Sabtu, 19 Oktober 2019

Di Timur Ada Yang Belum Selesai

“Orang itu orang timur, hati-hati,”. Sahutnya pada temannya sambil menutup hidung. Seakan-akan orang timur itu berpenyakitan dan ‘bau’.

Terlampau sering kata-kata semacam itu saya dengar dimana-mana. Soal bagaimana orang timur dikatai keras dan bodoh oleh orang-orang yang menganggap dirinya orang barat.

Ada yang menyela diri, tersenyum kecut, bahkan tak sedikit merasa ketakutan akan dikasari oleh orang-orang yang berasal dari timur. Tidak banyak yang berperilaku tidak sopan, hanya berlalu begitu saja sebelum menyapa dan memperkenalkan diri. Seakan-akan orang-orang timur itu berasal dari dunia yang berbeda dengannya.

Padahal, soal timur dan barat itu bukan hanya soal arah, bukan juga posisi, bukan juga kedudukan. Hei, dunia ini bulat karena itulah Orang-orang barat bisa jadi orang timur dan orang timur bisa jadi orang barat. Seperti berentet, orang barat bisa jadi orang timur bagi orang yang lebih barat darinya. Orang timur pun begitu, bisa jadi orang barat bagi orang yang sedang berada di bagian yang jauh lebih timur darinya. 

Menemukan kebenaran bahwa siapakah sesungguhnya yang benar-benar berada di bagian barat atau timur itu seperti mencari jarum dalam jerami. Tidak akan mudah didapatkan dan tidak berujung. Orang-orang timur itu juga bisa jadi jauh lebih barat dari orang-orang barat. Hingga orang-orang yang menyebut dirinya orang barat tadi menjadi orang yang jauh lebih timur dari orang timur.

Sejak Copernicus menemukan bahwa dunia ini bulat maka sejak itu pulalah dunia berubah tak berarah. Tidak ada lagi timur yang betul-betul timur atau barat yang betul-betul barat. Semua arah menjadi satu kesatuan yang saling berganti satu sama lain. Seperti sebuah gasing yang sedang berputar, tak punya ketetapan posisi karena adanya rotasi putaran.

Sebutan untuk Orang barat pada orang-orang yang katanya ada di barat itu pun tidak salah. Sebutan itu sudah melekat sejak vasco da gama berlayar dari portugis ke arah timur hingga menemukan India, atau sejak Colombus berlayar dari Spanyol ke arah barat kemudian menemukan benua amerika yang dihuni oleh orang-orang Maya.

Tapi, sejak Bill Gates memperkenalkan alat canggih yang disebut Microsoft sebagai perangkat lunak dalam komputer dan tomas graham bell menemukan pesawat telepon maka manusia telah merubah arah pandangnya tentang barat dan timur. Bill Gates dan Bell membuat alat komunikasi yang canggih sebagai cikal bakal munculnya era yang tanpa tapal batas. Manusia tak perlu lagi berkomunikasi dengan melintasi batas-batas teritori. Artinya apa, timur dan barat tidak lagi memainkan peran sebagai penunjuk arah tuk menemukan posisi seseorang karena orang-orang tidak lagi peduli dan membutuhkan soal-soal demikian.

Di era yang disruptif ini timur dan barat semakin berubah fungsi. Timur dan barat kini telah menjadi alat nyinyir. Alat yang mendifferensiasi kedudukan seseorang atau kelompok. Seolah-olah mereka yang duduk di bagian barat adalah mereka yang berkedudukan lebih tinggi dari orang-orang yang ada di timur. Mungkin karena itulah mereka yang di barat bebas saja menyinyiri dan memperlakukan orang yang ada di timur secara tidak adil.

Yang lebih parah lagi, timur dan barat sekarang sudah seperti timbangan. Timbangan yang tidak pernah sama beratnya dan adilnya. Barat selalu dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang timur sehingga total timbangan barat akan jauh lebih berat ketimbang timur. Sudah jadi rahasia umum kalau timbangan itu banyak diisi dengan gedung-gedung, uang, pangkat, dan jabatan. Bahkan naifnya, seringkali—tidak sesekali kalau jatah isian timbangan di bagian timur sering dipindahkan ke barat secara terang-terangan. Malupun tak punya sehingga tidak perlu mencuri dengan sembunyi.

Orang yang disebut sebagai orang timur itu mendengar nyinyiran orang yang mengaku dirinya orang barat itu. Ia pun menoleh dan menunduk dengan tabah. Ia berbisik ke dalam hatinya bahwa “kami memang kasar, keras, kolot, dan juga tidak berpendidikan tapi kami tidak rakus seperti kalian”. 

******
Soal hal-hal yang mungkin terlalu nampak di mata bahwa orang timur itu terbelakang dari orang barat, itu wajar. Sebab orang-orang timur itu di kala kecilnya telah diajarkan tentang penderitaan. Setiap hari ke sekolah dengan berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya. Mesti melewati jalanan berbatu tak beraspal, juga sungai-sungai berarus kencang, dan pematang-pematang sawah yang sempit untuk sampai ke sekolah. Mereka pun selalu terlambat.

Bukan hanya soal jauh, sekolah baginya bukan hanya sebagai tempat belajar tapi juga sebagai tempat mendapatkan penghidupan. Semakin jauh jarak rumahnya ke sekolah maka kemungkinan hidup dan bersekolahpun akan semakin lama. Setiap pagi mereka berjalan kaki ke sekolah sambil berteriak-teriak “eeeeee apang, tarajjong, bassang, na langkose..!!!”.

Orang yang disebut sebagai orang timur itu bertubuh kurus, kerontang, dan berperut buncit seperti orang sedang mengidap penyakit busung lapar. Di kampungnya memang banyak orang-orang yang bertubuh seperti mereka. Bagaiamana tidak, mereka (orang-orang timur) itu memang dari sejak kecil kekurangan gizi dan tidak pernah kebagian jatah kue yang enak-enak. 

Tapi itu jauh lebih baik ketimbang keadaan orang-orang barat sana yang setiap hari tidur di kasur empuk tapi masih saja sering mengeluh tentang sakit leher. Sampai-sampai terdengar bisikan bahwa dirinya sedang Wasir (sakit pantatnya), padahal tiap hari ia duduk di kursi empuk dalam gedung-gedung bertingkat. Sementara orang timur itu sekalipun dekil dan kurus kerontang tapi tubuhnya selalu sehat bugar. 

Penyakit yang paling mungkin di temukan pada orang-orang timur hanyalah sakit hati. Bukan jenis penyakit hati yang dapat  disembuhkan di rumah-rumah sakit mewah internasional tapi hanya bisa disembuhkan dengan kebijaksanaan dan keadilan. 

Sekalipun dekil dan terlihat kampungan tapi nampak terang kedamaian tergambar dari wajah orang timur itu. Gunung-gunung indah berantai-rantai dari kedua alisnya, rambut ikal keritingnya melengkung bagai sungai-sungai firdaus, juga nampak deretan pantai-pantai yang masih perawan di bibirnya. Tapi di balik matanya, menggumpal beban kesedihan yang luar biasa. Ada yang rapuh, ringkih menggeletar di dalam sana.

Di balik mata itu, segerombolan penjagal sedang menjagal keindahannya. Merampas seluruh isi kekayaannya. Keperawanannya diperkosa kemudian ditinggalkan begitu saja. Atas nama kebaikan, rayuan datang di tengah air matanya yang mengalir. Miliknya diambil dan dibawa pergi entah kemana. Orang timur itu seperti terasa asing pada dirinya sendiri. 

Ia menatap kosong ke arah depan. Memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Gedung-gedung bertingkat, mobil-mobil mewah, serta rumah-rumah yang mahalnya minta ampun berjejeran di sepanjang jalan. Kekaguman menyeruak dari hatinya. “Sungguh maju peradaban di tempat ini. Di tempatku, yang paling tinggi hanyalah pohon-pohon lontar. Tapi disini, gedung-gedung itu bahkan 20 kali lipat lebih tinggi dari pohon lontar”.

Ia masih di tempatnya, berdiri di trotoar jalan memperhatikan dengan seksama gedung-gedung tinggi yang berderet-deret. Di tengah kekagumannya yang meluap-luap tiba-tiba getir datang merampas. Air mata tumpah berserakan dari matanya melihat tayangan huru-hara di televisi berukuran ratusan inci tertempel di dinding sebuah gedung. Sekelompok orang sedang ditembaki dengan senapan dan gas air mata. Salah seorang mati. Mahasiswa. Mirip sekali dengan adiknya. Bukan hanya mirip tapi memang iya, dia adiknya.

Pilu melawan tangis atas kematian adiknya. Orang itu tersungkur, meraung tak tertahankan hingga raungan itu menggema ke dalam gedung-gedung, tapi tak ada yang mendengarkannya. Mereka di dalam sana lebih memilih sibuk menghitung uang dan mengkalkulasi untung rugi. Kasihan betul orang timur itu, ia ingin pulang memeluk dan mengantar langsung jenazah adiknya ke liang lahap tapi tak bisa. Keadaan memaksanya tinggal. Perongkosan pulang pun terlampau mahal.

Belum juga lama di tempat ini, ia telah ditimpa kabar buruk atas kematian adiknya. Padahal, ia datang kemari tuk melepas ingatan duka pada puluhan ribu nyawa tak berdosa yang dibantai pada puluhan tahun silam di tanahnya sendiri. Jenazah-jenazah hanya dikuburkan seadanya, kemudian dibuatkan tugu, seakan-akan kesedihan harus terus diingat oleh orang-orang sekitar. Nama neneknya, juga kakeknya, serta satu orang adiknya berderet mengisi prasasti tugu “Daftar Nama-nama Korban 40.000 Jiwa”.

Nasib buruk memang lebih banyak berteman dengan orang-orang terbelakang sepertinya. Sekalipun demikian takdir tidak bisa disesali, dan menggugat Tuhan pun naif. Nasib buruk itu mereka jalani dengan tabah dan sabar, bukan berarti ia dan mereka (orang-orang timur) itu sangat jarang tertawa. Kalian harus tahu bahwa, orang-orang timur itu selain pandai tertawa ia juga pandai memendam penderitaan. 

Terlalu banyak masalah di timur yang acapkali tidak dipedulikan oleh mereka yang di barat. Di satu waktu, saat ia masih kecil, ia diceritakan tentang kisah perjuangan oleh paman dan bibinya. Bahwa pernah ada segorombolan orang yang dituding pemberontak di tanahnya sendiri. Atas nama persatuan dan keamanan mereka dicari-cari dan dimusnahkan. Tapi oleh paman dan bibinya serta bagi semua orang-orang di kampungnya gerombolan itu adalah pejuang, pahlawan, penuntut keadilan, dan penegak harga diri.

Konon katanya, gerombolan itu kecewa karena dikhianati. Kue yang seharusnya miliknya diberikan ke orang lain. Akhirnya mereka melawan, kembali ke kampungnya, dan menegak perlawanan. Gerombolan itu lalu lalang di hutan rimbun. Keluar masuk kampung mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Sembari melawan ia mengajarkan agama dan membangun sekolah-sekolah. 

Wajar saja jika di mata orang-orang di kampungnya gerombolan itu adalah pahlawan, penegak harga diri, pejuang. Kisah itu takkan pernah habis diceritakan hingga masa yang akan datang. Terpendam sebagai ingatan pilu yang menyayat sanubari. 

Catatan sejarah memang tidak dapat dirubah. Mereka kan tetap dikenal pemberontak oleh orang lain. Sekalipun demikian, bagi anak cucunya, para penerusnya, semangat itu kan kokoh berdiri di dalam dada mereka. Semangat yang terus bergelora, takkan pernah hilang. Semangat perlawanan, semangat harga diri, bukan pengkhianatan. Warisan masa lampau yang akan tetap membumi di sanubari. Tidak dapat dimusnahkan sampai keadilan tegak di negeri ini.

Takalar, 19 Oktober 2019


IHR. Penulis, sengaja menulis catatan ini dalam HUT Sulawesi Selatan ke-350 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar