Muharram sebentar lagi habis. Saya harus melamarnya. Esok saya ke rumahnya, bertemu ibu-bapaknya, meminang anak perempuan mereka sebagai istriku. Baru setelah itu saya beritakan pada orang-orang di kampung, soal diterima atau tidaknya. Yang jelas jika jadi, bulan depan saya kembali ke rumahnya bersama iring-iringan tumabbicara doe’.
Dua kali saya datang, dua kali pula saya ditolak. Sebetulnya, bukan ditolak tapi belum diterima. Sekali lagi saya datang, jika masih ditolak, pupus sudah harapanku. Kata orang, kedatangan pertama adalah keberanian, kedatangan kedua kesungguhan, dan ketiga adalah kenekatan. Kenekatan berarti percobaan pada hal-hal yang dianggap mustahil.
Tidak ada ruang bagi kedatangan keempat. Menempuh jalur itu hanya kebodohan. Dan hanya orang-orang bodohlah yang tak punya rasa malu. Mungkin punya tapi hanya malu pada dirinya sendiri. Bagi orang-orang makassar tidak punya malu berarti tidak punya harga diri. Tidak punya harga diri berarti tidak layak lagi mendapatkan penghargaan dari orang lain. Itu disebut siri’.
Jalan yang saya tempuh ini adalah jalan siri’. Jalan yang melampaui kenekatan. Saya tahu posisiku, juga posisinya. Posisi keluargaku dengan keluarganya. Seperti langit dan bumi. Seperti laut dan gunung. Dia dari kalangan priyayi dan saya hanya orang kampung yang tak punya perasalan masa lalu. Tapi urusan ini bukan urusan perasalan tapi soal perasaan.
Perasaan tak mengenali perasalan, apalagi materi. Tapi entah bagaimana pertalian antara keduanya, perasalan selalu bertanya soal-soal perasaan, padahal semua orang tahu pada hal-hal yang tidak mungkin ditemukan dari perasaan. Saya, bahkan semua orang pun takkan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hanya dapat dirasa oleh perasaan.
Dua kali saya datang ke rumahnya, dua kali pula saya dicecari dengan pertanyaan-pertanyaan soal perasaanku padanya. Saya bisa saja menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan itu tapi hanya bisa dengan kata iya, lebih dari itu berarti berlebihan dan mendekati kebohongan.
Pertanyaan-pertanyaan tentang darimana asal perasaan cinta itu, bagaimana perasaan itu tumbuh, serta sejauh apa perasaan itu dapat bertahan lama, itu tak mungkin terjawab. Bagaimana bisa saya menjawabnya sementara perasaan itu takkan dapat terurai lewat logika-logika sederhana. Perasaanku padanya murni tanpa timbang fikiran. Cinta yang suci membathin, tidak di fikiran.
...........
Ketiga kalinya, ini yang terakhir, jika saya ditolak maka habislah hubungan kami. Tak mungkin saya menempuh jalan keempat. Mereka pasti tahu bahwa jalan keempat bukan lagi perulangan tapi kebodohan. Tidak ada perulangan dalam rumusan siri’, karena itulah siri’ selalu diletakkan dalam hal-hal yang krusial. Lantaran itu, jangan berani-berani jika tidak mampu menanggung resikonya.
Pagi baru saja melihat, sinar surya mengalir lembut dari Bawakaraeng hingga Lompobattang. Jalanan masih belum ramai. Sebelum ke menemui bapak ibunya, saya mengajaknya bertemu lebih dahulu. Mengutas kata sepakat untuk datang yang ketiga kali ke rumahnya. Akan kutegaskan bahwa ini yang terakhir, jika kedua orang tuanya tak menerima lamaran ini maka takkan ada kedatangan yang keempat.
Semua resiko telah kufikirkan matang-matang, juga dengan rentetan kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Dua hal yang kusampaikan padanya. Pertama, jika saya diterima maka kami kan menikah secepatnya, waktu yang paling baik di bulan shafar, bulan depan. Di bulan itu, padi-padi di kampung telah habis dipanen. Hasilnya akan dijadikan sebagai seserahan, atau uang belanja. Kedua, jika saya ditolak maka ia harus bersedia lari denganku. Menjadi pengantin yang menikah tanpa restu dari ayah dan ibunya. Tentu ini pilihan yang sulit, tapi fikirlah baik-baik.
Setelah semua tumpas kusampaikan padanya, hilanglah segala bebanku, yang tersisa tinggal datang ke rumahnya, bertemu ayah-ibunya.
Waktu yang paling tepat untuk datang ke rumahnya adalah sore hari, setelah ashar, selepas jam kantor, saat itu ayah-ibunya baru ada di rumahnya setelah seharian penuh berjibaku dengan urusan kantor masing-masing.
Jejak ingatan dari kedatanganku ke rumahnya masih lekat di ingatan. Masih ngiang di telinga kata-kata ayahnya waktu itu, bahwa langit dan bumi tak mungkin disatukan. Gunung dan lautan takkan dapat menemukan ruang pertemuan di dunia ini. Kata-kata itu terus menggema di fikiranku, menabrak-nabrak hati dan perasaanku. Sakit sekali, menyayat dada. Tapi saya tidak peduli.
Di ruang tamu ini, kedua orang tuanya menemuiku. Tak banyak kata-kata yang kusampaikan karena saya yakin mereka telah menangkap maksud kedatanganku ini. Hanya saja kami tetap butuh basa-basi. Kutanyakan perihal kesehatan dan keadaan mereka berdua. Saya tahu itu basa-basi karena jelas terlihat mereka sehat bugar tapi masih tetap kutanyakan pada keduanya. Mereka pun pasti tahu, itu hanya basa-basi.
Keduanya menyambutku hangat, menawariku kopi serta beberapa sajian di atas meja. Gemericik air dari teras rumah nyaring merambat ke dalam rumah. Ada spasi kesunyian diantara kami. Satu fase diam yang sengaja kami buat bertiga. Mereka menunggu pembicaraan itu dimulai oleh saya lebih dahulu. Saya tahu itu. Tapi saya juga butuh waktu, mengambil nafas, mencari-cari kata pembuka karena saya percaya bahwa kata pembuka menentukan segala kata-kata yang akan keluar selnjutnya.
Menegangkan, jeda ini membuka jarak yang semakin menganga diantara kami. Ada diam yang pelan-pelan datang mengisinya, mengepul menjadi ketakutan yang menyesakkan. Saya tahu ini beresiko, wajah ayahnya seperti macan yang sudah siap menerkam. Jika saya salah menguraikan kata-kata akan tamat riwatku jadi tulang belulang.
“Pak, bu... ini kedatangan saya yang ketiga, bapak mungkin sudah tahu maksud dari kedatangan ini. Saya hanya hendak mengulang tujuan dari kedatangan saya sebelumnya, ingin melamar anak dari bapak-ibu”.
Suasana menjadi tegang. Degup jantungku menggila. Fikiranku melompat kesana kemari menangkap jawaban yang akan disampaikan oleh bapaknya. Andai bisa lari saya akan lari. Saya takut yang keluar justru jawaban penolakan.
Orang tua ini terlalu lama berfikir. Diam merenungi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepan. Segompok ketakutan sedang mengisi kepalanya. Ia takut melepas anaknya ke padaku atau malah sedang menyusun bahasa penolakan yang paling halus untukku.
Jeda ini terlalu lama. Saya tak tahu lagi harus bagaimana selain diam mengikuti ritme fikirannya. Baru kali ini kurasakan waktu melambat semakin pelan. Terus melambat ke titik henti. Nyaris sebentar lagi berhenti. Jika tak ada satupun kata-kata yang keluar dari mulut bapak ini maka saya kan tenggelam di sini. Dalam perlambatan waktu. Dalam diam yang tak memberi jawaban apa-apa.
“Yah, terima kasih banyak nak. Tanpa kau sampaikan saya sudah tahu maksud dari kedatangan ini. Saya telah melihat kesungguhanmu selama ini. Panggillah keluargamu kesini tuk berbicara dengan kami, berdiskusi tuk menemukan kata sepakat”.
Seketika ada yang meledak di dadaku mendengar jawaban itu. Suara-suara yang sejak tadi bisu di dalam sana tiba-tiba berteriak. Mengangkat tangan dan menyebut kata “merdeka”. Ingin rasanya segera keluar melompat-lompat berteriak bahagia. Ayahnya menerimaku. Aku harus kembali ke kampung, menyampaikan kabar baik ini, segera.
Tidak banyak pembicaraan setelah itu. Saya pun tidak tahu akan berbicara apa selain meredam luapan kebahagiaan yang sejak tadi ingin keluar. Tak mungkin kubebaskan sekarang ini, di tempat ini, di hadapan kedua orang tuanya. Itu terlalu naif, beresiko, terlihat emosional, dan tidak dewasa. Bertingkah kekanak-kanakan beresiko besar bagi laki-laki bugis, bisa mengurangi kewibawaan.
Tapi perasaan bahagia itu sudah meluap-luap ingin keluar, sedikit lagi tumpah. Jika saya tidak berpamitan sekarang maka pasti akan tumpah di hadapan mereka. Sudah saatnya saya pamit. Menjabati tangan ayah-ibunya sembari menyampaikan pada keduanya bahwa dalam jangka waktu dekat ini keluargaku akan datang bersama rombongan pabbicara doe’.
Keluarlah saya dengan rasa senang yang luar biasa dari rumahnya. Tumpah segala kebahagian itu dari dadaku dalam rupa air mata haru. Perempuan yang saya cintai sedikit lagi akan menjadi istriku.
..............
Rombongan pabbicara doe’ telah menunaikan tugas. Menumpaskan dialog pertemuan dengan pihak keluarga perempuan. Sudah saatnya mereka pulang.
Bukan hanya bicara soal uang belanja tapi mereka juga bicara hari baik pesta pernikahan kami nanti. Mereka berembuk menghitung kadar kebaikan dari masing-masing hari. Bukan berarti semua hari itu tidak sama tapi mereka meyakini bahwa ada hari-hari tentu dan waktu-waktu tertentu dimana kejadian-kejadian buruk terjadi di masa silam, itulah yang harus dihindari. Mereka takut hal yang sama terjadi pada kami berdua di masa kelak.
Sebagaimana mereka datang, begitupun mereka pulang. Tidak ada yang kurang sedikitpun. Hanya sepasang ayam yang menjadi simboleng (simbol) pertemuan, betinanya mati di perjalanan. Mungkin terpapar asap mobil yang menyengat.
....................
Sebentar lagi kami kan sampai di hari pernikahan kami. Segala kebutuhan pernikahan telah tunai dikirimkan pada pihak keluarga perempuan. Urusan lainnya sisa urusan-urusan teknis yang hanya diurus oleh pihak perempuan. Tanpa mengurangi intensi komunikasi, saya tahu ia sangat sibuk, menjadi pemain tunggal yang mempersiapkan pesta pernikahan ini. Adiknya tak ada di rumah, bapak ibunya pun sibuk, tidak ada yang dapat diandalkan membantu. Saya juga kasihan, oleh karena itu kutawarkan tuk menemani sesekali.
Di satu kesempatan ia tumpahkan segala cerita-ceritanya, termasuk angan-angannya di hari pernikahan kami kelak. Ia bilang akan mengenakan baju bodo berwana hijau. Bertudung hitam dengan manik-manik emas menghiasi sekujur tubuhnya. Sanggulnya cukup yang biasa saja karena ia kan mengenakan kerudung. Katanya, tidak serasi bersanggul besar jika memakai kerudung. Sementara warna dekorasi pelaminan kami didominasi oleh warna ungu.
Dapat kubayangkan, ia kan terlihat cantik di pesta pernikahan itu.
Dua minggu lagi. Kurang sedikit. Undangan pun telah habis teredar. Ia terlalu sibuk mengurusi semuanya. Tidak banyak pertemuan yang melibatkan kami. Hanya hari ini, itupun kebetulan saja. sebentar siang kami bersepakat kan sama-sama ke tukang jahit. Katanya tukang jahit andalannya ada di kota.
Tidak banyak sanggahan dari saya. Patuh pada keputusan perempuan dalam hal-hal seperti ini bukan hanya bijaksana tapi juga menyelamatkan diri dari kerunyaman mulut dan perasaannya. Padahal, ada banyak tukang jahit di kampungnya dan kampungku. Jika saja ia berfikir simpel maka tidak perlu sama-sama, hanya cukup bersepakat dengan kriteria-kriteria tertentu kemudian kita menjahit di tempat masing-masing.
Saya tahu bahwa urusan kecantikan selalu jadi titik penting bagi perempuan. Seolah keserasian mempengaruhi kesopanan, suasana bathin, bahkan suasana pesta. Memang sulit membenarkan teorema itu tapi saya sarankan untuk jangan membantahnya, jika ingin semuanya baik-baik saja. Bersepakat saja, turuti maunya sekalipun berat, jika tidak maka kemarahannya akan meluber ke urusan-urusan lainnya.
Untung saja ia memilih kota, bukan di tempat lain. Jarak dari kampungku ke kampungnya ditengahi oleh kota sehingga kota menjadi tempat pertemuan yang paling impas diantara kami.
Tidak banyak yang kami lakukan di kota. Hanya ke tukang jahit, berjalan-jalan sebentar, kemudian rehat sejenak sambil bercerita di salah satu kafe. Entah kenapa hari ini ia terlalu cerewet. Ia nampak cantik dengan letupan-letupan tawanya. Sesekali lirikannya menggodaku. Yaa Tuhan.. andai saja waktu bisa saya kendalikan maka akad nikah akan saya percepat hari ini.
Nampaknya ia Ingin mengerjaiku. Tapi itu tak mempan, perempuan terlalu tidak pandai berpura-pura dengan kecerewetannya. Kecuali dengan tangisan mungkin saya akan lebih percaya.
Sudah setengah lima sore. Jingga senja sebentar lagi memeluk langit. Ia sudah harus pulang, juga saya. Kamipun terpisah di tengah jalan, ke arah rumah masing-masing. Ia melaju ke arah selatan dan saya mengambil arah utara. Lantaran cinta tidak dapat mengeja kata-kata tentang perpisahan maka kami memilih tuk menepikan permisi. Berlalu begitu saja sambil menautkan rindu pada jarak yang semakin menjauh.
Malam telah sampai bersama diriku di peratian rumah. Saya tak perlu mengabari bahwa telah sampai, begitupun dia, pasti telah sampai di rumahnya sejak tadi. Saya harus tidur, mendiamkan sejenak isi kepala. Di luar kamar Indo’ dan ambo’ sementara membincang undangan yang belum sampai ke orangnya masing-masing. Diskusi mereka mengantar kedua mataku lelap di dalam sini.
Pagi masih ringkih, kabut masih menutupi bumi. Dingin menusuk. Tidak tahu mengerti bahwa saya sedang memimpikannya. Mengenakan pakaian pengantin. Persis seperti yang ia ceritakan padaku tempo hari. Tentang baju pengantin warna hijau.
Di pinggir jalan, dari jendela kamar terlihat daun-daun masih basah. Siluet pagi mendesar di sela-sela ranting pohon cemara. Seseorang tiba-tiba singgah di mulut pagar, berlari sekonyong-konyong ke halaman rumah kemudian berbincang dengan indo’. Orang itu tidak asing bagiku, saya pernah melihatnya, tapi saya lupa dimana. Wajah indo’ tiba-tiba menegang mendengar cerita orang itu. Indo’ tiba-tiba menangis, yah menangis. Seperti ada yang meledak di dadanya. Pecah berantakan. Kemudian buuuggghhh, ia pingsan.
Saya kenal orang itu, tapi sekarang ia dimana ?. Ia pergi tanpa pamit. Tidak tahu kemana perginya.
Kupeluk indo’ erat-erat agar ia segera sadar dari pingsannya. Ambo’ pun membantu dengan berbisik ke telinganya. Saya tidak tahu apa yang ia bisikkan, semacam mantra atau do’a-do’a. Tidak lama Indo’ bangkit dari pingsan kemudian memelukku dan menyampaikan bahwa Meirah meninggal dunia, tewas dari kecelakaan beruntun. Kemarin malam, antara maghrib-isya, dalam perjalanan dari kota ke rumahnya.
Ada denyut yang meledak. Tumpah, sebagai air mata. Terguncang keras oleh kabar kematian itu. Sesak. Mati rasa. Terasa kosong. Begitu cepat.
Ia sekarang pergi, meninggalkanku sendirian tanpa mengucap pamit, melayang sebagai kabut asap yang terbang ke langit luas. Perasaan ini melampaui biasanya. Kesedihan itu semakin membathin. Mengenang baju pengantin hijau, Ayam betina yang mati di tengah jalan, juga peristiwa sebelum-sebelumnya yang genang di fikiran sebagai kenangan.
Dua kali saya datang, dua kali pula saya ditolak. Sebetulnya, bukan ditolak tapi belum diterima. Sekali lagi saya datang, jika masih ditolak, pupus sudah harapanku. Kata orang, kedatangan pertama adalah keberanian, kedatangan kedua kesungguhan, dan ketiga adalah kenekatan. Kenekatan berarti percobaan pada hal-hal yang dianggap mustahil.
Tidak ada ruang bagi kedatangan keempat. Menempuh jalur itu hanya kebodohan. Dan hanya orang-orang bodohlah yang tak punya rasa malu. Mungkin punya tapi hanya malu pada dirinya sendiri. Bagi orang-orang makassar tidak punya malu berarti tidak punya harga diri. Tidak punya harga diri berarti tidak layak lagi mendapatkan penghargaan dari orang lain. Itu disebut siri’.
Jalan yang saya tempuh ini adalah jalan siri’. Jalan yang melampaui kenekatan. Saya tahu posisiku, juga posisinya. Posisi keluargaku dengan keluarganya. Seperti langit dan bumi. Seperti laut dan gunung. Dia dari kalangan priyayi dan saya hanya orang kampung yang tak punya perasalan masa lalu. Tapi urusan ini bukan urusan perasalan tapi soal perasaan.
Perasaan tak mengenali perasalan, apalagi materi. Tapi entah bagaimana pertalian antara keduanya, perasalan selalu bertanya soal-soal perasaan, padahal semua orang tahu pada hal-hal yang tidak mungkin ditemukan dari perasaan. Saya, bahkan semua orang pun takkan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hanya dapat dirasa oleh perasaan.
Dua kali saya datang ke rumahnya, dua kali pula saya dicecari dengan pertanyaan-pertanyaan soal perasaanku padanya. Saya bisa saja menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan itu tapi hanya bisa dengan kata iya, lebih dari itu berarti berlebihan dan mendekati kebohongan.
Pertanyaan-pertanyaan tentang darimana asal perasaan cinta itu, bagaimana perasaan itu tumbuh, serta sejauh apa perasaan itu dapat bertahan lama, itu tak mungkin terjawab. Bagaimana bisa saya menjawabnya sementara perasaan itu takkan dapat terurai lewat logika-logika sederhana. Perasaanku padanya murni tanpa timbang fikiran. Cinta yang suci membathin, tidak di fikiran.
...........
Ketiga kalinya, ini yang terakhir, jika saya ditolak maka habislah hubungan kami. Tak mungkin saya menempuh jalan keempat. Mereka pasti tahu bahwa jalan keempat bukan lagi perulangan tapi kebodohan. Tidak ada perulangan dalam rumusan siri’, karena itulah siri’ selalu diletakkan dalam hal-hal yang krusial. Lantaran itu, jangan berani-berani jika tidak mampu menanggung resikonya.
Pagi baru saja melihat, sinar surya mengalir lembut dari Bawakaraeng hingga Lompobattang. Jalanan masih belum ramai. Sebelum ke menemui bapak ibunya, saya mengajaknya bertemu lebih dahulu. Mengutas kata sepakat untuk datang yang ketiga kali ke rumahnya. Akan kutegaskan bahwa ini yang terakhir, jika kedua orang tuanya tak menerima lamaran ini maka takkan ada kedatangan yang keempat.
Semua resiko telah kufikirkan matang-matang, juga dengan rentetan kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Dua hal yang kusampaikan padanya. Pertama, jika saya diterima maka kami kan menikah secepatnya, waktu yang paling baik di bulan shafar, bulan depan. Di bulan itu, padi-padi di kampung telah habis dipanen. Hasilnya akan dijadikan sebagai seserahan, atau uang belanja. Kedua, jika saya ditolak maka ia harus bersedia lari denganku. Menjadi pengantin yang menikah tanpa restu dari ayah dan ibunya. Tentu ini pilihan yang sulit, tapi fikirlah baik-baik.
Setelah semua tumpas kusampaikan padanya, hilanglah segala bebanku, yang tersisa tinggal datang ke rumahnya, bertemu ayah-ibunya.
Waktu yang paling tepat untuk datang ke rumahnya adalah sore hari, setelah ashar, selepas jam kantor, saat itu ayah-ibunya baru ada di rumahnya setelah seharian penuh berjibaku dengan urusan kantor masing-masing.
Jejak ingatan dari kedatanganku ke rumahnya masih lekat di ingatan. Masih ngiang di telinga kata-kata ayahnya waktu itu, bahwa langit dan bumi tak mungkin disatukan. Gunung dan lautan takkan dapat menemukan ruang pertemuan di dunia ini. Kata-kata itu terus menggema di fikiranku, menabrak-nabrak hati dan perasaanku. Sakit sekali, menyayat dada. Tapi saya tidak peduli.
Di ruang tamu ini, kedua orang tuanya menemuiku. Tak banyak kata-kata yang kusampaikan karena saya yakin mereka telah menangkap maksud kedatanganku ini. Hanya saja kami tetap butuh basa-basi. Kutanyakan perihal kesehatan dan keadaan mereka berdua. Saya tahu itu basa-basi karena jelas terlihat mereka sehat bugar tapi masih tetap kutanyakan pada keduanya. Mereka pun pasti tahu, itu hanya basa-basi.
Keduanya menyambutku hangat, menawariku kopi serta beberapa sajian di atas meja. Gemericik air dari teras rumah nyaring merambat ke dalam rumah. Ada spasi kesunyian diantara kami. Satu fase diam yang sengaja kami buat bertiga. Mereka menunggu pembicaraan itu dimulai oleh saya lebih dahulu. Saya tahu itu. Tapi saya juga butuh waktu, mengambil nafas, mencari-cari kata pembuka karena saya percaya bahwa kata pembuka menentukan segala kata-kata yang akan keluar selnjutnya.
Menegangkan, jeda ini membuka jarak yang semakin menganga diantara kami. Ada diam yang pelan-pelan datang mengisinya, mengepul menjadi ketakutan yang menyesakkan. Saya tahu ini beresiko, wajah ayahnya seperti macan yang sudah siap menerkam. Jika saya salah menguraikan kata-kata akan tamat riwatku jadi tulang belulang.
“Pak, bu... ini kedatangan saya yang ketiga, bapak mungkin sudah tahu maksud dari kedatangan ini. Saya hanya hendak mengulang tujuan dari kedatangan saya sebelumnya, ingin melamar anak dari bapak-ibu”.
Suasana menjadi tegang. Degup jantungku menggila. Fikiranku melompat kesana kemari menangkap jawaban yang akan disampaikan oleh bapaknya. Andai bisa lari saya akan lari. Saya takut yang keluar justru jawaban penolakan.
Orang tua ini terlalu lama berfikir. Diam merenungi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepan. Segompok ketakutan sedang mengisi kepalanya. Ia takut melepas anaknya ke padaku atau malah sedang menyusun bahasa penolakan yang paling halus untukku.
Jeda ini terlalu lama. Saya tak tahu lagi harus bagaimana selain diam mengikuti ritme fikirannya. Baru kali ini kurasakan waktu melambat semakin pelan. Terus melambat ke titik henti. Nyaris sebentar lagi berhenti. Jika tak ada satupun kata-kata yang keluar dari mulut bapak ini maka saya kan tenggelam di sini. Dalam perlambatan waktu. Dalam diam yang tak memberi jawaban apa-apa.
“Yah, terima kasih banyak nak. Tanpa kau sampaikan saya sudah tahu maksud dari kedatangan ini. Saya telah melihat kesungguhanmu selama ini. Panggillah keluargamu kesini tuk berbicara dengan kami, berdiskusi tuk menemukan kata sepakat”.
Seketika ada yang meledak di dadaku mendengar jawaban itu. Suara-suara yang sejak tadi bisu di dalam sana tiba-tiba berteriak. Mengangkat tangan dan menyebut kata “merdeka”. Ingin rasanya segera keluar melompat-lompat berteriak bahagia. Ayahnya menerimaku. Aku harus kembali ke kampung, menyampaikan kabar baik ini, segera.
Tidak banyak pembicaraan setelah itu. Saya pun tidak tahu akan berbicara apa selain meredam luapan kebahagiaan yang sejak tadi ingin keluar. Tak mungkin kubebaskan sekarang ini, di tempat ini, di hadapan kedua orang tuanya. Itu terlalu naif, beresiko, terlihat emosional, dan tidak dewasa. Bertingkah kekanak-kanakan beresiko besar bagi laki-laki bugis, bisa mengurangi kewibawaan.
Tapi perasaan bahagia itu sudah meluap-luap ingin keluar, sedikit lagi tumpah. Jika saya tidak berpamitan sekarang maka pasti akan tumpah di hadapan mereka. Sudah saatnya saya pamit. Menjabati tangan ayah-ibunya sembari menyampaikan pada keduanya bahwa dalam jangka waktu dekat ini keluargaku akan datang bersama rombongan pabbicara doe’.
Keluarlah saya dengan rasa senang yang luar biasa dari rumahnya. Tumpah segala kebahagian itu dari dadaku dalam rupa air mata haru. Perempuan yang saya cintai sedikit lagi akan menjadi istriku.
..............
Rombongan pabbicara doe’ telah menunaikan tugas. Menumpaskan dialog pertemuan dengan pihak keluarga perempuan. Sudah saatnya mereka pulang.
Bukan hanya bicara soal uang belanja tapi mereka juga bicara hari baik pesta pernikahan kami nanti. Mereka berembuk menghitung kadar kebaikan dari masing-masing hari. Bukan berarti semua hari itu tidak sama tapi mereka meyakini bahwa ada hari-hari tentu dan waktu-waktu tertentu dimana kejadian-kejadian buruk terjadi di masa silam, itulah yang harus dihindari. Mereka takut hal yang sama terjadi pada kami berdua di masa kelak.
Sebagaimana mereka datang, begitupun mereka pulang. Tidak ada yang kurang sedikitpun. Hanya sepasang ayam yang menjadi simboleng (simbol) pertemuan, betinanya mati di perjalanan. Mungkin terpapar asap mobil yang menyengat.
....................
Sebentar lagi kami kan sampai di hari pernikahan kami. Segala kebutuhan pernikahan telah tunai dikirimkan pada pihak keluarga perempuan. Urusan lainnya sisa urusan-urusan teknis yang hanya diurus oleh pihak perempuan. Tanpa mengurangi intensi komunikasi, saya tahu ia sangat sibuk, menjadi pemain tunggal yang mempersiapkan pesta pernikahan ini. Adiknya tak ada di rumah, bapak ibunya pun sibuk, tidak ada yang dapat diandalkan membantu. Saya juga kasihan, oleh karena itu kutawarkan tuk menemani sesekali.
Di satu kesempatan ia tumpahkan segala cerita-ceritanya, termasuk angan-angannya di hari pernikahan kami kelak. Ia bilang akan mengenakan baju bodo berwana hijau. Bertudung hitam dengan manik-manik emas menghiasi sekujur tubuhnya. Sanggulnya cukup yang biasa saja karena ia kan mengenakan kerudung. Katanya, tidak serasi bersanggul besar jika memakai kerudung. Sementara warna dekorasi pelaminan kami didominasi oleh warna ungu.
Dapat kubayangkan, ia kan terlihat cantik di pesta pernikahan itu.
Dua minggu lagi. Kurang sedikit. Undangan pun telah habis teredar. Ia terlalu sibuk mengurusi semuanya. Tidak banyak pertemuan yang melibatkan kami. Hanya hari ini, itupun kebetulan saja. sebentar siang kami bersepakat kan sama-sama ke tukang jahit. Katanya tukang jahit andalannya ada di kota.
Tidak banyak sanggahan dari saya. Patuh pada keputusan perempuan dalam hal-hal seperti ini bukan hanya bijaksana tapi juga menyelamatkan diri dari kerunyaman mulut dan perasaannya. Padahal, ada banyak tukang jahit di kampungnya dan kampungku. Jika saja ia berfikir simpel maka tidak perlu sama-sama, hanya cukup bersepakat dengan kriteria-kriteria tertentu kemudian kita menjahit di tempat masing-masing.
Saya tahu bahwa urusan kecantikan selalu jadi titik penting bagi perempuan. Seolah keserasian mempengaruhi kesopanan, suasana bathin, bahkan suasana pesta. Memang sulit membenarkan teorema itu tapi saya sarankan untuk jangan membantahnya, jika ingin semuanya baik-baik saja. Bersepakat saja, turuti maunya sekalipun berat, jika tidak maka kemarahannya akan meluber ke urusan-urusan lainnya.
Untung saja ia memilih kota, bukan di tempat lain. Jarak dari kampungku ke kampungnya ditengahi oleh kota sehingga kota menjadi tempat pertemuan yang paling impas diantara kami.
Tidak banyak yang kami lakukan di kota. Hanya ke tukang jahit, berjalan-jalan sebentar, kemudian rehat sejenak sambil bercerita di salah satu kafe. Entah kenapa hari ini ia terlalu cerewet. Ia nampak cantik dengan letupan-letupan tawanya. Sesekali lirikannya menggodaku. Yaa Tuhan.. andai saja waktu bisa saya kendalikan maka akad nikah akan saya percepat hari ini.
Nampaknya ia Ingin mengerjaiku. Tapi itu tak mempan, perempuan terlalu tidak pandai berpura-pura dengan kecerewetannya. Kecuali dengan tangisan mungkin saya akan lebih percaya.
Sudah setengah lima sore. Jingga senja sebentar lagi memeluk langit. Ia sudah harus pulang, juga saya. Kamipun terpisah di tengah jalan, ke arah rumah masing-masing. Ia melaju ke arah selatan dan saya mengambil arah utara. Lantaran cinta tidak dapat mengeja kata-kata tentang perpisahan maka kami memilih tuk menepikan permisi. Berlalu begitu saja sambil menautkan rindu pada jarak yang semakin menjauh.
Malam telah sampai bersama diriku di peratian rumah. Saya tak perlu mengabari bahwa telah sampai, begitupun dia, pasti telah sampai di rumahnya sejak tadi. Saya harus tidur, mendiamkan sejenak isi kepala. Di luar kamar Indo’ dan ambo’ sementara membincang undangan yang belum sampai ke orangnya masing-masing. Diskusi mereka mengantar kedua mataku lelap di dalam sini.
Pagi masih ringkih, kabut masih menutupi bumi. Dingin menusuk. Tidak tahu mengerti bahwa saya sedang memimpikannya. Mengenakan pakaian pengantin. Persis seperti yang ia ceritakan padaku tempo hari. Tentang baju pengantin warna hijau.
Di pinggir jalan, dari jendela kamar terlihat daun-daun masih basah. Siluet pagi mendesar di sela-sela ranting pohon cemara. Seseorang tiba-tiba singgah di mulut pagar, berlari sekonyong-konyong ke halaman rumah kemudian berbincang dengan indo’. Orang itu tidak asing bagiku, saya pernah melihatnya, tapi saya lupa dimana. Wajah indo’ tiba-tiba menegang mendengar cerita orang itu. Indo’ tiba-tiba menangis, yah menangis. Seperti ada yang meledak di dadanya. Pecah berantakan. Kemudian buuuggghhh, ia pingsan.
Saya kenal orang itu, tapi sekarang ia dimana ?. Ia pergi tanpa pamit. Tidak tahu kemana perginya.
Kupeluk indo’ erat-erat agar ia segera sadar dari pingsannya. Ambo’ pun membantu dengan berbisik ke telinganya. Saya tidak tahu apa yang ia bisikkan, semacam mantra atau do’a-do’a. Tidak lama Indo’ bangkit dari pingsan kemudian memelukku dan menyampaikan bahwa Meirah meninggal dunia, tewas dari kecelakaan beruntun. Kemarin malam, antara maghrib-isya, dalam perjalanan dari kota ke rumahnya.
Ada denyut yang meledak. Tumpah, sebagai air mata. Terguncang keras oleh kabar kematian itu. Sesak. Mati rasa. Terasa kosong. Begitu cepat.
Ia sekarang pergi, meninggalkanku sendirian tanpa mengucap pamit, melayang sebagai kabut asap yang terbang ke langit luas. Perasaan ini melampaui biasanya. Kesedihan itu semakin membathin. Mengenang baju pengantin hijau, Ayam betina yang mati di tengah jalan, juga peristiwa sebelum-sebelumnya yang genang di fikiran sebagai kenangan.
IHR
Takalar, 17/10/2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar