Banyak pertanyaan muncul dari warna-warna senja yang tumpah kali ini. Diantaranya, apakah kau masih tetap sama sebagai orang yang ku kenal dulu..?.
Tapi benarkah hidup hanya sebuah peristiwa yang berulang ?, tiap-tiap waktu melompat dari satu titik ke titik yang lain hingga kembali lagi pada titik semula, lalu terus berulang, kembali lagi, dan terus begitu hingga perulangan itu tak bisa lagi terhitung jumlahnya.
Mungkin seperti itulah kita, menjadi reaksi dari perulangan yang tiada henti atau justru sebagai korban ?, Pertanyaan itu akan terus berulang hingga kita berhenti menyadari betapa salahnya keadaan ini. Tapi bukankah kita sendiri yang memilihnya, kita pulalah yang menanggungnya, apapun resikonya, apapun kehendak waktu di masa yang akan datang ?.
Kemudian kita kembali terjebak di lubang waktu yang gelap dan tak bercahaya, di dalam sana hanya ada kau dan aku, memerangi keadaan, melawan kebekuan yang menyesakkan. Sesekali kita menyesal, mengutuk takdir atas keadaan yang menimpa kita berdua dan saling bertanya satu sama lain apakah kita kan terus begini ?.
Senja?, iya itu senja, aku bilang bgitu tapi kau menimpali dan kukuh mengatakan bahwa itu bukan senja tapi hanya batas waktu antara sore dan malam. Ketika kau katakan itu wajahmu memerah semerah senja yang sedang kita perdebatkan. Memang kita tak pernah bersepakat dalam urusan yang satu ini. Aku mengagumi senja dan kau hanya memahaminya sebagai peristiwa yang terus berulang.
Lalu kali ini di bagian manakah dari pecahan takdir yang akan kita jadikan sebagai tempat menetap ?, ataukah kita akan terus pasrah dan kembali membuka ruang pada perulangan ?, padahal kita seharusnya telah belajar dari peristiwa-peristiwa yang pernah kita alami sebelumnya. Tidak mungkin kali ini kita hanya pasrah pada keadaan ini karena kita telah piawai melepaskan diri dari kegelapan waktu.
Ataukah mungkin hanya aku yang merasa takut sendirian ?, karena kau sudah punya cara tuk pergi atau kau sudah tahu dimana letak pintu keluar dari masalah ini. Disana letak perbedaan kita, aku tak pandai memahami keadaan dan kau pandai memprediksi segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Kau punya segalanya untuk pergi, bahkan kau sanggup mencurangi keadaan ini.
Entahlah, mungkin itu hanya firasatku saja tapi kau memang pembelajar yang baik. Dari dulu kau pandai berhitung, menghitung-menghitung banyak hal dari hubungan kita. Memprediksi banyak peluang dari masa depan kita yang tak tentu arah. Masih kuingat, empat tahun lalu, tepat di hadapanku, kau mengurai hitungan matematis hubungan kita saat kau ku ajak menapaki tempat yang jauh lebih tinggi dari hubungan kita saat itu tapi kau menolaknya, mengelak dan mengatakan bahwa rumus terbaik dari sebuah perpindahan adalah ketepatan bukan kecepatan apalagi percepatan. Lalu sekarang, kira-kira kau kan menggunakan rumus apalagi ?.
Iya, memang betul bahwa waktu tak dapat dipercepat, takdir pun seprti itu. Tapi maaf, kau ternyata lupa bahwa waktu dan takdir tak bisa memberimu aba-aba atau sedikitpun isyarat bahwa itulah saat yang tepat untuk mengambil tindakan dan keputusan, apalagi memberimu kepastian bahwa di titik itulah saat yang tepat untuk melakukan apa yang seharusnya kau kehendaki. Kau lupa bahwa waktu dan takdir selalu bisu dalam urusan apa saja. Kita lah yang harus membuat momentum, bukan waktu ataupun takdir, apalagi kita berlaku pasrah pada keduanya. Jadi bagaimana ?, apakah kau kan ikut bisu kali ini ?, seperti senja yang juga datang dan pergi dengan kebisuan.
Senja itu juga bisu, kataku. Kau hanya diam tak bicara apa-apa. Kau terus sibuk dengan hitunganmu, pada tiap-tiap perulangan yang di dalamnya terserak kenangan. Pecahan-pecahan masa lalu yang berserakan dan kau susun di kepalamu terus kau hitung jumlahnya sehingga membuatmu lupa bahwa kau sedang hidup hari ini. Kau terus berhitung, apakah kau lupa bahwa apa yang terjadi hari ini akan menjadi pecahan takdir di masa yang akan datang !?.
*******
Aku mengerti dengan segala kemarahanmu padaku, sore itu, di bawah sinar langit merah-jingga yang kau sebut itu senja, kau mengajakku menikah tapi aku menimpali dengan banyak kata-kata dan ribuan pertanyaan, dan kau merasa jengah dengan segala tingkahku, kita terus berdebat hingga malam tiba, lalu kau tiba-tiba diam sekian menit lamanya, menghela nafas panjang kemudian pergi. Sejak saat itu kau tak pernah kembali lagi padaku.
Bagimu kecerewatanku saat itu adalah api yang sengaja aku sulut dan membuatmu terbakar, hubungan kita pun ikut terbakar, segalanya terbakar, bahkan lembaran-lembaran kenangan kita ikut terbakar, dan kau terus mengutukku bahwa itu salahku. Sejak saat itu kau tak pernah kembali walau sekedar untuk memadamkannya. Seperti itukah peristiwa perpindahan terakhir yang kau ingin tunjukkan padaku ?, dan kau sebut itu sebagai senja terakhir.
Sampai saat ini kepergianmu saat itu menjadi duri yang terus tumbuh dalam benakku, membuatku terus bertanya-tanya; apa salahku ?, apakah salah seorang perempuan sepertiku mengharapkan penguatan dari seorang laki-laki yang ingin membawaku masuk ke dalam dunianya, menjadi seorang perempuan yang kelak akan hidup dalam kehidupannya yang serba asing bagiku ?, dan apakah salah jika aku bertanya dan terus bertanya padamu ?.
Sejak kejadian itu, 4 tahun lalu, aku terus ditimpa kesakitan yang membathin tapi satu kalipun kau tak pernah menjengukku, apalagi sekedar mengintip keresahanku. Kau tidak pernah punya waktu untuk mendengarkan detak kesepian yang berbunyi nyaring di bathinku. Aku tahu itu, dan aku tahu kamu, aku yakin kau tak pernah menyesaliku sedikitpun. Kau hanya terus menyalahkanku, bahkan dengan ribuan bait-bait senja yang terus kau dengungkan di setiap tulisan-tulisanmu, dan apakah kau tahu bahwa itu semakin menyakitiku ?.
Senja, itu kan katamu !?, peristiwa alam yang kau sebut penuh kejujuran dan kesabaran itu ?, yang kau katakan bahwa senja tak pernah berulang tapi hanya berganti dari hari ke hari. Nyatanya, kau tak begitu sabar memberiku maaf bahkan tuk sekedar menungguku meminta maaf. Kau terus memahami itu sebagai sebuah penolakan. Parahnya, dengan lantang kau katakan bahwa aku hanyalah sebagai seorang matematikawan sejati dalam hubungan ini, yang hanya terus menghitung-hitung segala apapun yang ada diantara kita. Tapi, apakah salah jika seorang perempuan sepertiku menyukai perhitungan dan memilih tenggelam di dalamnya ?.
Apa katamu !?, kenangan tidak bisa dihitung ?, maaf kamu salah, justru kenangan jauh lebih mudah terhitung ketimbang masa depan bersamamu. Kau tidak pernah tahu bagaimana masa lalu dapat memprediksi masa depan. Dan aku merasa segala hitungan perasaan yang pernah aku hitung darimu tidak pernah meleset sedikitpun. Dan apakah kau kira bahwa kecurangan yang kau lakukan dengan menikahi wanita lain tidak pernah masuk dalam hitunganku ?, maaf, kamu salah. Sejak awal mengenalmu aku sudah memperhitungkannya.
Kau bilang aku curang karena aku hanya membuatmu terus menunggu !?, dan aku tak pernah mentolerir percepatan dalam hukum waktu, lagi-lagi kau salah, bahkan saat ini, di tempat yang sama sejak terakhir kali kau pergi di bawah langit merah-jingga ini aku justru terus mencari-cari rumus peluang bagaimana agar waktu berhenti dan mengalami perulangan. Itu memang sulit, dan terdengar mustahil bagimu, bagi seorang laki-laki yang membenci perhitungan. Mungkin kau sudah lupa diskusi kita sore itu, aku katakan bahwa matematika saat ini sudah dapat menghitung kecerdasanmu, apalagi hanya janji-janjimu.
Apa !??, kau menyesal !?, ingin kembali !?. Bukankah kau tak suka dengan segala bentuk perulangan !?, dari sekian lama kesakitan ini aku alami kau tiba-tiba ingin kembali dan menyebut itu bukanlah perulangan !?, bahkan kau kukuh menyebut itu dengan istilahmu sendiri sebagai perbaikan. Parahnya, aku tetap terjerat pada ajakanmu, lalu kita menjalaninya kembali, dan aku kembali tenggelam dalam kegelapan dan ketidakpastian waktu dan takdir. Tapi kali ini aku tidak akan cerewet lagi.. whehehee
Takalar, 24 Januari 2023
Ince Hadiy Rachmat. Diam, Jangan Cerewet, Tunggu Sampai Senja Usai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar