Senin, 21 Oktober 2019

Di Pattallassang, Kehidupan Menjadi Benar-Benar Hidup

Di Pattallassang, sebuah tempat di sisiran pulau Sulawesi, bersemayam orang-orang yang hidup abadi, tapi segalanya dilahirkan dengan kesedihan.

Tidak sama dengan tempat lain di Sulawesi, bahkan di dunia ini. Pattallassang edentik dengan keabadian dan kesedihan. Konon dahulu kala Pattallasang adalah tempat menumbuhkan semua yang bernyawa. Jika ada seorang bayi lahir dan ia sangat diinginkan selamat dari kelahirannya, ibunya sengaja dibawa ke daerah Pattallassang. Bukan hanya bayi atau manusia, binatang hingga benda-benda yang tidak bernyawapun bisa tumbuh abadi di tempat itu. Termasuk kenangan.

Biasanya masyarakat sekitar Pattallassang sengaja mendatangi Pattallassang lebih dahulu jika telah membeli sesuatu yang baru. Motor baru, mobil baru, sepeda baru, bahkan istri baru. Pokoknya semua yang baru-baru harus lebih dahulu dibawa ke Pattallassang. Lebih lengkap lagi jika kesana kemudian membeli sesuatu yang manis-manis, seperti gula atau pisang. Yang jelas Pattallassang adalah tempat bermukimnya segala harapan-harapan manis di tempat itu.

Sayangnya, apapun yang terlahir di Pattallassang selalu dirayakan dengan kesedihan. Jika tidak dengan itu maka apa yang terlahir itu tetap akan lahir tapi akan tumbuh dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Kesedihan harus menjadi mantra kelahiran, tangisan adalah kuncinya. Jika ingin lebih baik maka buatlah seseorang membuatmu sakit hati hingga lupa bahwa kebahagiaan itu adalah hak dari seluruh manusia.

Baiklah, ada yang harus diceritakan pagi ini tentang Pattallassang. Sebuah cerita fiksi yang mungkin terkesan tidak masuk akal. Memang bgitu, semua hal yang fiksi memang cenderung tidak masuk akal tapi bagi seorang penulis fiksi, kenyataan bukanlah apa yang telah dan sedang terjadi tapi kenyataan yang sesungguhnya adalah apa yang telah dituliskannya di dalam cerita. Jadi belajarlah memahami penulis fiksi, percaya saja ceritanya. Jika tidak, maka cukup sampai di praghrap ini saja anda membacanya.

Jadi begini, Pagi ini saya sedang berusaha menuliskan cerita tentang Pattallassang. Sebetulnya saya pun capai setelah semalaman lelah berkelahi dengan kenangan di dalam mimpi, tapi tidak tahu kenapa jari-jariku terus ingin menulis. Jari-jari itu seperti telah kesetanan atau sedang dijangkiti semacam ilmu ghaib dari Pattallassang. Jari-jari itu ingin hidup dan bersemangat menuliskan seluruh cerita-cerita kesedihan di dunia ini.

Sekali lagi saya sampaikan, berhentilah disini jika tidak percaya pada ceritaku. Di sini. Di titik ini .

Jika betul-betul ingin tahu cerita soal pattallassang itu, mari kita melompat ke 8 jam sebelum ini. Di suatu tempat di dalam pattallassang hidup seorang dukun abadi. Konon katanya umurnya telah sampai 200 tahun lebih. Di dalam dunia nyata, tidak ada lagi orang yang bisa hidup hingga usia itu. Tapi di dalam tulisan fiksi ini, saya mendaulatnya masih hidup. Dan bisa jadi ia akan hidup selamanya, tergantung dari saya sebagai penulisnya.

Dukun itu sebetulnya dukun beranak tapi dia pun dukun multitalent, bisa mendukuni banyak hal. Misal, jika ingin dapat sapi cukup bawa ayam merah terbungkus dengan sesuatu yang berwarna putih. Terserah sesuatu itu apa, yang jelas berwarna putih. Seketika, ayam itu akan berubah jadi sapi. Tapi besar kecilnya sapi itu tergantung dari frekuensi dan intensitas tangisan. Jika hanya sekedar ingin sapi maka menangislah sekedarnya saja, tapi jika ingin sapi yang lebih besar dari biasanya maka menangislah lebih khusyu dari biasanya. Itu kuncinya, balasan besar kecil yang akan didapatkan tergantung dari seberapa banyak air mata yang tumpah dari kelopak mata.

Masih soal dukun itu. Suatu maghrib seorang perempuan ingin melahirkan. Sudah pembukaan terakhir. Kata dokter operasi sesar pun tidak bisa menyelamatkan keduanya, anak dan ibu. Jika anak dipaksa terlahir maka ibu yang akan meninggal. Jika ibunya yang harus diselamatkan maka anaknya yang harus mati. Sebetulnya si ibu telah pasrah, dia berani mengorbankan dirinya sendiri asalkan anak itu dapat lahir dengan selamat. 

Orang-orang tidak ada yang sepakat jika hanya anak itu yang selamat. Semua sepakat Ibu-nya lah yang harus selamat. Ini bukan soal pertimbangan untung rugi tapi ini pilihan yang murni hati nurani. Jika hanya sekedar untung rugi maka menurutku lebih baik anak itu saja yang lahir. Toh, ibu itu belum tentu akan bisa memberikan keturunan lagi jika ia hidup. Tapi saya tahu beban perasaan mereka, ibu telah terlanjur hidup di dunia ini, tidak mungkin mengorbankan yang telah lama ada dengan sesuatu yang baru akan datang. Ini soal hati nurani, bukan sekedar logika belaka. Ini soal nyawa seorang ibu, salah satu surga yang diciptakan Tuhan di bumi ini, termasuk salah satu yang lainnya adalah ibumu. Iya, ibumu, kamu, yang sedang membaca tulisan ini.

Ibu itu harus selamat, Tuhan bisa murka jika tak memilih surganya sebagai pilihan. Tapi anak itu juga harus selamat. Siapa sangka jika ia perempuan yang juga akan menjadi surga bagi anak-anaknya kelak. Berarti kedua-duanya harus hidup. Itu jadi kesimpulan. Tapi bagaimana caranya ???.

Saya fikir cerita ini sudah mudah ditebak. Dan kamu pasti sudah tahu arahnya akan kemana.

Iya, betul. Ibu itu harus di bawa ke Pattallassang. Tanah kehidupan yang tak pernah habis diceritakan. Sebuah tempat yang disediakan Tuhan untuk mewujudkan harapan kebahagiaan manusia. Orang-orang itu, termasuk ibu yang sedang melahirkan itu berharap anak itu lahir, menjadi harapan yang kelak akan tumbuh sebagai kebahagiaan.

Di rumah dukun itu, ibu itu menjalani persalinan. Ketubannya telah pecah. Sebantar lagi anaknya akan keluar. Sungguh bahagia perasaan orang-orang itu. Tapi, anak itu tidak keluar-keluar. Si ibu mengerang kesakitan. Seluruh orang di tempat itu sontak meraung-raung sangat keras, bathin mereka tertusuk oleh dugaan kematian anak itu. Mereka menangis dalam ke dalam sanubari, hingga mereka lupa bahwa mustahil orang bisa mati di tanah ini. Semuanya abadi, bahkan kenangan sekalipun itu. 

Anak itu kemudian keluar dengan tangisan menggema ke langit-langit kamar. Ternyata mereka memang lupa bahwa ini adalah Pattallassang. Tanah yang membuat apa saja bisa hidup. Mereka lupa karena fikiran mereka dihantui oleh ketakutan-ketakutan.

Sampai disini, jika kamu ingin berhenti dan merasa tidak asyik membaca cerita fiksi ini maka saya sarankan berhenti membaca sekarang. Karena cerita ini masih belum usai saya ceritakan.

Begitulah mungkin bapaknya memberikan nama pada anak itu dengan nama Meirah, sebagai sebuah kenyataan yang tidak akan pernah mati dan akan terus tumbuh sebagai api kenangan yang tidak pernah padam, juga tidak akan pernah mati. Anak itu telah memberi banyak cerita di masa lampau. Jarak Kenangan menjadi dapat terukur lewat keberadaannya. Semakin dekat dan begitu dekat dalam pelukan, sekalipun dalam rupa dan tubuh yang berbeda.

Sementara istriku, wanita yang kuanggap sebagai teman, saudara, dan sebagai partner rumah tangga tidak pernah bosan-bosannya menyadarkan bathinku bahwa kehidupan ini tidak lebih dari sekedar cerita fiksi. Yang menganggap bahwa kenyataan yang sesungguhnya bagi kehidupan ini ada di atas langit sana, di dalam catatan Takdir Tuhan. Kita hanyalah sekedar lakon yang hanya bisa yakin bahwa kehidupan ini benar-benar kenyataan, tidak di dalam cerita fiksi. Mustahil menangkap kebhatinan Tuhan tapi pun tidak salah jika dunia ini memang hanyalah fiksi. Tuhan penulisnya, Dia yang punya hak otoritas.

Anakku Meirah kini telah lahir. Menjadi harapan yang kokoh di masa yang akan datang. Ia lahir di tanah keabadian ini. Tanah kehidupan. Tanah yang diciptakan Tuhan untuk membalikkan kemustahilan. Semua orang bilang, Pattallassang adalah tanah Tuhan tapi itu terlalu berlebihan. Pattallasang juga adalah tanah yang seperti biasanya karena di pattallassang ini kematian tidak bisa dihidupkan, waktu tidak dapat diputarbalikkan. Apalagi kejadian masa lalu, juga tidak mungkin diulangi kembali. Cuman beruntungnya di tanah ini kelahiran dapat diabadikan. Bahkan kenanganpun bisa abadi di tempat ini. Salah satu contohnya adalah Meirah. 

Pagi ini, saat ia terbangun di samping ibunya yang masih lemas, ia merengek. Seakan-akan ingin terbang melompat ke dalam pelukanku. Sejak semalam saya hanya mengadzaninya. Selebihnya ibunya yang mengapihnya.

Sekarang kenangan telah hidup pada diri Meirah. Abadi sebagai satu kenyataan yang sekalipun hanya dapat diceritakan dalam cerita fiksi saja. Mungkin ia akan lebih giat datang sebagai ingatan lebih dari biasanya. Atau sedikit lebih malas karena ia akan menjadi anak yang lebih mencintai ibunya ketimbang ayahnya. Saya tetap terima. Karena memang sengaja kuabadikan namanya untuk mengekalkannya di hati. Ibunya pun tahu bahwa Meirah adalah nama yang telah sering kuceritakan. Ia tidak peduli cerita itu hanyalah fiksi atau bukan, yang jelas ia tidak keberataan nama itu melekat pada diri anaknya, Meirah.

Pattallassang, 22 Oktober 2019.


IHR, Tulisan ini hanyalah fiksi, bahkan saat kata-kata ini masih saya tuliskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar