Senin, 21 Oktober 2019

Di Pattallassang, Kehidupan Menjadi Benar-Benar Hidup

Di Pattallassang, sebuah tempat di sisiran pulau Sulawesi, bersemayam orang-orang yang hidup abadi, tapi segalanya dilahirkan dengan kesedihan.

Tidak sama dengan tempat lain di Sulawesi, bahkan di dunia ini. Pattallassang edentik dengan keabadian dan kesedihan. Konon dahulu kala Pattallasang adalah tempat menumbuhkan semua yang bernyawa. Jika ada seorang bayi lahir dan ia sangat diinginkan selamat dari kelahirannya, ibunya sengaja dibawa ke daerah Pattallassang. Bukan hanya bayi atau manusia, binatang hingga benda-benda yang tidak bernyawapun bisa tumbuh abadi di tempat itu. Termasuk kenangan.

Biasanya masyarakat sekitar Pattallassang sengaja mendatangi Pattallassang lebih dahulu jika telah membeli sesuatu yang baru. Motor baru, mobil baru, sepeda baru, bahkan istri baru. Pokoknya semua yang baru-baru harus lebih dahulu dibawa ke Pattallassang. Lebih lengkap lagi jika kesana kemudian membeli sesuatu yang manis-manis, seperti gula atau pisang. Yang jelas Pattallassang adalah tempat bermukimnya segala harapan-harapan manis di tempat itu.

Sayangnya, apapun yang terlahir di Pattallassang selalu dirayakan dengan kesedihan. Jika tidak dengan itu maka apa yang terlahir itu tetap akan lahir tapi akan tumbuh dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Kesedihan harus menjadi mantra kelahiran, tangisan adalah kuncinya. Jika ingin lebih baik maka buatlah seseorang membuatmu sakit hati hingga lupa bahwa kebahagiaan itu adalah hak dari seluruh manusia.

Baiklah, ada yang harus diceritakan pagi ini tentang Pattallassang. Sebuah cerita fiksi yang mungkin terkesan tidak masuk akal. Memang bgitu, semua hal yang fiksi memang cenderung tidak masuk akal tapi bagi seorang penulis fiksi, kenyataan bukanlah apa yang telah dan sedang terjadi tapi kenyataan yang sesungguhnya adalah apa yang telah dituliskannya di dalam cerita. Jadi belajarlah memahami penulis fiksi, percaya saja ceritanya. Jika tidak, maka cukup sampai di praghrap ini saja anda membacanya.

Jadi begini, Pagi ini saya sedang berusaha menuliskan cerita tentang Pattallassang. Sebetulnya saya pun capai setelah semalaman lelah berkelahi dengan kenangan di dalam mimpi, tapi tidak tahu kenapa jari-jariku terus ingin menulis. Jari-jari itu seperti telah kesetanan atau sedang dijangkiti semacam ilmu ghaib dari Pattallassang. Jari-jari itu ingin hidup dan bersemangat menuliskan seluruh cerita-cerita kesedihan di dunia ini.

Sekali lagi saya sampaikan, berhentilah disini jika tidak percaya pada ceritaku. Di sini. Di titik ini .

Jika betul-betul ingin tahu cerita soal pattallassang itu, mari kita melompat ke 8 jam sebelum ini. Di suatu tempat di dalam pattallassang hidup seorang dukun abadi. Konon katanya umurnya telah sampai 200 tahun lebih. Di dalam dunia nyata, tidak ada lagi orang yang bisa hidup hingga usia itu. Tapi di dalam tulisan fiksi ini, saya mendaulatnya masih hidup. Dan bisa jadi ia akan hidup selamanya, tergantung dari saya sebagai penulisnya.

Dukun itu sebetulnya dukun beranak tapi dia pun dukun multitalent, bisa mendukuni banyak hal. Misal, jika ingin dapat sapi cukup bawa ayam merah terbungkus dengan sesuatu yang berwarna putih. Terserah sesuatu itu apa, yang jelas berwarna putih. Seketika, ayam itu akan berubah jadi sapi. Tapi besar kecilnya sapi itu tergantung dari frekuensi dan intensitas tangisan. Jika hanya sekedar ingin sapi maka menangislah sekedarnya saja, tapi jika ingin sapi yang lebih besar dari biasanya maka menangislah lebih khusyu dari biasanya. Itu kuncinya, balasan besar kecil yang akan didapatkan tergantung dari seberapa banyak air mata yang tumpah dari kelopak mata.

Masih soal dukun itu. Suatu maghrib seorang perempuan ingin melahirkan. Sudah pembukaan terakhir. Kata dokter operasi sesar pun tidak bisa menyelamatkan keduanya, anak dan ibu. Jika anak dipaksa terlahir maka ibu yang akan meninggal. Jika ibunya yang harus diselamatkan maka anaknya yang harus mati. Sebetulnya si ibu telah pasrah, dia berani mengorbankan dirinya sendiri asalkan anak itu dapat lahir dengan selamat. 

Orang-orang tidak ada yang sepakat jika hanya anak itu yang selamat. Semua sepakat Ibu-nya lah yang harus selamat. Ini bukan soal pertimbangan untung rugi tapi ini pilihan yang murni hati nurani. Jika hanya sekedar untung rugi maka menurutku lebih baik anak itu saja yang lahir. Toh, ibu itu belum tentu akan bisa memberikan keturunan lagi jika ia hidup. Tapi saya tahu beban perasaan mereka, ibu telah terlanjur hidup di dunia ini, tidak mungkin mengorbankan yang telah lama ada dengan sesuatu yang baru akan datang. Ini soal hati nurani, bukan sekedar logika belaka. Ini soal nyawa seorang ibu, salah satu surga yang diciptakan Tuhan di bumi ini, termasuk salah satu yang lainnya adalah ibumu. Iya, ibumu, kamu, yang sedang membaca tulisan ini.

Ibu itu harus selamat, Tuhan bisa murka jika tak memilih surganya sebagai pilihan. Tapi anak itu juga harus selamat. Siapa sangka jika ia perempuan yang juga akan menjadi surga bagi anak-anaknya kelak. Berarti kedua-duanya harus hidup. Itu jadi kesimpulan. Tapi bagaimana caranya ???.

Saya fikir cerita ini sudah mudah ditebak. Dan kamu pasti sudah tahu arahnya akan kemana.

Iya, betul. Ibu itu harus di bawa ke Pattallassang. Tanah kehidupan yang tak pernah habis diceritakan. Sebuah tempat yang disediakan Tuhan untuk mewujudkan harapan kebahagiaan manusia. Orang-orang itu, termasuk ibu yang sedang melahirkan itu berharap anak itu lahir, menjadi harapan yang kelak akan tumbuh sebagai kebahagiaan.

Di rumah dukun itu, ibu itu menjalani persalinan. Ketubannya telah pecah. Sebantar lagi anaknya akan keluar. Sungguh bahagia perasaan orang-orang itu. Tapi, anak itu tidak keluar-keluar. Si ibu mengerang kesakitan. Seluruh orang di tempat itu sontak meraung-raung sangat keras, bathin mereka tertusuk oleh dugaan kematian anak itu. Mereka menangis dalam ke dalam sanubari, hingga mereka lupa bahwa mustahil orang bisa mati di tanah ini. Semuanya abadi, bahkan kenangan sekalipun itu. 

Anak itu kemudian keluar dengan tangisan menggema ke langit-langit kamar. Ternyata mereka memang lupa bahwa ini adalah Pattallassang. Tanah yang membuat apa saja bisa hidup. Mereka lupa karena fikiran mereka dihantui oleh ketakutan-ketakutan.

Sampai disini, jika kamu ingin berhenti dan merasa tidak asyik membaca cerita fiksi ini maka saya sarankan berhenti membaca sekarang. Karena cerita ini masih belum usai saya ceritakan.

Begitulah mungkin bapaknya memberikan nama pada anak itu dengan nama Meirah, sebagai sebuah kenyataan yang tidak akan pernah mati dan akan terus tumbuh sebagai api kenangan yang tidak pernah padam, juga tidak akan pernah mati. Anak itu telah memberi banyak cerita di masa lampau. Jarak Kenangan menjadi dapat terukur lewat keberadaannya. Semakin dekat dan begitu dekat dalam pelukan, sekalipun dalam rupa dan tubuh yang berbeda.

Sementara istriku, wanita yang kuanggap sebagai teman, saudara, dan sebagai partner rumah tangga tidak pernah bosan-bosannya menyadarkan bathinku bahwa kehidupan ini tidak lebih dari sekedar cerita fiksi. Yang menganggap bahwa kenyataan yang sesungguhnya bagi kehidupan ini ada di atas langit sana, di dalam catatan Takdir Tuhan. Kita hanyalah sekedar lakon yang hanya bisa yakin bahwa kehidupan ini benar-benar kenyataan, tidak di dalam cerita fiksi. Mustahil menangkap kebhatinan Tuhan tapi pun tidak salah jika dunia ini memang hanyalah fiksi. Tuhan penulisnya, Dia yang punya hak otoritas.

Anakku Meirah kini telah lahir. Menjadi harapan yang kokoh di masa yang akan datang. Ia lahir di tanah keabadian ini. Tanah kehidupan. Tanah yang diciptakan Tuhan untuk membalikkan kemustahilan. Semua orang bilang, Pattallassang adalah tanah Tuhan tapi itu terlalu berlebihan. Pattallasang juga adalah tanah yang seperti biasanya karena di pattallassang ini kematian tidak bisa dihidupkan, waktu tidak dapat diputarbalikkan. Apalagi kejadian masa lalu, juga tidak mungkin diulangi kembali. Cuman beruntungnya di tanah ini kelahiran dapat diabadikan. Bahkan kenanganpun bisa abadi di tempat ini. Salah satu contohnya adalah Meirah. 

Pagi ini, saat ia terbangun di samping ibunya yang masih lemas, ia merengek. Seakan-akan ingin terbang melompat ke dalam pelukanku. Sejak semalam saya hanya mengadzaninya. Selebihnya ibunya yang mengapihnya.

Sekarang kenangan telah hidup pada diri Meirah. Abadi sebagai satu kenyataan yang sekalipun hanya dapat diceritakan dalam cerita fiksi saja. Mungkin ia akan lebih giat datang sebagai ingatan lebih dari biasanya. Atau sedikit lebih malas karena ia akan menjadi anak yang lebih mencintai ibunya ketimbang ayahnya. Saya tetap terima. Karena memang sengaja kuabadikan namanya untuk mengekalkannya di hati. Ibunya pun tahu bahwa Meirah adalah nama yang telah sering kuceritakan. Ia tidak peduli cerita itu hanyalah fiksi atau bukan, yang jelas ia tidak keberataan nama itu melekat pada diri anaknya, Meirah.

Pattallassang, 22 Oktober 2019.


IHR, Tulisan ini hanyalah fiksi, bahkan saat kata-kata ini masih saya tuliskan.

Sabtu, 19 Oktober 2019

Di Timur Ada Yang Belum Selesai

“Orang itu orang timur, hati-hati,”. Sahutnya pada temannya sambil menutup hidung. Seakan-akan orang timur itu berpenyakitan dan ‘bau’.

Terlampau sering kata-kata semacam itu saya dengar dimana-mana. Soal bagaimana orang timur dikatai keras dan bodoh oleh orang-orang yang menganggap dirinya orang barat.

Ada yang menyela diri, tersenyum kecut, bahkan tak sedikit merasa ketakutan akan dikasari oleh orang-orang yang berasal dari timur. Tidak banyak yang berperilaku tidak sopan, hanya berlalu begitu saja sebelum menyapa dan memperkenalkan diri. Seakan-akan orang-orang timur itu berasal dari dunia yang berbeda dengannya.

Padahal, soal timur dan barat itu bukan hanya soal arah, bukan juga posisi, bukan juga kedudukan. Hei, dunia ini bulat karena itulah Orang-orang barat bisa jadi orang timur dan orang timur bisa jadi orang barat. Seperti berentet, orang barat bisa jadi orang timur bagi orang yang lebih barat darinya. Orang timur pun begitu, bisa jadi orang barat bagi orang yang sedang berada di bagian yang jauh lebih timur darinya. 

Menemukan kebenaran bahwa siapakah sesungguhnya yang benar-benar berada di bagian barat atau timur itu seperti mencari jarum dalam jerami. Tidak akan mudah didapatkan dan tidak berujung. Orang-orang timur itu juga bisa jadi jauh lebih barat dari orang-orang barat. Hingga orang-orang yang menyebut dirinya orang barat tadi menjadi orang yang jauh lebih timur dari orang timur.

Sejak Copernicus menemukan bahwa dunia ini bulat maka sejak itu pulalah dunia berubah tak berarah. Tidak ada lagi timur yang betul-betul timur atau barat yang betul-betul barat. Semua arah menjadi satu kesatuan yang saling berganti satu sama lain. Seperti sebuah gasing yang sedang berputar, tak punya ketetapan posisi karena adanya rotasi putaran.

Sebutan untuk Orang barat pada orang-orang yang katanya ada di barat itu pun tidak salah. Sebutan itu sudah melekat sejak vasco da gama berlayar dari portugis ke arah timur hingga menemukan India, atau sejak Colombus berlayar dari Spanyol ke arah barat kemudian menemukan benua amerika yang dihuni oleh orang-orang Maya.

Tapi, sejak Bill Gates memperkenalkan alat canggih yang disebut Microsoft sebagai perangkat lunak dalam komputer dan tomas graham bell menemukan pesawat telepon maka manusia telah merubah arah pandangnya tentang barat dan timur. Bill Gates dan Bell membuat alat komunikasi yang canggih sebagai cikal bakal munculnya era yang tanpa tapal batas. Manusia tak perlu lagi berkomunikasi dengan melintasi batas-batas teritori. Artinya apa, timur dan barat tidak lagi memainkan peran sebagai penunjuk arah tuk menemukan posisi seseorang karena orang-orang tidak lagi peduli dan membutuhkan soal-soal demikian.

Di era yang disruptif ini timur dan barat semakin berubah fungsi. Timur dan barat kini telah menjadi alat nyinyir. Alat yang mendifferensiasi kedudukan seseorang atau kelompok. Seolah-olah mereka yang duduk di bagian barat adalah mereka yang berkedudukan lebih tinggi dari orang-orang yang ada di timur. Mungkin karena itulah mereka yang di barat bebas saja menyinyiri dan memperlakukan orang yang ada di timur secara tidak adil.

Yang lebih parah lagi, timur dan barat sekarang sudah seperti timbangan. Timbangan yang tidak pernah sama beratnya dan adilnya. Barat selalu dapat porsi yang jauh lebih banyak ketimbang timur sehingga total timbangan barat akan jauh lebih berat ketimbang timur. Sudah jadi rahasia umum kalau timbangan itu banyak diisi dengan gedung-gedung, uang, pangkat, dan jabatan. Bahkan naifnya, seringkali—tidak sesekali kalau jatah isian timbangan di bagian timur sering dipindahkan ke barat secara terang-terangan. Malupun tak punya sehingga tidak perlu mencuri dengan sembunyi.

Orang yang disebut sebagai orang timur itu mendengar nyinyiran orang yang mengaku dirinya orang barat itu. Ia pun menoleh dan menunduk dengan tabah. Ia berbisik ke dalam hatinya bahwa “kami memang kasar, keras, kolot, dan juga tidak berpendidikan tapi kami tidak rakus seperti kalian”. 

******
Soal hal-hal yang mungkin terlalu nampak di mata bahwa orang timur itu terbelakang dari orang barat, itu wajar. Sebab orang-orang timur itu di kala kecilnya telah diajarkan tentang penderitaan. Setiap hari ke sekolah dengan berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya. Mesti melewati jalanan berbatu tak beraspal, juga sungai-sungai berarus kencang, dan pematang-pematang sawah yang sempit untuk sampai ke sekolah. Mereka pun selalu terlambat.

Bukan hanya soal jauh, sekolah baginya bukan hanya sebagai tempat belajar tapi juga sebagai tempat mendapatkan penghidupan. Semakin jauh jarak rumahnya ke sekolah maka kemungkinan hidup dan bersekolahpun akan semakin lama. Setiap pagi mereka berjalan kaki ke sekolah sambil berteriak-teriak “eeeeee apang, tarajjong, bassang, na langkose..!!!”.

Orang yang disebut sebagai orang timur itu bertubuh kurus, kerontang, dan berperut buncit seperti orang sedang mengidap penyakit busung lapar. Di kampungnya memang banyak orang-orang yang bertubuh seperti mereka. Bagaiamana tidak, mereka (orang-orang timur) itu memang dari sejak kecil kekurangan gizi dan tidak pernah kebagian jatah kue yang enak-enak. 

Tapi itu jauh lebih baik ketimbang keadaan orang-orang barat sana yang setiap hari tidur di kasur empuk tapi masih saja sering mengeluh tentang sakit leher. Sampai-sampai terdengar bisikan bahwa dirinya sedang Wasir (sakit pantatnya), padahal tiap hari ia duduk di kursi empuk dalam gedung-gedung bertingkat. Sementara orang timur itu sekalipun dekil dan kurus kerontang tapi tubuhnya selalu sehat bugar. 

Penyakit yang paling mungkin di temukan pada orang-orang timur hanyalah sakit hati. Bukan jenis penyakit hati yang dapat  disembuhkan di rumah-rumah sakit mewah internasional tapi hanya bisa disembuhkan dengan kebijaksanaan dan keadilan. 

Sekalipun dekil dan terlihat kampungan tapi nampak terang kedamaian tergambar dari wajah orang timur itu. Gunung-gunung indah berantai-rantai dari kedua alisnya, rambut ikal keritingnya melengkung bagai sungai-sungai firdaus, juga nampak deretan pantai-pantai yang masih perawan di bibirnya. Tapi di balik matanya, menggumpal beban kesedihan yang luar biasa. Ada yang rapuh, ringkih menggeletar di dalam sana.

Di balik mata itu, segerombolan penjagal sedang menjagal keindahannya. Merampas seluruh isi kekayaannya. Keperawanannya diperkosa kemudian ditinggalkan begitu saja. Atas nama kebaikan, rayuan datang di tengah air matanya yang mengalir. Miliknya diambil dan dibawa pergi entah kemana. Orang timur itu seperti terasa asing pada dirinya sendiri. 

Ia menatap kosong ke arah depan. Memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Gedung-gedung bertingkat, mobil-mobil mewah, serta rumah-rumah yang mahalnya minta ampun berjejeran di sepanjang jalan. Kekaguman menyeruak dari hatinya. “Sungguh maju peradaban di tempat ini. Di tempatku, yang paling tinggi hanyalah pohon-pohon lontar. Tapi disini, gedung-gedung itu bahkan 20 kali lipat lebih tinggi dari pohon lontar”.

Ia masih di tempatnya, berdiri di trotoar jalan memperhatikan dengan seksama gedung-gedung tinggi yang berderet-deret. Di tengah kekagumannya yang meluap-luap tiba-tiba getir datang merampas. Air mata tumpah berserakan dari matanya melihat tayangan huru-hara di televisi berukuran ratusan inci tertempel di dinding sebuah gedung. Sekelompok orang sedang ditembaki dengan senapan dan gas air mata. Salah seorang mati. Mahasiswa. Mirip sekali dengan adiknya. Bukan hanya mirip tapi memang iya, dia adiknya.

Pilu melawan tangis atas kematian adiknya. Orang itu tersungkur, meraung tak tertahankan hingga raungan itu menggema ke dalam gedung-gedung, tapi tak ada yang mendengarkannya. Mereka di dalam sana lebih memilih sibuk menghitung uang dan mengkalkulasi untung rugi. Kasihan betul orang timur itu, ia ingin pulang memeluk dan mengantar langsung jenazah adiknya ke liang lahap tapi tak bisa. Keadaan memaksanya tinggal. Perongkosan pulang pun terlampau mahal.

Belum juga lama di tempat ini, ia telah ditimpa kabar buruk atas kematian adiknya. Padahal, ia datang kemari tuk melepas ingatan duka pada puluhan ribu nyawa tak berdosa yang dibantai pada puluhan tahun silam di tanahnya sendiri. Jenazah-jenazah hanya dikuburkan seadanya, kemudian dibuatkan tugu, seakan-akan kesedihan harus terus diingat oleh orang-orang sekitar. Nama neneknya, juga kakeknya, serta satu orang adiknya berderet mengisi prasasti tugu “Daftar Nama-nama Korban 40.000 Jiwa”.

Nasib buruk memang lebih banyak berteman dengan orang-orang terbelakang sepertinya. Sekalipun demikian takdir tidak bisa disesali, dan menggugat Tuhan pun naif. Nasib buruk itu mereka jalani dengan tabah dan sabar, bukan berarti ia dan mereka (orang-orang timur) itu sangat jarang tertawa. Kalian harus tahu bahwa, orang-orang timur itu selain pandai tertawa ia juga pandai memendam penderitaan. 

Terlalu banyak masalah di timur yang acapkali tidak dipedulikan oleh mereka yang di barat. Di satu waktu, saat ia masih kecil, ia diceritakan tentang kisah perjuangan oleh paman dan bibinya. Bahwa pernah ada segorombolan orang yang dituding pemberontak di tanahnya sendiri. Atas nama persatuan dan keamanan mereka dicari-cari dan dimusnahkan. Tapi oleh paman dan bibinya serta bagi semua orang-orang di kampungnya gerombolan itu adalah pejuang, pahlawan, penuntut keadilan, dan penegak harga diri.

Konon katanya, gerombolan itu kecewa karena dikhianati. Kue yang seharusnya miliknya diberikan ke orang lain. Akhirnya mereka melawan, kembali ke kampungnya, dan menegak perlawanan. Gerombolan itu lalu lalang di hutan rimbun. Keluar masuk kampung mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Sembari melawan ia mengajarkan agama dan membangun sekolah-sekolah. 

Wajar saja jika di mata orang-orang di kampungnya gerombolan itu adalah pahlawan, penegak harga diri, pejuang. Kisah itu takkan pernah habis diceritakan hingga masa yang akan datang. Terpendam sebagai ingatan pilu yang menyayat sanubari. 

Catatan sejarah memang tidak dapat dirubah. Mereka kan tetap dikenal pemberontak oleh orang lain. Sekalipun demikian, bagi anak cucunya, para penerusnya, semangat itu kan kokoh berdiri di dalam dada mereka. Semangat yang terus bergelora, takkan pernah hilang. Semangat perlawanan, semangat harga diri, bukan pengkhianatan. Warisan masa lampau yang akan tetap membumi di sanubari. Tidak dapat dimusnahkan sampai keadilan tegak di negeri ini.

Takalar, 19 Oktober 2019


IHR. Penulis, sengaja menulis catatan ini dalam HUT Sulawesi Selatan ke-350 tahun.

Kamis, 17 Oktober 2019

TANDA-TANDA

Muharram sebentar lagi habis. Saya harus melamarnya. Esok saya ke rumahnya, bertemu ibu-bapaknya, meminang anak perempuan mereka sebagai istriku. Baru setelah itu saya beritakan pada orang-orang di kampung, soal diterima atau tidaknya. Yang jelas jika jadi, bulan depan saya kembali ke rumahnya bersama iring-iringan tumabbicara doe’.

Dua kali saya datang, dua kali pula saya ditolak. Sebetulnya, bukan ditolak tapi belum diterima. Sekali lagi saya datang, jika masih ditolak, pupus sudah harapanku. Kata orang, kedatangan pertama adalah keberanian, kedatangan kedua kesungguhan, dan ketiga adalah kenekatan. Kenekatan berarti percobaan pada hal-hal yang dianggap mustahil.

Tidak ada ruang bagi kedatangan keempat. Menempuh jalur itu hanya kebodohan. Dan hanya orang-orang bodohlah yang tak punya rasa malu. Mungkin punya tapi hanya malu pada dirinya sendiri. Bagi orang-orang makassar tidak punya malu berarti tidak punya harga diri. Tidak punya harga diri berarti tidak layak lagi mendapatkan penghargaan dari orang lain. Itu disebut siri’.

Jalan yang saya tempuh ini adalah jalan siri’. Jalan yang melampaui kenekatan. Saya tahu posisiku, juga posisinya. Posisi keluargaku dengan keluarganya. Seperti langit dan bumi. Seperti laut dan gunung. Dia dari kalangan priyayi dan saya hanya orang kampung yang tak punya perasalan masa lalu. Tapi urusan ini bukan urusan perasalan tapi soal perasaan.

Perasaan tak mengenali perasalan, apalagi materi. Tapi entah bagaimana pertalian antara keduanya, perasalan selalu bertanya soal-soal perasaan, padahal semua orang tahu pada hal-hal yang tidak mungkin ditemukan dari perasaan. Saya, bahkan semua orang pun takkan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hanya dapat dirasa oleh perasaan.

Dua kali saya datang ke rumahnya, dua kali pula saya dicecari dengan pertanyaan-pertanyaan soal perasaanku padanya. Saya bisa saja menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan itu tapi hanya bisa dengan kata iya, lebih dari itu berarti berlebihan dan mendekati kebohongan.

Pertanyaan-pertanyaan tentang darimana asal perasaan cinta itu, bagaimana perasaan itu tumbuh, serta sejauh apa perasaan itu dapat bertahan lama, itu tak mungkin terjawab. Bagaimana bisa saya menjawabnya sementara perasaan itu takkan dapat terurai lewat logika-logika sederhana. Perasaanku padanya murni tanpa timbang fikiran. Cinta yang suci membathin, tidak di fikiran.
...........

Ketiga kalinya, ini yang terakhir, jika saya ditolak maka habislah hubungan kami. Tak mungkin saya menempuh jalan keempat. Mereka pasti tahu bahwa jalan keempat bukan lagi perulangan tapi kebodohan. Tidak ada perulangan dalam rumusan siri’, karena itulah siri’ selalu diletakkan dalam hal-hal yang krusial. Lantaran itu, jangan berani-berani jika tidak mampu menanggung resikonya.

Pagi baru saja melihat, sinar surya mengalir lembut dari Bawakaraeng hingga Lompobattang. Jalanan masih belum ramai. Sebelum ke menemui bapak ibunya, saya mengajaknya bertemu lebih dahulu. Mengutas kata sepakat untuk datang yang ketiga kali ke rumahnya. Akan kutegaskan bahwa ini yang terakhir, jika kedua orang tuanya tak menerima lamaran ini maka takkan ada kedatangan yang keempat.

Semua resiko telah kufikirkan matang-matang, juga dengan rentetan kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Dua hal yang kusampaikan padanya. Pertama, jika saya diterima maka kami kan menikah secepatnya, waktu yang paling baik di bulan shafar, bulan depan. Di bulan itu, padi-padi di kampung telah habis dipanen. Hasilnya akan dijadikan sebagai seserahan, atau uang belanja. Kedua, jika saya ditolak maka ia harus bersedia lari denganku. Menjadi pengantin yang menikah tanpa restu dari ayah dan ibunya. Tentu ini pilihan yang sulit, tapi fikirlah baik-baik.

Setelah semua tumpas kusampaikan padanya, hilanglah segala bebanku, yang tersisa tinggal datang ke rumahnya, bertemu ayah-ibunya.

Waktu yang paling tepat untuk datang ke rumahnya adalah sore hari, setelah ashar, selepas jam kantor, saat itu ayah-ibunya baru ada di rumahnya setelah seharian penuh berjibaku dengan urusan kantor masing-masing.

Jejak ingatan dari kedatanganku ke rumahnya masih lekat di ingatan. Masih ngiang di telinga kata-kata ayahnya waktu itu, bahwa langit dan bumi tak mungkin disatukan. Gunung dan lautan takkan dapat menemukan ruang pertemuan di dunia ini. Kata-kata itu terus menggema di fikiranku, menabrak-nabrak hati dan perasaanku. Sakit sekali, menyayat dada. Tapi saya tidak peduli.

Di ruang tamu ini, kedua orang tuanya menemuiku. Tak banyak kata-kata yang kusampaikan karena saya yakin mereka telah menangkap maksud kedatanganku ini. Hanya saja kami tetap butuh basa-basi. Kutanyakan perihal kesehatan dan keadaan mereka berdua. Saya tahu itu basa-basi karena jelas terlihat mereka sehat bugar tapi masih tetap kutanyakan pada keduanya. Mereka pun pasti tahu, itu hanya basa-basi.

Keduanya menyambutku hangat, menawariku kopi serta beberapa sajian di atas meja. Gemericik air dari teras rumah nyaring merambat ke dalam rumah. Ada spasi kesunyian diantara kami. Satu fase diam yang sengaja kami buat bertiga. Mereka menunggu pembicaraan itu dimulai oleh saya lebih dahulu. Saya tahu itu. Tapi saya juga butuh waktu, mengambil nafas, mencari-cari kata pembuka karena saya percaya bahwa kata pembuka menentukan segala kata-kata yang akan keluar selnjutnya.

Menegangkan, jeda ini membuka jarak yang semakin menganga diantara kami. Ada diam yang pelan-pelan datang mengisinya, mengepul menjadi ketakutan yang menyesakkan. Saya tahu ini beresiko, wajah ayahnya seperti macan yang sudah siap menerkam. Jika saya salah menguraikan kata-kata akan tamat riwatku jadi tulang belulang.

“Pak, bu... ini kedatangan saya yang ketiga, bapak mungkin sudah tahu maksud dari kedatangan ini. Saya hanya hendak mengulang tujuan dari kedatangan saya sebelumnya, ingin melamar anak dari bapak-ibu”.

Suasana menjadi tegang. Degup jantungku menggila. Fikiranku melompat kesana kemari menangkap jawaban yang akan disampaikan oleh bapaknya. Andai bisa lari saya akan lari. Saya takut yang keluar justru jawaban penolakan.

Orang tua ini terlalu lama berfikir. Diam merenungi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepan. Segompok ketakutan sedang mengisi kepalanya. Ia takut melepas anaknya ke padaku atau malah sedang menyusun bahasa penolakan yang paling halus untukku.

Jeda ini terlalu lama. Saya tak tahu lagi harus bagaimana selain diam mengikuti ritme fikirannya. Baru kali ini kurasakan waktu melambat semakin pelan. Terus melambat ke titik henti. Nyaris sebentar lagi berhenti. Jika tak ada satupun kata-kata yang keluar dari mulut bapak ini maka saya kan tenggelam di sini. Dalam perlambatan waktu. Dalam diam yang tak memberi jawaban apa-apa.

“Yah, terima kasih banyak nak. Tanpa kau sampaikan saya sudah tahu maksud dari kedatangan ini. Saya telah melihat kesungguhanmu selama ini. Panggillah keluargamu kesini tuk berbicara dengan kami, berdiskusi tuk menemukan kata sepakat”.

Seketika ada yang meledak di dadaku mendengar jawaban itu. Suara-suara yang sejak tadi bisu di dalam sana tiba-tiba berteriak. Mengangkat tangan dan menyebut kata “merdeka”. Ingin rasanya segera keluar melompat-lompat berteriak bahagia. Ayahnya menerimaku. Aku harus kembali ke kampung, menyampaikan kabar baik ini, segera.

Tidak banyak pembicaraan setelah itu. Saya pun tidak tahu akan berbicara apa selain meredam luapan kebahagiaan yang sejak tadi ingin keluar. Tak mungkin kubebaskan sekarang ini, di tempat ini, di hadapan kedua orang tuanya. Itu terlalu naif, beresiko, terlihat emosional, dan tidak dewasa. Bertingkah kekanak-kanakan beresiko besar bagi laki-laki bugis, bisa mengurangi kewibawaan.

Tapi perasaan bahagia itu sudah meluap-luap ingin keluar, sedikit lagi tumpah. Jika saya tidak berpamitan sekarang maka pasti akan tumpah di hadapan mereka. Sudah saatnya saya pamit. Menjabati tangan ayah-ibunya sembari menyampaikan pada keduanya bahwa dalam jangka waktu dekat ini keluargaku akan datang bersama rombongan pabbicara doe’.

Keluarlah saya dengan rasa senang yang luar biasa dari rumahnya. Tumpah segala kebahagian itu dari dadaku dalam rupa air mata haru. Perempuan yang saya cintai sedikit lagi akan menjadi istriku.

..............
Rombongan pabbicara doe’ telah menunaikan tugas. Menumpaskan dialog pertemuan dengan pihak keluarga perempuan. Sudah saatnya mereka pulang.

Bukan hanya bicara soal uang belanja tapi mereka juga bicara hari baik pesta pernikahan kami nanti. Mereka berembuk menghitung kadar kebaikan dari masing-masing hari. Bukan berarti semua hari itu tidak sama tapi mereka meyakini bahwa ada hari-hari tentu dan waktu-waktu tertentu dimana kejadian-kejadian buruk terjadi di masa silam, itulah yang harus dihindari. Mereka takut hal yang sama terjadi pada kami berdua di masa kelak.

Sebagaimana mereka datang, begitupun mereka pulang. Tidak ada yang kurang sedikitpun. Hanya sepasang ayam yang menjadi simboleng (simbol) pertemuan, betinanya mati di perjalanan. Mungkin terpapar asap mobil yang menyengat.

....................
Sebentar lagi kami kan sampai di hari pernikahan kami. Segala kebutuhan pernikahan telah tunai dikirimkan pada pihak keluarga perempuan. Urusan lainnya sisa urusan-urusan teknis yang hanya diurus oleh pihak perempuan. Tanpa mengurangi intensi komunikasi, saya tahu ia sangat sibuk, menjadi pemain tunggal yang mempersiapkan pesta pernikahan ini. Adiknya tak ada di rumah, bapak ibunya pun sibuk, tidak ada yang dapat diandalkan membantu. Saya juga kasihan, oleh karena itu kutawarkan tuk menemani sesekali.

Di satu kesempatan ia tumpahkan segala cerita-ceritanya, termasuk angan-angannya di hari pernikahan kami kelak. Ia bilang akan mengenakan baju bodo berwana hijau. Bertudung hitam dengan manik-manik emas menghiasi sekujur tubuhnya. Sanggulnya cukup yang biasa saja karena ia kan mengenakan kerudung. Katanya, tidak serasi bersanggul besar jika memakai kerudung. Sementara warna dekorasi pelaminan kami didominasi oleh warna ungu.

Dapat kubayangkan, ia kan terlihat cantik di pesta pernikahan itu.

Dua minggu lagi. Kurang sedikit. Undangan pun telah habis teredar. Ia terlalu sibuk mengurusi semuanya. Tidak banyak pertemuan yang melibatkan kami. Hanya hari ini, itupun kebetulan saja. sebentar siang kami bersepakat kan sama-sama ke tukang jahit. Katanya tukang jahit andalannya ada di kota.

Tidak banyak sanggahan dari saya. Patuh pada keputusan perempuan dalam hal-hal seperti ini bukan hanya bijaksana tapi juga menyelamatkan diri dari kerunyaman mulut dan perasaannya. Padahal, ada banyak tukang jahit di kampungnya dan kampungku. Jika saja ia berfikir simpel maka tidak perlu sama-sama, hanya cukup bersepakat dengan kriteria-kriteria tertentu kemudian kita menjahit di tempat masing-masing.

Saya tahu bahwa urusan kecantikan selalu jadi titik penting bagi perempuan. Seolah keserasian mempengaruhi kesopanan, suasana bathin, bahkan suasana pesta. Memang sulit membenarkan teorema itu tapi saya sarankan untuk jangan membantahnya, jika ingin semuanya baik-baik saja. Bersepakat saja, turuti maunya sekalipun berat, jika tidak maka kemarahannya akan meluber ke urusan-urusan lainnya.

Untung saja ia memilih kota, bukan di tempat lain. Jarak dari kampungku ke kampungnya ditengahi oleh kota sehingga kota menjadi tempat pertemuan yang paling impas diantara kami.

Tidak banyak yang kami lakukan di kota. Hanya ke tukang jahit, berjalan-jalan sebentar, kemudian rehat sejenak sambil bercerita di salah satu kafe. Entah kenapa hari ini ia terlalu cerewet. Ia nampak cantik dengan letupan-letupan tawanya. Sesekali lirikannya menggodaku. Yaa Tuhan.. andai saja waktu bisa saya kendalikan maka akad nikah akan saya percepat hari ini.

Nampaknya ia Ingin mengerjaiku. Tapi itu tak mempan, perempuan terlalu tidak pandai berpura-pura dengan kecerewetannya. Kecuali dengan tangisan mungkin saya akan lebih percaya.

Sudah setengah lima sore. Jingga senja sebentar lagi memeluk langit. Ia sudah harus pulang, juga saya. Kamipun terpisah di tengah jalan, ke arah rumah masing-masing. Ia melaju ke arah selatan dan saya mengambil arah utara. Lantaran cinta tidak dapat mengeja kata-kata tentang perpisahan maka kami memilih tuk menepikan permisi. Berlalu begitu saja sambil menautkan rindu pada jarak yang semakin menjauh.

Malam telah sampai bersama diriku di peratian rumah. Saya tak perlu mengabari bahwa telah sampai, begitupun dia, pasti telah sampai di rumahnya sejak tadi. Saya harus tidur, mendiamkan sejenak isi kepala. Di luar kamar Indo’ dan ambo’ sementara membincang undangan yang belum sampai ke orangnya masing-masing. Diskusi mereka mengantar kedua mataku lelap di dalam sini.

Pagi masih ringkih, kabut masih menutupi bumi. Dingin menusuk. Tidak tahu mengerti bahwa saya sedang memimpikannya. Mengenakan pakaian pengantin. Persis seperti yang ia ceritakan padaku tempo hari. Tentang baju pengantin warna hijau.

Di pinggir jalan, dari jendela kamar terlihat  daun-daun masih basah. Siluet pagi mendesar di sela-sela ranting pohon cemara. Seseorang tiba-tiba singgah di mulut pagar, berlari sekonyong-konyong ke halaman rumah kemudian berbincang dengan indo’. Orang itu tidak asing bagiku, saya pernah melihatnya, tapi saya lupa dimana. Wajah indo’ tiba-tiba menegang mendengar cerita orang itu. Indo’ tiba-tiba menangis, yah menangis. Seperti ada yang meledak di dadanya. Pecah berantakan. Kemudian buuuggghhh, ia pingsan.

Saya kenal orang itu, tapi sekarang ia dimana ?. Ia pergi tanpa pamit. Tidak tahu kemana perginya.

Kupeluk indo’ erat-erat agar ia segera sadar dari pingsannya. Ambo’ pun membantu dengan berbisik ke telinganya. Saya tidak tahu apa yang ia bisikkan, semacam mantra atau do’a-do’a. Tidak lama Indo’ bangkit dari pingsan kemudian memelukku dan menyampaikan bahwa Meirah meninggal dunia, tewas dari kecelakaan beruntun. Kemarin malam, antara maghrib-isya, dalam perjalanan dari kota ke rumahnya.

Ada denyut yang meledak. Tumpah, sebagai air mata. Terguncang keras oleh kabar kematian itu. Sesak. Mati rasa. Terasa kosong. Begitu cepat.

Ia sekarang pergi, meninggalkanku sendirian tanpa mengucap pamit, melayang sebagai kabut asap yang terbang ke langit luas. Perasaan ini melampaui biasanya. Kesedihan itu semakin membathin. Mengenang baju pengantin hijau, Ayam betina yang mati di tengah jalan, juga peristiwa sebelum-sebelumnya yang genang di fikiran sebagai kenangan.

IHR
Takalar, 17/10/2019.

Minggu, 13 Oktober 2019

SEMOGA CERITA INI HANYA MIMPI

Ada yang berbisik sunyi malam ini dalam mimpi yang samar. Mengendap sebagai kenyataan. Bisa jadi kenyataanlah yang mengubah dirinya sebagai mimpi. Entah bagaimana kebenarannya. Aku tak peduli. Tapi jika benar ini hanya mimpi maka biarkan saja terus begitu. 
Basah, kesunyian itu jatuh disertai kenangan yang menghujan deras tapi justru hamparan dada itu, ia sudah lama kosong tidak ditumbuhi cinta. Tandus tak berkehidupan. Lelah pada hiruk-pikuk dunia yang amat sesak. Semoga saja mentari di pagi nanti bersinar terang untuk dunianya.

Sangat berat bangun pagi ini, semalaman terpaksa bekerja hingga dini hari karena besok laporan kantor harus diperiksa, dokumen-dokumen malam ini juga harus selesai, jika selesai maka esok pagi tinggal tancap gas ke kantor.

Mentari sudah lama terbit, menumpahkan terang ke atas bumi. Aku harus bangun walau kantuk belum juga hilang. Ini tuntutan kerja, harus disiplin, patuh pada aturan, tidak ada kata terlambat, tidak peduli pada keadaan apapun. Dunia kerja memang kejam, memaksa manusia bekerja seperti robot. Itu tuntutan zaman, jika tak bisa tunduk pada aturan dan pakem-pakem zaman maka keadaan kan membuatmu hilang dalam dunia modern ini.

Di satu sisi, aku sebetulnya muak dengan keadaan. Menjadi manusia yang diperbudak oleh pekerjaan, oleh materi, juga oleh manusia. Kemerdekaan hilang dalam dunia ini, kebebasan tersandera oleh tuntutan tugas dan kewajiban kantor. Tapi begitulah kehidupan, mereka yang tidak bekerja akan kehilangan harga diri. Jika bekerja adalah ketidakbebasan maka orang-orang yang tidak bekerja adalah orang-orang bodoh yang tak tahu memahami kebebasan.

Bekerjalah, apapun itu, asal jangan mengerjai orang. Berikan saja kebebasan itu pada dunia, biarkan dunia yang mengatur skenarionya, mengubahmu menjadi tidak bebas, hingga pada waktunya segala usaha dan kerja kerasmu lah yang akan membebaskannya.

Pagi masih buta, handphone di tanganku masih tergenggam. Kring.. kring.. tanda pesan masuk, aku Terhenyak, terperanjat kaget. Pesan itu masuk, entah dari siapa, nomor baru, nomor yang tidak kukenal sama skali. Aku tidak langsung membukanya, kantuk masih menyerang mataku, tak tertahankan, aku masih harus tidur.

——-
Aku sudah terlanjur bangun walau dingin pagi masih menusuk. Kantuk pun belum juga hilang.

Wadduh mati kiteee.. lima belas menit lagi jam 8. Aku sudah terlambat. Alarm tidak berbunyi, aku lupa menyetelnya sebelum tidur. Jika pak boss lebih dulu sampai dapat dipastikan bahwa pagi ini akan terjadi peristiwa mengenaskan di kantor. Tewas kebanjiran omelan dari pak boss.

10 menit lagi pukul 8, aku harus sampai sekalipun terlambat. sudah 20 menit aktifitas kantor berlangsung. Andai bisa terbang aku kan terbang saja atau memakai jurus menghilang. Tapi takdir membuat manusia tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Tidak bisa terbang seperti burung karena tak bersayap, juga tak bisa menghilang sekejap waktu karena bukan malaikat.

Tahu bahwa manusia tak punya sayap tapi justru banyak manusia yang mencoba terbang. Ini penyakit kemanusiaan. Boleh jadi karena hasrat kebinatangan yang melekat pada diri manusia sehingga orang-orang yang terus mencoba terbang itu akan terlihat lebih binatang dari binatang, karenA binatang tidak pernah berhasrat untuk menjadi manusia, sementara manusia justru sebaliknya.

Manusia tidak bisa terbang karena manusia tidak punya sayap. Tesa kedua, manusia bisa terbang karena manusia punya angan-angan, yah itu juga bisa, tapi hanya dalam kiasan. Menggambarkan manusia terbang dengan kata-kata dan kalimat-kalimat yang metaforik. Misal, orang itu terbang tinggi dengan uangnya atau orang itu telah jauh melangit bersama ide dan pengetahuannya. Tapi ini bukan soal hal-hal yang metaforik tapi soal teknis, real, dan nyata. Agghhhh.. Saya tidak peduli dengan bahasan-bahasan panjang itu. Yang terpenting dari semua itu, aku harus sampai di kantor secepat mungkin.
Kendaraanku merayap di punggung aspal, melaju tak terkira, menyalip, menggunting, melambung sana-sini, mendahului semua pengendara yang menghalangiku tuk sampai secepat mungkin di kantor. Ini soal etika kerja, aku harus bersegera sampai ke kantor tuk mengetuk pintu ruangan pak boss dan melapor perihal tugas semalam. Pokoknya aku harus segera sampai.

Teman-teman kantor sudah aktif di mejanya masing-masing. Wajah mereka berubah tegang melihatku tegang berlari sekonyong-koyong ke arah pintu ruangan pak boss. Tidak ada sapa atau senyum dari mereka, yang kulihat hanya ketegangan. Tok.. tok.. tok.. tidak ada respon, pintu masih terkunci.

"Pak boss belum datang..!!!, tidak masuk hari ini". teriak seorang teman sembari tertawa.

Okey, fix, aman. Tidak ada yang tewas dimarahi hari ini. Aku selamat dari omelan pak boss.

———-
Siang sudah sampai, matahari sudah tumpah penuh, panas semakin membakar. Rasa penat bersama lelah menyerang. Kuputuskan tuk rehat sejenak.

Sebuah pesan tadi pagi masuk ke handphoneku dan belum kubaca sampai saat ini. Aku perlu membacanya, siapa tahu pesan itu dari pak boss.

Nampak dari kata-katanya, pesan ini penting tapi bukan pak boss. Entah siapa. Ia mengajakku bertemu. Meminta bertemu di warung kopi sekitaran kantor sore ini. Dungu’ betul orang ini, belum juga berkenalan sudah mengajak bertemu. sekalipun penting, setidaknya ajakan itu harus dimulai dengan perkenalan, tapi ini beda, to the point, ingin bertemu langsung.

Kira-kira ia pernah melihatku. Entah dimana, atau mungkin ada hal-hal yang perlu ia ceritakan. Atau bisa jadi baginya perkenalan itu mesti diawali dengan pertemuan. Di dalam pertemuanlah orang saling merajut kecocokan, saling menemukan isi fikiran masing-masing, dan saling mengakrabkan diri. Yah aku sepakat soal itu, tapi tetap bagiku, belajarlah basa-basi, dengan basi-basi kepercayaan kadangkala akan lebih cepat tumbuh.

Orang itu bisa dikatakan tradisional konservatif karena di zaman ini masih butuh pertemuan langsung. Padahal, sekarang setiap orang tidak perlu lagi bertatap muka, duduk bersama dalam satu meja, dan sama-sama minum kopi. Pola-pola itu sudah banyak ditinggalkan, cenderung konservatif dan cukup disebut tidak kekinian.

Hari ini proses komunikasi sudah melintasi ruang. Komunikasi menjadi linear, berbicara tanpa harus bertemu, bertemu tapi tak perlu berjabatan tangan. Hanya cukup mengutak-atik handphone kita sudah tahu profile orang lewat akun sosialnya. Apalagi, narsiztik telah melampaui kadarnya, semua orang memposting apa saja di akun-akun sosialnya tanpa batas ethics. Dengan begitu orang lain dapat tahu bagaimana dinamika pergolakan hidup seseorang.

Orang itu lagi, nomornya sama, ia mengirimiku pesan.

“Rah, jika kamu tak bersedia bertemu denganku hari ini maka maafkan jika aku kan datang ke rumahmu tanpa izin”.

Aku menolak membalas. Itu terlalu nekat. Tidak mungkin terjadi. Mana ia tahu rumahku, kampungku, juga perasalanku. Aku bukan perempuan narsiz yang memberandol profile dan alamatku dimana-mana, juga tak banyak teman-teman yang pernah datang ke rumahku selama ini. Itu tak mungkin, lebih baik aku ke kota, menemui Lesti.

———-
Si pengirim pesan itu menjadi tanda tanya besar di kepalaku. Di setiap derap langkah kaki yang mengepal di lantai selalu muncul pertanyaan-pertanyaan tentang rasa penasaran pada orang itu. Di dalam fikiranku bertengger satu pertanyaan yang tak mampu kujawab hingga saat ini. “Siapa dia ????”.

Soal kenekatannya datang ke rumahku tanpa seizinku hari ini, itu tak mungkin terjadi sehingga aku enggan memikirkannya. Kufikir itu terlalu berbahaya buatnya, terlalu beresiko dan mustahil. Waktupun tak memungkinkan sebab hari sudah mulai petang.

Fikiranku bercabang, terurai seperti akar-akar pohon yang terus mencari dasar dari segala pertanyaan yang tak terlihat di permukaan. Orang itu terlalu misterius untuk diterka, maka menggali jawaban tentang siapa sosoknya adalah langkah yang paling tepat untuk dilakukan sementara ini. Mungkin ia sama sepertiku, sebagai perempuan. Tapi apapun itu, hari ini aku harus menemui Sherly. Tidak ada yang bisa mencegat pertemuan kami.

Langkah kaki terus gontai menemukan lokasi duduk Serly, sementara fikiranku masih terus bercabang pada orang itu. Serli duduk tepat di teras cafe, sedang mengaduk-aduk minumannya yang tinggal setengah. Pasti ia sudah menunggu lama, Jelas terang dari isi gelas minumannya yang tinggal setengah. Wajah murung dan sedikit resah di wajahnya juga terlihat jelas dari balik kaca. Nampaknya ia kan menerkamku dengan omelan.

"Sher, maaf... jalanan macet".

Tanpa banyak tanya ia mengomeliku dengan kata-kata kecewa.

#%*+&@£€¥

Sherly gadis yang baik, ia temanku, sejak di perkuliahan 4 tahun silam. Ceritanya pertemanan kami tak cukup tuk diceritakan saat ini. Yang jelas, sherly adalah tempatku membuang kesedihan dan kegalauanku selama ini. Apapun itu, tak terkecuali. Yah, tak terkecuali.

Sore ini sherly bersedia menemaniku berjalan-jalan. Melepas penat dan stress pekerjaan yang menekan seminggu ini. Kami ke toko buku, tempo hari ia membagi hasil bacaannya padaku tapi tak tuntas dengan hanya sekedar berdiskusi sehingga ia menyuruhku membeli langsung buku tersebut. Hari ini ia besedia menemaniku ke toko buku.

Kami banyak bercerita di perjalanan. Langkah kaki kami pelan menuju toko buku. Tawa dan canda kami membahana di langit-langit mall, merayap di lubang telinga semua orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dua tingkat tangga berjalan kami naiki sambil bercengkrama akrab.

Soal orang itu juga ikut kuceritakan. Sherly menakutiku, menyuruhku bersiaga jika sewaktu-waktu orang itu benar-benar datang ke rumahku. Banyak prediksi-prediksi yang ia sampaikan. Keluar dengan kata jangan-jangan. Jangan-jangan kamu.... ingin dilamar oleh seorang laki-laki. itu yang jangan-jangan yang pertama. Atau Jangan-jangan dia seorang wanita... ingin melabrakmu entah karena apa, bisa jadi cemburu denganmu atau karena salah paham. Itu jangan-jangan yang kedua. Atau bisa jangan-jangan ia hanya mengerjaimu. Itu jangan-jangan yang ketiga, dan beberapa rentetan jangan-jangan yang coba mengusik fikiranku. Tak banyak timpalan padanya, aku hanya mengangguk, sesekali menatapnya serius, dan tersenyum padanya. Di akhir cerita Sherly menghiburku dengan kata-kata pamungkas.

“Rah, jadilah wanita yang setia pada prinsipmu. Tetaplah teguh pada cita-citamu. Jangan pernah goyah pada tiap-tiap perubahan yang terjadi dalam hidupmu. Memilih itu memang jalan kehidupan tapi tatkala pilihan akan melemahkanmu maka takarlah ia dengan baik-baik agar jalan yang kau tempuh kedepan menjadi baik. Kedatangan orang-orang baru dalam kehidupan kita memang akan terasa asing tapi jangan pernah menolaknya, beri saja ia ruang untuk masuk agar kau tahu bagaimana kepandaiannya mewarnai ruang hidupmu. Jadi, jangan terlalu keras pada orang, siapa tahu dia adalah orang baik”.

Sesampai di toko buku, tak banyak kami berkeliling, Sherly langsung mengarah ke rak buku yang ia rekomendasikan padaku.  Akupun langsung menuntuskannya dengan membayar di kasir.

Kali ini perjumpaan kami tak lama. Tak banyak tempat yang kami datangi. Tak seperti biasanya, kami dapat memutari hampir seluruh los-los toko di mall ini, tapi Sejak tadi Ibu terus menelpon menyuruhku pulang.

———-
Gegap kemacetan kota tak terbendung, kendaraan tumpah meluapi jalan, banyak yang memilih melaju di atas trotoar, dan sebagian lainnya mengambil jalan memutar yang sekalipun jalurnya lebih jauh dari jalan ini. Aku tetap disini, di badan jalan ini, memilih menjadi pengendara yang taat pada aturan, juga sabar dengan keadaan. Aku percaya arus jalan akan membawaku sampai pada tujuan. Sebagaimana jalan hidup yang kutempuh, kupilih untuk taat dan sabar pada arus takdir. Tak ada percepatan atau jalan pintas bagiku. Takdir bagiku demikian. Jika sulit, biarkan ia mengalir apa adanya. Mungkin akan tersendat tapi aku percaya ia kan membawaku sampai pada tujuan-tujuan hidup yang baik.

Di teras rumah, duduk laki-laki bertubuh gempal. Wajah itu asing, tak pernah kulihat. Iya, laki-laki itu memang asing, bukan keluarga tapi dengan santainya ia duduk menghisap cerutu. Dari wajahnya, kupastikan usianya sedikit lebih tua dariku.

Ia tersenyum. Kubalas juga dengan senyum. Ia menyapa, kubalas juga dengan sapa. Tanda tanya di kepalaku semakin membesar. Bertanya-tanya pada laki-laki itu. Pada sosoknya. Mungkin saja ia laki-laki yang mengirim pesan itu atau bukan.

Mendesing. Pertanyaan itu semakin nyaring di fikiranku, sampai-sampai aku lupa mematikan motorku. Ia terus menatap ke arahku. Mengernyit. Seperti telah lama menunggu. Tatapannya menusuk, ia sinis, seakan-akan ada yang salah padaku. Ibu pun tak keluar-keluar menyambutku, memperjelas keberadaannya di dalam rumah atau setidak-tidaknya mengabariku perihal laki-laki itu. Kali ini aku benar-benar salah tingkah tapi sudahlah, disenyumin saja.

Sepertinya banyak tamu. Sendal berpasang-pasangan di tangga, suara rumpi dari dalam rumah ngiang menyelinap dari lubang-lubang jendela dan pintu. Laki-laki itu masih duduk di tempatnya, asyik menghisap cerutu sambil manatapku tajam.

Betul, ia sudah lama disini. Asbak itu telah dipenuhi puntung-puntung rokok. Aku mendekat dan menatapnya senyum sembari mengulurkan tangan tuk berjabat. Lelaki ini nampak dingin, tidak banyak bicara, tangannya berkeringat, suaranya basah. Aku mendehem, mengingatkannya pada batas waktu jabatan tangan. Sontak, ia pun melepas tangannya.

“Sudah lama kak”. Yah, aku memanggilnya kak. Wajahnya yang bicara. Ia nampak sedikit lebih tua dariku.

“Iya, lumayan”. Hanya itu, tak lebih dan tak kurang dari jawabannya. Ia dingin. Mungkin saja ia pendiam.

Setelah tuntas percakapan kami, kuputuskan masuk ke dalam rumah, menerabas rumpian para ibu-ibu. Sembari melempar senyum, ada yang berceletuk, berbisik samar tapi masih dapat terdengar. “Itu yah orangnya..”.

&@$&@“/)(€£¥¥}%^*~!!>£\’b%#£]’al£€£¥•}{][\|><£¥.

Bersambung..