Minggu, 13 Oktober 2019

SEMOGA CERITA INI HANYA MIMPI

Ada yang berbisik sunyi malam ini dalam mimpi yang samar. Mengendap sebagai kenyataan. Bisa jadi kenyataanlah yang mengubah dirinya sebagai mimpi. Entah bagaimana kebenarannya. Aku tak peduli. Tapi jika benar ini hanya mimpi maka biarkan saja terus begitu. 
Basah, kesunyian itu jatuh disertai kenangan yang menghujan deras tapi justru hamparan dada itu, ia sudah lama kosong tidak ditumbuhi cinta. Tandus tak berkehidupan. Lelah pada hiruk-pikuk dunia yang amat sesak. Semoga saja mentari di pagi nanti bersinar terang untuk dunianya.

Sangat berat bangun pagi ini, semalaman terpaksa bekerja hingga dini hari karena besok laporan kantor harus diperiksa, dokumen-dokumen malam ini juga harus selesai, jika selesai maka esok pagi tinggal tancap gas ke kantor.

Mentari sudah lama terbit, menumpahkan terang ke atas bumi. Aku harus bangun walau kantuk belum juga hilang. Ini tuntutan kerja, harus disiplin, patuh pada aturan, tidak ada kata terlambat, tidak peduli pada keadaan apapun. Dunia kerja memang kejam, memaksa manusia bekerja seperti robot. Itu tuntutan zaman, jika tak bisa tunduk pada aturan dan pakem-pakem zaman maka keadaan kan membuatmu hilang dalam dunia modern ini.

Di satu sisi, aku sebetulnya muak dengan keadaan. Menjadi manusia yang diperbudak oleh pekerjaan, oleh materi, juga oleh manusia. Kemerdekaan hilang dalam dunia ini, kebebasan tersandera oleh tuntutan tugas dan kewajiban kantor. Tapi begitulah kehidupan, mereka yang tidak bekerja akan kehilangan harga diri. Jika bekerja adalah ketidakbebasan maka orang-orang yang tidak bekerja adalah orang-orang bodoh yang tak tahu memahami kebebasan.

Bekerjalah, apapun itu, asal jangan mengerjai orang. Berikan saja kebebasan itu pada dunia, biarkan dunia yang mengatur skenarionya, mengubahmu menjadi tidak bebas, hingga pada waktunya segala usaha dan kerja kerasmu lah yang akan membebaskannya.

Pagi masih buta, handphone di tanganku masih tergenggam. Kring.. kring.. tanda pesan masuk, aku Terhenyak, terperanjat kaget. Pesan itu masuk, entah dari siapa, nomor baru, nomor yang tidak kukenal sama skali. Aku tidak langsung membukanya, kantuk masih menyerang mataku, tak tertahankan, aku masih harus tidur.

——-
Aku sudah terlanjur bangun walau dingin pagi masih menusuk. Kantuk pun belum juga hilang.

Wadduh mati kiteee.. lima belas menit lagi jam 8. Aku sudah terlambat. Alarm tidak berbunyi, aku lupa menyetelnya sebelum tidur. Jika pak boss lebih dulu sampai dapat dipastikan bahwa pagi ini akan terjadi peristiwa mengenaskan di kantor. Tewas kebanjiran omelan dari pak boss.

10 menit lagi pukul 8, aku harus sampai sekalipun terlambat. sudah 20 menit aktifitas kantor berlangsung. Andai bisa terbang aku kan terbang saja atau memakai jurus menghilang. Tapi takdir membuat manusia tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Tidak bisa terbang seperti burung karena tak bersayap, juga tak bisa menghilang sekejap waktu karena bukan malaikat.

Tahu bahwa manusia tak punya sayap tapi justru banyak manusia yang mencoba terbang. Ini penyakit kemanusiaan. Boleh jadi karena hasrat kebinatangan yang melekat pada diri manusia sehingga orang-orang yang terus mencoba terbang itu akan terlihat lebih binatang dari binatang, karenA binatang tidak pernah berhasrat untuk menjadi manusia, sementara manusia justru sebaliknya.

Manusia tidak bisa terbang karena manusia tidak punya sayap. Tesa kedua, manusia bisa terbang karena manusia punya angan-angan, yah itu juga bisa, tapi hanya dalam kiasan. Menggambarkan manusia terbang dengan kata-kata dan kalimat-kalimat yang metaforik. Misal, orang itu terbang tinggi dengan uangnya atau orang itu telah jauh melangit bersama ide dan pengetahuannya. Tapi ini bukan soal hal-hal yang metaforik tapi soal teknis, real, dan nyata. Agghhhh.. Saya tidak peduli dengan bahasan-bahasan panjang itu. Yang terpenting dari semua itu, aku harus sampai di kantor secepat mungkin.
Kendaraanku merayap di punggung aspal, melaju tak terkira, menyalip, menggunting, melambung sana-sini, mendahului semua pengendara yang menghalangiku tuk sampai secepat mungkin di kantor. Ini soal etika kerja, aku harus bersegera sampai ke kantor tuk mengetuk pintu ruangan pak boss dan melapor perihal tugas semalam. Pokoknya aku harus segera sampai.

Teman-teman kantor sudah aktif di mejanya masing-masing. Wajah mereka berubah tegang melihatku tegang berlari sekonyong-koyong ke arah pintu ruangan pak boss. Tidak ada sapa atau senyum dari mereka, yang kulihat hanya ketegangan. Tok.. tok.. tok.. tidak ada respon, pintu masih terkunci.

"Pak boss belum datang..!!!, tidak masuk hari ini". teriak seorang teman sembari tertawa.

Okey, fix, aman. Tidak ada yang tewas dimarahi hari ini. Aku selamat dari omelan pak boss.

———-
Siang sudah sampai, matahari sudah tumpah penuh, panas semakin membakar. Rasa penat bersama lelah menyerang. Kuputuskan tuk rehat sejenak.

Sebuah pesan tadi pagi masuk ke handphoneku dan belum kubaca sampai saat ini. Aku perlu membacanya, siapa tahu pesan itu dari pak boss.

Nampak dari kata-katanya, pesan ini penting tapi bukan pak boss. Entah siapa. Ia mengajakku bertemu. Meminta bertemu di warung kopi sekitaran kantor sore ini. Dungu’ betul orang ini, belum juga berkenalan sudah mengajak bertemu. sekalipun penting, setidaknya ajakan itu harus dimulai dengan perkenalan, tapi ini beda, to the point, ingin bertemu langsung.

Kira-kira ia pernah melihatku. Entah dimana, atau mungkin ada hal-hal yang perlu ia ceritakan. Atau bisa jadi baginya perkenalan itu mesti diawali dengan pertemuan. Di dalam pertemuanlah orang saling merajut kecocokan, saling menemukan isi fikiran masing-masing, dan saling mengakrabkan diri. Yah aku sepakat soal itu, tapi tetap bagiku, belajarlah basa-basi, dengan basi-basi kepercayaan kadangkala akan lebih cepat tumbuh.

Orang itu bisa dikatakan tradisional konservatif karena di zaman ini masih butuh pertemuan langsung. Padahal, sekarang setiap orang tidak perlu lagi bertatap muka, duduk bersama dalam satu meja, dan sama-sama minum kopi. Pola-pola itu sudah banyak ditinggalkan, cenderung konservatif dan cukup disebut tidak kekinian.

Hari ini proses komunikasi sudah melintasi ruang. Komunikasi menjadi linear, berbicara tanpa harus bertemu, bertemu tapi tak perlu berjabatan tangan. Hanya cukup mengutak-atik handphone kita sudah tahu profile orang lewat akun sosialnya. Apalagi, narsiztik telah melampaui kadarnya, semua orang memposting apa saja di akun-akun sosialnya tanpa batas ethics. Dengan begitu orang lain dapat tahu bagaimana dinamika pergolakan hidup seseorang.

Orang itu lagi, nomornya sama, ia mengirimiku pesan.

“Rah, jika kamu tak bersedia bertemu denganku hari ini maka maafkan jika aku kan datang ke rumahmu tanpa izin”.

Aku menolak membalas. Itu terlalu nekat. Tidak mungkin terjadi. Mana ia tahu rumahku, kampungku, juga perasalanku. Aku bukan perempuan narsiz yang memberandol profile dan alamatku dimana-mana, juga tak banyak teman-teman yang pernah datang ke rumahku selama ini. Itu tak mungkin, lebih baik aku ke kota, menemui Lesti.

———-
Si pengirim pesan itu menjadi tanda tanya besar di kepalaku. Di setiap derap langkah kaki yang mengepal di lantai selalu muncul pertanyaan-pertanyaan tentang rasa penasaran pada orang itu. Di dalam fikiranku bertengger satu pertanyaan yang tak mampu kujawab hingga saat ini. “Siapa dia ????”.

Soal kenekatannya datang ke rumahku tanpa seizinku hari ini, itu tak mungkin terjadi sehingga aku enggan memikirkannya. Kufikir itu terlalu berbahaya buatnya, terlalu beresiko dan mustahil. Waktupun tak memungkinkan sebab hari sudah mulai petang.

Fikiranku bercabang, terurai seperti akar-akar pohon yang terus mencari dasar dari segala pertanyaan yang tak terlihat di permukaan. Orang itu terlalu misterius untuk diterka, maka menggali jawaban tentang siapa sosoknya adalah langkah yang paling tepat untuk dilakukan sementara ini. Mungkin ia sama sepertiku, sebagai perempuan. Tapi apapun itu, hari ini aku harus menemui Sherly. Tidak ada yang bisa mencegat pertemuan kami.

Langkah kaki terus gontai menemukan lokasi duduk Serly, sementara fikiranku masih terus bercabang pada orang itu. Serli duduk tepat di teras cafe, sedang mengaduk-aduk minumannya yang tinggal setengah. Pasti ia sudah menunggu lama, Jelas terang dari isi gelas minumannya yang tinggal setengah. Wajah murung dan sedikit resah di wajahnya juga terlihat jelas dari balik kaca. Nampaknya ia kan menerkamku dengan omelan.

"Sher, maaf... jalanan macet".

Tanpa banyak tanya ia mengomeliku dengan kata-kata kecewa.

#%*+&@£€¥

Sherly gadis yang baik, ia temanku, sejak di perkuliahan 4 tahun silam. Ceritanya pertemanan kami tak cukup tuk diceritakan saat ini. Yang jelas, sherly adalah tempatku membuang kesedihan dan kegalauanku selama ini. Apapun itu, tak terkecuali. Yah, tak terkecuali.

Sore ini sherly bersedia menemaniku berjalan-jalan. Melepas penat dan stress pekerjaan yang menekan seminggu ini. Kami ke toko buku, tempo hari ia membagi hasil bacaannya padaku tapi tak tuntas dengan hanya sekedar berdiskusi sehingga ia menyuruhku membeli langsung buku tersebut. Hari ini ia besedia menemaniku ke toko buku.

Kami banyak bercerita di perjalanan. Langkah kaki kami pelan menuju toko buku. Tawa dan canda kami membahana di langit-langit mall, merayap di lubang telinga semua orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dua tingkat tangga berjalan kami naiki sambil bercengkrama akrab.

Soal orang itu juga ikut kuceritakan. Sherly menakutiku, menyuruhku bersiaga jika sewaktu-waktu orang itu benar-benar datang ke rumahku. Banyak prediksi-prediksi yang ia sampaikan. Keluar dengan kata jangan-jangan. Jangan-jangan kamu.... ingin dilamar oleh seorang laki-laki. itu yang jangan-jangan yang pertama. Atau Jangan-jangan dia seorang wanita... ingin melabrakmu entah karena apa, bisa jadi cemburu denganmu atau karena salah paham. Itu jangan-jangan yang kedua. Atau bisa jangan-jangan ia hanya mengerjaimu. Itu jangan-jangan yang ketiga, dan beberapa rentetan jangan-jangan yang coba mengusik fikiranku. Tak banyak timpalan padanya, aku hanya mengangguk, sesekali menatapnya serius, dan tersenyum padanya. Di akhir cerita Sherly menghiburku dengan kata-kata pamungkas.

“Rah, jadilah wanita yang setia pada prinsipmu. Tetaplah teguh pada cita-citamu. Jangan pernah goyah pada tiap-tiap perubahan yang terjadi dalam hidupmu. Memilih itu memang jalan kehidupan tapi tatkala pilihan akan melemahkanmu maka takarlah ia dengan baik-baik agar jalan yang kau tempuh kedepan menjadi baik. Kedatangan orang-orang baru dalam kehidupan kita memang akan terasa asing tapi jangan pernah menolaknya, beri saja ia ruang untuk masuk agar kau tahu bagaimana kepandaiannya mewarnai ruang hidupmu. Jadi, jangan terlalu keras pada orang, siapa tahu dia adalah orang baik”.

Sesampai di toko buku, tak banyak kami berkeliling, Sherly langsung mengarah ke rak buku yang ia rekomendasikan padaku.  Akupun langsung menuntuskannya dengan membayar di kasir.

Kali ini perjumpaan kami tak lama. Tak banyak tempat yang kami datangi. Tak seperti biasanya, kami dapat memutari hampir seluruh los-los toko di mall ini, tapi Sejak tadi Ibu terus menelpon menyuruhku pulang.

———-
Gegap kemacetan kota tak terbendung, kendaraan tumpah meluapi jalan, banyak yang memilih melaju di atas trotoar, dan sebagian lainnya mengambil jalan memutar yang sekalipun jalurnya lebih jauh dari jalan ini. Aku tetap disini, di badan jalan ini, memilih menjadi pengendara yang taat pada aturan, juga sabar dengan keadaan. Aku percaya arus jalan akan membawaku sampai pada tujuan. Sebagaimana jalan hidup yang kutempuh, kupilih untuk taat dan sabar pada arus takdir. Tak ada percepatan atau jalan pintas bagiku. Takdir bagiku demikian. Jika sulit, biarkan ia mengalir apa adanya. Mungkin akan tersendat tapi aku percaya ia kan membawaku sampai pada tujuan-tujuan hidup yang baik.

Di teras rumah, duduk laki-laki bertubuh gempal. Wajah itu asing, tak pernah kulihat. Iya, laki-laki itu memang asing, bukan keluarga tapi dengan santainya ia duduk menghisap cerutu. Dari wajahnya, kupastikan usianya sedikit lebih tua dariku.

Ia tersenyum. Kubalas juga dengan senyum. Ia menyapa, kubalas juga dengan sapa. Tanda tanya di kepalaku semakin membesar. Bertanya-tanya pada laki-laki itu. Pada sosoknya. Mungkin saja ia laki-laki yang mengirim pesan itu atau bukan.

Mendesing. Pertanyaan itu semakin nyaring di fikiranku, sampai-sampai aku lupa mematikan motorku. Ia terus menatap ke arahku. Mengernyit. Seperti telah lama menunggu. Tatapannya menusuk, ia sinis, seakan-akan ada yang salah padaku. Ibu pun tak keluar-keluar menyambutku, memperjelas keberadaannya di dalam rumah atau setidak-tidaknya mengabariku perihal laki-laki itu. Kali ini aku benar-benar salah tingkah tapi sudahlah, disenyumin saja.

Sepertinya banyak tamu. Sendal berpasang-pasangan di tangga, suara rumpi dari dalam rumah ngiang menyelinap dari lubang-lubang jendela dan pintu. Laki-laki itu masih duduk di tempatnya, asyik menghisap cerutu sambil manatapku tajam.

Betul, ia sudah lama disini. Asbak itu telah dipenuhi puntung-puntung rokok. Aku mendekat dan menatapnya senyum sembari mengulurkan tangan tuk berjabat. Lelaki ini nampak dingin, tidak banyak bicara, tangannya berkeringat, suaranya basah. Aku mendehem, mengingatkannya pada batas waktu jabatan tangan. Sontak, ia pun melepas tangannya.

“Sudah lama kak”. Yah, aku memanggilnya kak. Wajahnya yang bicara. Ia nampak sedikit lebih tua dariku.

“Iya, lumayan”. Hanya itu, tak lebih dan tak kurang dari jawabannya. Ia dingin. Mungkin saja ia pendiam.

Setelah tuntas percakapan kami, kuputuskan masuk ke dalam rumah, menerabas rumpian para ibu-ibu. Sembari melempar senyum, ada yang berceletuk, berbisik samar tapi masih dapat terdengar. “Itu yah orangnya..”.

&@$&@“/)(€£¥¥}%^*~!!>£\’b%#£]’al£€£¥•}{][\|><£¥.

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar