Yang jelas jika jadi, bulan depan saya kembali ke rumahnya bersama iring-iringan tumabbicara doe’.

Dua kali saya datang, dua kali pula saya ditolak. Sebetulnya, bukan ditolak tapi belum diterima. Sekali lagi saya datang, jika masih ditolak, pupus sudah harapanku. Kata orang, kedatangan pertama adalah keberanian, kedatangan kedua kesungguhan, dan ketiga adalah kenekatan. Kenekatan berarti percobaan pada hal-hal yang dianggap mustahil.

Tidak ada ruang bagi kedatangan keempat. Menempuh jalur itu hanya kebodohan. Dan hanya orang-orang bodohlah yang tak punya rasa malu. Mungkin punya tapi hanya malu pada dirinya sendiri. Bagi orang-orang makassar tidak punya malu berarti tidak punya harga diri. Tidak punya harga diri berarti tidak layak lagi mendapatkan penghargaan dari orang lain. Itu disebut siri’.

Jalan yang saya tempuh ini adalah jalan siri’. Jalan yang melampaui kenekatan. Saya tahu posisiku, juga posisinya. Posisi keluargaku dengan keluarganya. Seperti langit dan bumi. Seperti laut dan gunung. Dia dari kalangan priyayi dan saya hanya orang kampung yang tak punya perasalan masa lalu. Tapi urusan ini bukan urusan perasalan tapi soal perasaan.

Perasaan tak mengenali perasalan, apalagi materi. Tapi entah bagaimana pertalian antara keduanya, perasalan selalu bertanya soal-soal perasaan, padahal semua orang tahu pada hal-hal yang tidak mungkin ditemukan dari perasaan. Saya, bahkan semua orang pun takkan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hanya dapat dirasa oleh perasaan.

Dua kali saya datang ke rumahnya, dua kali pula saya dicecari dengan pertanyaan-pertanyaan soal perasaanku padanya. Saya bisa saja menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan itu tapi hanya bisa dengan kata iya, lebih dari itu berarti berlebihan dan mendekati kebohongan.

Pertanyaan-pertanyaan tentang darimana asal perasaan cinta itu, bagaimana perasaan itu tumbuh, serta sejauh apa perasaan itu dapat bertahan lama, itu tak mungkin terjawab. Bagaimana bisa saya menjawabnya sementara perasaan itu takkan dapat terurai lewat logika-logika sederhana. Perasaanku padanya murni tanpa timbang fikiran. Cinta yang suci membathin, tidak di fikiran.
...........

Ketiga kalinya, ini yang terakhir, jika saya ditolak maka habislah hubungan kami. Tak mungkin saya menempuh jalan keempat. Mereka pasti tahu bahwa jalan keempat bukan lagi perulangan tapi kebodohan. Tidak ada perulangan dalam rumusan siri’, karena itulah siri’ selalu diletakkan dalam hal-hal yang krusial. Lantaran itu, jangan berani-berani jika tidak mampu menanggung resikonya.

Pagi baru saja melihat, sinar surya mengalir lembut dari Bawakaraeng hingga Lompobattang. Jalanan masih belum ramai. Sebelum ke menemui bapak ibunya, saya mengajaknya bertemu lebih dahulu. Mengutas kata sepakat untuk datang yang ketiga kali ke rumahnya. Akan kutegaskan bahwa ini yang terakhir, jika kedua orang tuanya tak menerima lamaran ini maka takkan ada kedatangan yang keempat.

Semua resiko telah kufikirkan matang-matang, juga dengan rentetan kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Dua hal yang kusampaikan padanya. Pertama, jika saya diterima maka kami kan menikah secepatnya, waktu yang paling baik di bulan shafar, bulan depan. Di bulan itu, padi-padi di kampung telah habis dipanen. Hasilnya akan dijadikan sebagai seserahan, atau uang belanja. Kedua, jika saya ditolak maka ia harus bersedia lari denganku. Menjadi pengantin yang menikah tanpa restu dari ayah dan ibunya. Tentu ini pilihan yang sulit, tapi fikirlah baik-baik.

Setelah semua tumpas kusampaikan padanya, hilanglah segala bebanku, yang tersisa tinggal datang ke rumahnya, bertemu ayah-ibunya.

Waktu yang paling tepat untuk datang ke rumahnya adalah sore hari, setelah ashar, selepas jam kantor, saat itu ayah-ibunya baru ada di rumahnya setelah seharian penuh berjibaku dengan urusan kantor masing-masing.

Jejak ingatan dari kedatanganku ke rumahnya masih lekat di ingatan. Masih ngiang di telinga kata-kata ayahnya waktu itu, bahwa langit dan bumi tak mungkin disatukan. Gunung dan lautan takkan dapat menemukan ruang pertemuan di dunia ini. Kata-kata itu terus menggema di fikiranku, menabrak-nabrak hati dan perasaanku. Sakit sekali, menyayat dada. Tapi saya tidak peduli.

Di ruang tamu ini, kedua orang tuanya menemuiku. Tak banyak kata-kata yang kusampaikan karena saya yakin mereka telah menangkap maksud kedatanganku ini. Hanya saja kami tetap butuh basa-basi. Kutanyakan perihal kesehatan dan keadaan mereka berdua. Saya tahu itu basa-basi karena jelas terlihat mereka sehat bugar tapi masih tetap kutanyakan pada keduanya. Mereka pun pasti tahu, itu hanya basa-basi.

Keduanya menyambutku hangat, menawariku kopi serta beberapa sajian di atas meja. Gemericik air dari teras rumah nyaring merambat ke dalam rumah. Ada spasi kesunyian diantara kami. Satu fase diam yang sengaja kami buat bertiga. Mereka menunggu pembicaraan itu dimulai oleh saya lebih dahulu. Saya tahu itu. Tapi saya juga butuh waktu, mengambil nafas, mencari-cari kata pembuka karena saya percaya bahwa kata pembuka menentukan segala kata-kata yang akan keluar selnjutnya.

Menegangkan, jeda ini membuka jarak yang semakin menganga diantara kami. Ada diam yang pelan-pelan datang mengisinya, mengepul menjadi ketakutan yang menyesakkan. Saya tahu ini beresiko, wajah ayahnya seperti macan yang sudah siap menerkam. Jika saya salah menguraikan kata-kata akan tamat riwatku jadi tulang belulang.

“Pak, bu... ini kedatangan saya yang ketiga, bapak mungkin sudah tahu maksud dari kedatangan ini. Saya hanya hendak mengulang tujuan dari kedatangan saya sebelumnya, ingin melamar anak dari bapak-ibu”.

Suasana menjadi tegang. Degup jantungku menggila. Fikiranku melompat kesana kemari menangkap jawaban yang akan disampaikan oleh bapaknya. Andai bisa lari saya akan lari. Saya takut yang keluar justru jawaban penolakan.

Orang tua ini terlalu lama berfikir. Diam merenungi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepan. Segompok ketakutan sedang mengisi kepalanya. Ia takut melepas anaknya ke padaku atau malah sedang menyusun bahasa penolakan yang paling halus untukku.

Jeda ini terlalu lama. Saya tak tahu lagi harus bagaimana selain diam mengikuti ritme fikirannya. Baru kali ini kurasakan waktu melambat semakin pelan. Terus melambat ke titik henti. Nyaris sebentar lagi berhenti. Jika tak ada satupun kata-kata yang keluar dari mulut bapak ini maka saya kan tenggelam di sini. Dalam perlambatan waktu. Dalam diam yang tak memberi jawaban apa-apa.

“Yah, terima kasih banyak nak. Tanpa kau sampaikan saya sudah tahu maksud dari kedatangan ini. Saya telah melihat kesungguhanmu selama ini. Panggillah keluargamu kesini tuk berbicara dengan kami, berdiskusi tuk menemukan kata sepakat”.

Seketika ada yang meledak di dadaku mendengar jawaban itu. Suara-suara yang sejak tadi bisu di dalam sana tiba-tiba berteriak. Mengangkat tangan dan menyebut kata “merdeka”. Ingin rasanya segera keluar melompat-lompat berteriak bahagia. Ayahnya menerimaku. Aku harus kembali ke kampung, menyampaikan kabar baik ini, segera.

Tidak banyak pembicaraan setelah itu. Saya pun tidak tahu akan berbicara apa selain meredam luapan kebahagiaan yang sejak tadi ingin keluar. Tak mungkin kubebaskan sekarang ini, di tempat ini, di hadapan kedua orang tuanya. Itu terlalu naif, beresiko, terlihat emosional, dan tidak dewasa. Bertingkah kekanak-kanakan beresiko besar bagi laki-laki bugis, bisa mengurangi kewibawaan.

Tapi perasaan bahagia itu sudah meluap-luap ingin keluar, sedikit lagi tumpah. Jika saya tidak berpamitan sekarang maka pasti akan tumpah di hadapan mereka. Sudah saatnya saya pamit. Menjabati tangan ayah-ibunya sembari menyampaikan pada keduanya bahwa dalam jangka waktu dekat ini keluargaku akan datang bersama rombongan pabbicara doe’.

Keluarlah saya dengan rasa senang yang luar biasa dari rumahnya. Tumpah segala kebahagian itu dari dadaku dalam rupa air mata haru. Perempuan yang saya cintai sedikit lagi akan menjadi istriku.

..............
Rombongan pabbicara doe’ telah menunaikan tugas. Menumpaskan dialog pertemuan dengan pihak keluarga perempuan. Sudah saatnya mereka pulang.

Bukan hanya bicara soal uang belanja tapi mereka juga bicara hari baik pesta pernikahan kami nanti. Mereka berembuk menghitung kadar kebaikan dari masing-masing hari. Bukan berarti semua hari itu tidak sama tapi mereka meyakini bahwa ada hari-hari tentu dan waktu-waktu tertentu dimana kejadian-kejadian buruk terjadi di masa silam, itulah yang harus dihindari. Mereka takut hal yang sama terjadi pada kami berdua di masa kelak.

Sebagaimana mereka datang, begitupun mereka pulang. Tidak ada yang kurang sedikitpun. Hanya sepasang ayam yang menjadi simboleng (simbol) pertemuan, betinanya mati di perjalanan. Mungkin terpapar asap mobil yang menyengat.

....................
Sebentar lagi kami kan sampai di hari pernikahan kami. Segala kebutuhan pernikahan telah tunai dikirimkan pada pihak keluarga perempuan. Urusan lainnya sisa urusan-urusan teknis yang hanya diurus oleh pihak perempuan. Tanpa mengurangi intensi komunikasi, saya tahu ia sangat sibuk, menjadi pemain tunggal yang mempersiapkan pesta pernikahan ini. Adiknya tak ada di rumah, bapak ibunya pun sibuk, tidak ada yang dapat diandalkan membantu. Saya juga kasihan, oleh karena itu kutawarkan tuk menemani sesekali.

Di satu kesempatan ia tumpahkan segala cerita-ceritanya, termasuk angan-angannya di hari pernikahan kami kelak. Ia bilang akan mengenakan baju bodo berwana hijau. Bertudung hitam dengan manik-manik emas menghiasi sekujur tubuhnya. Sanggulnya cukup yang biasa saja karena ia kan mengenakan kerudung. Katanya, tidak serasi bersanggul besar jika memakai kerudung. Sementara warna dekorasi pelaminan kami didominasi oleh warna ungu.

Dapat kubayangkan, ia kan terlihat cantik di pesta pernikahan itu.

Dua minggu lagi. Kurang sedikit. Undangan pun telah habis teredar. Ia terlalu sibuk mengurusi semuanya. Tidak banyak pertemuan yang melibatkan kami. Hanya hari ini, itupun kebetulan saja. sebentar siang kami bersepakat kan sama-sama ke tukang jahit. Katanya tukang jahit andalannya ada di kota.

Tidak banyak sanggahan dari saya. Patuh pada keputusan perempuan dalam hal-hal seperti ini bukan hanya bijaksana tapi juga menyelamatkan diri dari kerunyaman mulut dan perasaannya. Padahal, ada banyak tukang jahit di kampungnya dan kampungku. Jika saja ia berfikir simpel maka tidak perlu sama-sama, hanya cukup bersepakat dengan kriteria-kriteria tertentu kemudian kita menjahit di tempat masing-masing.

Saya tahu bahwa urusan kecantikan selalu jadi titik penting bagi perempuan. Seolah keserasian mempengaruhi kesopanan, suasana bathin, bahkan suasana pesta. Memang sulit membenarkan teorema itu tapi saya sarankan untuk jangan membantahnya, jika ingin semuanya baik-baik saja. Bersepakat saja, turuti maunya sekalipun berat, jika tidak maka kemarahannya akan meluber ke urusan-urusan lainnya.

Untung saja ia memilih kota, bukan di tempat lain. Jarak dari kampungku ke kampungnya ditengahi oleh kota sehingga kota menjadi tempat pertemuan yang paling impas diantara kami.

Tidak banyak yang kami lakukan di kota. Hanya ke tukang jahit, berjalan-jalan sebentar, kemudian rehat sejenak sambil bercerita di salah satu kafe. Entah kenapa hari ini ia terlalu cerewet. Ia nampak cantik dengan letupan-letupan tawanya. Sesekali lirikannya menggodaku. Yaa Tuhan.. andai saja waktu bisa saya kendalikan maka akad nikah akan saya percepat hari ini.

Nampaknya ia Ingin mengerjaiku. Tapi itu tak mempan, perempuan terlalu tidak pandai berpura-pura dengan kecerewetannya. Kecuali dengan tangisan mungkin saya akan lebih percaya.

Sudah setengah lima sore. Jingga senja sebentar lagi memeluk langit. Ia sudah harus pulang, juga saya. Kamipun terpisah di tengah jalan, ke arah rumah masing-masing. Ia melaju ke arah selatan dan saya mengambil arah utara. Lantaran cinta tidak dapat mengeja kata-kata tentang perpisahan maka kami memilih tuk menepikan permisi. Berlalu begitu saja sambil menautkan rindu pada jarak yang semakin menjauh.

Malam telah sampai bersama diriku di peratian rumah. Saya tak perlu mengabari bahwa telah sampai, begitupun dia, pasti telah sampai di rumahnya sejak tadi. Saya harus tidur, mendiamkan sejenak isi kepala. Di luar kamar Indo’ dan ambo’ sementara membincang undangan yang belum sampai ke orangnya masing-masing. Diskusi mereka mengantar kedua mataku lelap di dalam sini.

Pagi masih ringkih, kabut masih menutupi bumi. Dingin menusuk. Tidak tahu mengerti bahwa saya sedang memimpikannya. Mengenakan pakaian pengantin. Persis seperti yang ia ceritakan padaku tempo hari. Tentang baju pengantin warna hijau.

Di pinggir jalan, dari jendela kamar terlihat  daun-daun masih basah. Siluet pagi mendesar di sela-sela ranting pohon cemara. Seseorang tiba-tiba singgah di mulut pagar, berlari sekonyong-konyong ke halaman rumah kemudian berbincang dengan indo’. Orang itu tidak asing bagiku, saya pernah melihatnya, tapi saya lupa dimana. Wajah indo’ tiba-tiba menegang mendengar cerita orang itu. Indo’ tiba-tiba menangis, yah menangis. Seperti ada yang meledak di dadanya. Pecah berantakan. Kemudian buuuggghhh, ia pingsan.

Saya kenal orang itu, tapi sekarang ia dimana ?. Ia pergi tanpa pamit. Tidak tahu kemana perginya.

Kupeluk indo’ erat-erat agar ia segera sadar dari pingsannya. Ambo’ pun membantu dengan berbisik ke telinganya. Saya tidak tahu apa yang ia bisikkan, semacam mantra atau do’a-do’a. Tidak lama Indo’ bangkit dari pingsan kemudian memelukku dan menyampaikan bahwa Meirah meninggal dunia, tewas dari kecelakaan beruntun. Kemarin malam, antara maghrib-isya, dalam perjalanan dari kota ke rumahnya.

Ada denyut yang meledak. Tumpah, sebagai air mata. Terguncang keras oleh kabar kematian itu. Sesak. Mati rasa. Terasa kosong. Begitu cepat.

Ia sekarang pergi, meninggalkanku sendirian tanpa mengucap pamit, melayang sebagai kabut asap yang terbang ke langit luas. Perasaan ini melampaui biasanya. Kesedihan itu semakin membathin. Mengenang baju pengantin hijau, Ayam betina yang mati di tengah jalan, juga peristiwa sebelum-sebelumnya yang genang di fikiran sebagai kenangan.

IHR
Takalar, 17/10/2019.