Sabtu, 29 Februari 2020

SEBUAH CERITA YANG SERIUS DAN TIDAK MAIN-MAIN (AKHIRNYA HARUS INDAH)

Andai bisa memaksa Tuhan, aku kan paksa Tuhan agar kita berjodoh. Tapi ternyata Tuhan tidak suka dipaksa. Dia lebih suka memaksa.

Tuhan seringkali menjadi kejam di posisi-posisi tertentu tapi Tuhan selalu punya alasan atas segala tindakannya. Tuhan juga seringkali menjadi sangat baik bagi setiap orang tapi bisa jadi kebaikan-kebaikan itu hanyalah ujian. Tuhan selalu begitu, bahkan jika kamu sangat membencinya.

Tuhan tidak perlu mengatakan segala maksud tindakanNya. Tuhan hanya mau kamu sadar dan kamu mencari alasannya sendiri. Kamu juga diharapkan untuk tidak terlena pada hal-hal yang dapat membuatmu lupa diri dan lupa Tuhan. Bahkan jika kamu terus menerus mencela dan memaki Tuhan atas dasar ketidakadilan Tuhan, maka itu sesungguhnya tindakan yang paling buruk.

Cerita ini sengaja kutuliskan untukmu agar kau tahu bahwa di zaman lampau, di dataran antah berantah, seseorang pernah mencela Tuhan. Aku membuat cerita ini tampak sangat sempurna hingga kamu percaya bahwa cerita ini benar-benar pernah terjadi. Sekali lagi, ini hanya cerita fiksi sekalipun ceritanya nampak sangat nyata dan benar-benar sempurna.

Alkisah, di suatu zaman hiduplah seorang pemuda yang telah berputus asa dengan nasib buruk. Ketika tak ada lagi yang bisa diharapkan dari hidupnya, ketika tak ada lagi yang bisa dibanggakan setiap kali mata itu terbuka menatap dunia yang muram, lelaki itu pun bersumpah, bahwa setidak-tidaknya ia harus bisa menciptakan sesuatu yang akan memuaskannya kelak, sesuatu yang barangkali akan menjadi satu-satunya sejarah yang tercatat atas namanya. Ya, dan hal itu sudah ada di antara sepasang matanya. Diam-diam, dia ingin menikahi seseorang, dengan sebuah pernikahan yang bahagia.

Tapi kenyataannya semua hal menjadi tidak sempurna, semua hal muncul sebagai kenyataan yang tidak dapat dia genggam dalam telapak tangannya. Dia telah utarakan segala maksud hatinya. Tapi  (maaf, ini sebuah frase yang harus disembunyikan. Frase yang kehilangan kata-kata. Meminjam istilah Cabelagi sang kritikus sastra abad 19 bahwa ini frase sakit hati. Frase yang harus disembunyikan dalam sebuah cerita..%#^**%}}€#%). Maka dari itu, tidak perlu kita tahu detail peristiwanya. Frase itu terlalu kejam. Sebuah frase kesakitan yang serius dan tidak main-main.

Frase itu benar-benar harus disembunyikan. Penulis sengaja menyembunyikannya supaya pembaca tidak berkesimpulan macam-macam.

Baiklah, Sekarang kita melompat pada kejadian setelahnya. Kejadian yang lebih buruk dari kejadian yang mengakibatkan kejadian ini. Tindakan yang bukan hanya sekedar sakit hati. Tindakan yang melahirkan tuduhan yang tajam. Dan tuduhan ini sudah sampai di level paling serius dan tidak main-main. 

28 Maret
Tidak, tidak, ini hanya tanggal ulang tahun lelaki pemeran cerita ini. Kita beralih ke dua hari sebelumnya.

26 Maret
Hari ini, Lelaki itu ingin membawa persoalan ini ke meja peradilan. Dia tidak terima atas nasib buruk kehidupan yang terus bertubi-tubi menimpanya. Dia menyangsi dirinya. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, sesuatu yang menurutnya tidak adil, sesuatu yang baginya tidak pantas ditimpakan padanya. Maka dia bermaksud menuntut Tuhan. 

Menuntut Tuhan????, apa yang harus dituntut pada Tuhan ???, bukankah nasib manusia mengalir seperti air !!??, tak seorangpun yang bisa membendung kecuali Tuhan itu sendiri. Dan bukankah orang-orang yang tidak menerima takdir buruk disebut khianat pada Tuhan !!???. 

Oleh semua orang, tindakan ini adalah kejahatan yang jauh lebih luar biasa dari kejahatan luar biasa. Kejahatan ini benar-benar serius, mengerikan, dan tidak main-main. Perbuatan yang akan dianggap sebagai perbuatan yang melampui batas. Tapi dia tidak main-main maka dia tetap melakukannya.

Semua berawal dari kejadian yang tidak bisa diceritakan dalam frase sebelum ini. Kejadian yang membuat luapan perasaan lelaki itu semakin memuncak dan tidak tertahankan lagi. Kejadian yang tidak bisa diceritakan itu menjadi bom nuklir yang meledak dan membunuh apa saja di sekitarnya, termasuk kewarasan lelaki itu. Itulah sebabnya perkara ini jauh lebih serius untuk diceritakan daripada perkara-perkara lainnya.

‘Menuntut Tuhan’. Sebaris kata dengan objek yang abstrak. Terdengar mudah tapi mustahil. Sekalipun demikian, dia telah memulainya. Pencarian itu diawali pada beberapa orang yang dia anggap dekat dengan Tuhan. Beberapa pertanyaan-pertanyaan sederhana dia tanyakan pada orang-orang itu. Misalnya, dimanakah Tuhan sekarang dan dimanakah peradilan yang layak dijadikan tempat untuk menuntut Tuhan. 

Langkahnya sudah terlalu jauh. Melewati batas. Tidak satu orangpun yang dapat mencegatnya selain dirinya sendiri. Di dalam kepalanya telah tersusun beberapa skenario jahat untuk menyeret Tuhan ke meja peradilan. Ini betul-betul tidak bisa dibiarkan, jika hal itu benar-benar terjadi aku tidak dapat membayangkan kira-kira apa yang akan terjadi pada dunia ini. Iya, Aku takut membayangkannya. Dimana Tuhan akan diseret ke sebuah tempat yang jauh lebih besar dari Tuhan, dan di dalam sana Tuhan sedang duduk sebagai tersangka menghadap majelis hakim dan melaporkan segala alasan-alasan tindakannya pada lelaki itu. 

Ini tidak mungkin terjadi, mustahil, karena Tuhan maha besar, melampui kebesaran dari segala apapun. Tuhan tidak mungkin teradili di dalam sana tapi Tuhanlah yang seharusnya mengadili.

Hal itu tidak boleh terjadi dan mustahil terjadi. Alur cerita ini harus diubah. Jika tidak, penulis cerita ini pun akan ikut terseret ke peradilan Tuhan. Dia kan dianggap sesat dan diganjar hukuman berat.

Baiklah, kalo begitu cerita ini harus benar-benar berubah. Kita kembali pada:

28 Maret
Jangan, jangan, ini masih hari ulang tahun si pemeran cerita ini. Kalau begitu kita melompat sedikit saja. Dalam hitungan jam ke hari berikutnya.

29 Maret
Pukul Dua belas Lewat kosong satu. Jangan, Waktu ini terlalu dramatis. Kita ubah ke pukul Empat lewat seperempat agar cerita ini tidak terkesan dibuat-buat. Di pukul empat lelaki itu terbangun dari tidurnya. Seperti biasa, di jam-jam ini dia bangun lalu sembahyang. Dia laki-laki yang baik, rajin sembahyang, taat ibadah, dan rendah hati. 

Saat dunia menjadi sunyi dan gelap. Malam menjadi dingin, beku, dan hanya samar rembulan yang bersinar di tepi langit. Dia bangun dengan wajah yang kelabu. Hanya masalah yang tampak sempurna di depan matanya. Dan hanya dia yang dapat melihatnya dengan jelas. Sangat gelap, dingin, dan sengaja dia gelapkan. Tak satupun yang boleh tahu, karena itulah dia putuskan menyumbat mulutnya rapat-rapat. Sebentar lagi dia kan tumpahkan segalanya lewat doa-doa.

Selubung cobaan yang menggenapkan kekecawaannya sudah cukup membuatnya meradang sakit. Namun setelah peristiwa penolakan itu terjadi kelabu ngiang menderanya. Kedua bola matanya tidak lagi mampu melihat rembulan bersinar terang. Bintang kejora tertutup dengan awan kelabu. Wajah perempuan itu terus terbayang-bayang Tepat di hadapan mukanya. Menjadi tabir gelap yang menutupi matanya.

Sebetulnya, lelaki itu tahu soal sifat-sifat Tuhan. Dia tahu bahwa Tuhan Maha Sempurna, tapi rasa sakit hati lelaki itu jauh lebih sempurna dan lebih serius dari segala pengetahuannya tentang Tuhan. Maka dia mulai dengan mencari-cari Tuhan di sudut malam yang paling sunyi. Jika Tuhan datang dia kan sangat berbahagia, apalagi jika Tuhan mengabulkan permintaannya dalam waktu yang tidak lama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tentu, pertemuan ini harus dia rahasiakan, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Jika tidak, semua orang pasti kan menuding Tuhan tidak adil. Dan Ini harus menjadi rahasia dalam waktu yang panjang. 

Baginya, Perkara ini sebetulnya sederhana. Cukup Tuhan datang. Jika Tuhan tidak mau datang, cukup mengutus salah satu dari jutaan malaikat cinta tuk mengabulkan permintaannya. Selama ini Niat dan doa-doanya tidak berjalan sesuai harapan. Dari semua doa-doa dan air mata yang tumpah di setiap waktu, Tuhan tak pernah datang dalam rupa yang dia harapkan. 

Tunggu dulu, sebelum lanjut, aku harus sampaikan bahwa jangan salah sangka pada diksi itu. ‘Tuhan tak pernah datang dalam rupa yang dia harapkan’. Dia tidak pernah berfikir bahwa Tuhan akan datang dalam rupa yang sempurna seperti sosok sinar dengan pantulan cahaya-cahaya yang menyilaukan di sekujur tubuhnya lalu mengatakan “katakanlah apa keinginanmu !”. Dia hanya berharap malam ini Tuhan datang serupa petunjuk ke dalam hati perempuan yang telah menolaknya dan lewat petunjuk itulah perempuan itu datang membawa dirinya dan meminta maaf padanya.

Malam ini puncaknya, menjadi malam yang paling gelap. Pandangannya sudah betul-betul kosong pada doa-doa yang dia panjatkan. Di atas sana wajah rembulan tak lagi seindah wajah perempuan itu. Dia telah kehilangan cahaya pengharapan. Wajah indah yang seharusnya telah terpahat rapi di sepasang bola matanya tapi wajah itu tak kunjung datang walau untuk meminta maaf.

Dia ingin perempuan itu merubah keputusannya malam ini juga. Ini salah satu tuntutannya yang paling serius. Terlihat Seperti desakan yang mengharuskan Tuhan mengabulkan tuntutan itu malam ini juga. Jika tidak, maka dia mengancam mengumpulkan jutaan massa, memobilisir orang-orang yang sependeritaan dengannya, lalu berdemo menuntut Tuhan di jalan-jalan kehidupan yang paling sunyi. Tapi ini bukan aksi makar, dia hanya menuntut keadilan ditegakkan.

Pagi sudah tiba, mentari bersinar di ujung ufuk, sejak malam tadi dia tak pernah lagi berdoa. Ini tindakan yang sangat serius, bahkan tidak main-main. Dia kemudian membuat pengumuman di seluruh kanal media sosialnya bahwa siapapun yang pernah kecewa pada keputusan Tuhan maka diharapkan berkumpul di sepanjang jalan kesunyian, pada pukul 10.00 teng. Dia tekankan lagi kata-katanya, bahwa siapapun itu, tak terkecuali, yang jelas pernah kecewa pada Tuhan.

Ini betul-betul serius, berbahaya, dan mengerikan. Sebentar lagi Tuhan akan didemo oleh seorang hambaNya yang taat. Tapi, mana bisa Tuhan didemo, dituntut dengan tudingan tidak adil, dicaci maki di tengah-tengah jalan, dan dipaksa menyerah pada keputusannya. Tiba-tiba Ban-ban akan terbakar, asap-asap api mengepul di tengah kerumunan, dan lelaki itu berteriak dengan toa’ pengeras suara, mencaci maki Tuhan serta mengata-ngatainya tidak adil. Ini kemungkinan cerita yang akan terjadi sebentar lagi. Dan itu tidak bisa dibiarkan. Tidak boleh terjadi. Sekali lagi alur cerita ini harus berubah. Tidak boleh sebebal ini. Jika tak segera diubah maka Tuhan pasti kan murka.

Sebelum terlambat, maka cerita ini harus diluruskan. Ini benar-benar berbahaya.

22 Maret
Ok, Saatnya kita ubah ceritanya. Sekarang kita bergeser tepat satu minggu sebelum kejadian yang mengerikan itu terjadi.

Kita ubah skenario awalnya agar kejadian itu tidak terjadi. Agar tidak ada satu frase kesedihan yang tidak bisa diceritakan di dalam cerita ini. Agar tidak ada penolakan, sehingga tidak ada juga tuntutan yang mengerikan pada Tuhan di masa yang akan datang.

Semuanya dimulai di suatu pagi, di sebuah taman, di satu pertemuan yang tidak terencana, di dalam deretan dialog yang memunculkan satu kesimpulan.

“Huussttt.. kamu diam, coba dengar suara angin itu. Lembut, menenangkan..”. Perempuan itu meletakkan telunjuk di bibir  lelaki itu.

Lalu mereka benar-benar diam. Tanpa suara. Yang ada hanya suara hembusan angin. Yang lembut,, tenang, mengalun.

“Tutup matamu”, ajak perempuan itu. 

Lalu Mereka berdua menutup mata. Dalam empat sampai lima lompatan detik.

“Coba rasakan bagaimana angin menyentuh kulitmu. Merangkak dari ujung jemarimu. Membelai seluruh tubuhmu. Dingin. Halus. Damai..”. Urai perempuan itu.

“Jangan buka matamu”. Masih perempuan itu.

“Coba bayangkan bunga-bunga di sekitar kita sedang bergoyang, lembut, halus. Butir-butir embun sedang merangkak pelan, perlahan, lalu jatuh dari ujung daun kemudian lebur ke dalam tanah. Di atas kepala kita, daun-daun pohon bergesekan, coba dengarkan, suaranya halus, senyap. Lihat, ada yang tanggal, meliuk lambat, terombang-ambing di dalam udara, dan jatuh tepat di pilipis kananmu. Tapi jangan buka matamu, pejamkan saja terus. Sabarlah. Sedikit lagi. Dia pasti datang”. Urai perempuan itu.

Dan mereka berdua masih memejam mata.

“Nah. Dia sudah datang. Hangat. Lembut. Damai.”. Tutup perempuan itu.

Mereka berdua pasrah pada sinar mentari yang datang menyentuh tubuhnya. Perempuan itu yang paling bahagia. Dia teramat senang karena masih dapat merasakan hangat mentari di pagi ini.

“Biasa saja. Tidak ada yang istimewa”. Ucap laki-laki itu sambil membuka mata.

“Kamu memang tidak pekaa, tidak pernah mengerti, tidak punya perasaan”

“Tapi kamu nikmati kan..”

“Bukan, tepatnya terpaksa”

Maaf, percakapan ini harus dibuat tegang. Kita perlu kembali dramatis.

“Biar, yang penting kamu cinta. Coba lihat batu-batuan itu. Batu-batu atol yang seharusnya tidak disini, seharusnya mereka ada di sungai, mereka terpaksa, mereka tidak punya pilihan. Tapi mereka tetap menikmati keberadaannya sebagai batu hiasan agar taman ini menjadi indah. Sekarang mereka harus disini. Sejak mereka diletakkan di tempat itu sebagai hiasan di taman ini mereka tak pernah berpindah dari tempatnya, kecuali seseorang datang, memungutnya dan memindahkannya”.

“Aku tahu maksudmu. Tapi Kamu keliru. Cinta tak seperti itu. Coba lihat ke arah air mancur itu. Di ujung sana. Dibalik guyuran air mancur itu. Sebetulnya yang ingin aku tunjukkan bukanlah guyuran air mancur itu tapi sepasang kekasih yang sedang duduk dibalik, sedang memadu kasih. Sejak tadi mereka berdua di sana, bahkan lebih dahulu dari kedatangan kita di tempat ini. Coba perhatikan sekali lagi, mereka tampak bahagia. Begitulah cinta, harus pekaa, harus berperasaan agar dapat merasakan hal-hal yang halus dan tidak berwujud, seperti kebahagiaan mereka. Cinta juga harus melihat hal yang tidak terlihat di depan mata, bahkan lebih jauh dari itu, yang datang lewat isyarat dan tanda-tanda”.

Lelaki itu tersenyum, dia tercubit oleh kata-kata perempuan yang kian lama semakin cerewet, yang sedang duduk sampingnya ini.

“Tapi kamu mau kan menikah denganku ?”.

Lelaki itu diam sejenak.

“Ini serius, bukan main-main”. Sambung lelaki itu.

Nah, disinilah letaknya. Letak dari frase serius dan tidak main-main itu. Frase kesedihan yang tidak boleh diceritakan. Dan, Frase itu terletak tepat setelah frase ini. 

Ini serius, cerita ini harus diubah. Jika diubah maka tidak boleh diceritakan di dalam cerita ini. Jika kamu menolak mengubahnya, kita lebih baik berhenti, cukup sampai disini, kita akhiri cerita ini saja. 

Sebagai penulis dari cerita ini, Aku tidak ingin menceritakannya. Aku hanya ingin sampaikan bahwa sejak tadi mereka berdua memperhatikan kita. Sejak mereka  pertama kali duduk di kursi itu, kemudian saling memejam mata, lalu menunjuk ke arah kita. Mereka pasti mengira bahwa kitalah sepasang kekasih yang sedang duduk menikmati pancuran air mancur dan saling berbagi kasih di sebuah sudut taman dan tidak menyadari keberadaan mereka berdua. 

Lihat lelaki itu, dia berdiri, kemudian pergi. Sementara perempuan itu masih di tempatnya tenggelam dalam genangan air mata yang mendalam. 

Tapi karena aku telah berjanji bahwa cerita ini harus diubah dengan akhir cerita yang bahagia, agar tidak ada tuntutan dan demonstrasi pada Tuhan. Cerita ini harus tampak serius dan benar-benar sempurna. Ok, mari kita ubah.

Lihat lelaki itu, dia berdiri, nampak sangat senang, kemudian pergi dengan hati yang berbunga-bunga. Sementara perempuan itu masih di tempatnya, tersenyum sendiri, tersenyum pada bunga Cataleya yang tumbuh tepat di hadapannya sambil memegangi jemari manisnya. 

Waooowww... lihat !!, ada sesuatu yang baru di dalam jemari perempuan itu. Cincin emas, iya, itu cincin emas. Cincin lamaran yang baru saja dia terima dari lelaki itu.

Percayalah pada cerita ini. Bukan hanya Tuhan yang perlu kau percaya, tapi aku juga, cerita-ceritaku.

Takalar, 01 Maret 2020. Daeng Palang. Penulis fiksi yang ingin cerita-ceritanya dianggap serius dan benar-benar nyata.


Senin, 24 Februari 2020

CATALEYA

Tidak ada yang lebih rapuh dari masa lalu, selain masa depan yang terlampau tidak jelas untuk diarungi. Mak puak pernah berpesan, lihatlah dirimu lewat masa lalu karena di sanalah tempat yang paling nyaman menerawang masa depan. 

DERAP langkahnya terlalu berat melangkah di jalan setapak yang sedang dia lalui saat ini, maka sesekali dia menoleh ke belakang. Melihat-melihat di sekitarnya. Pada bunga-bunga yang tumbuh berbaris di pinggir jalan.

Lelaki itu sedang mengamati deretan bunga Catalya yang berbaris di halaman rumah sakit ketika seorang perempuan tua menyentuh pundaknya.

Sore itu adalah awal musim hujan, setelah berbulan-bulan dengan suhu sepanas api, kini bunga-bunga mulai bermekaran, kuncup bunga Catalya adalah yang pertama menarik perhatiannya.

“Anggrek Catalya Bunga berkuncup runcing. Aku membayangkan mereka berbaris sebelum tahun baru datang. Dan mekar saat detik-detik tahun baru mulai berganti”.

Dia masih saja diam tak bergeming. Di tepi teras kamar rumah sakit, di bawah riuh burung-burung gereja yang birahi. Dia membayangkan seberapa rapuh kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. 

Meskipun nasib sudah ditentukan sebelum semua betul-betul terjadi tapi dia tetap berharap pada nasib baik di tahun baru ini. Nasib yang dapat mengangkat level ceritanya agar pembaca kian merasa sedang memerankan salah satu lakon dalam cerita.

“Aku hanya seorang pengarang muda. Hidup bergantung pada rimbunnya kata-kata. Jika aku kehilangan kata-kata maka hilang pulalah diriku. Bunga-bunga Catalya, mereka akan berbaris sebagai deretan kata-kata dalam cerita yang baru. Akan mulai kuceritakan sejak detik pergantian tahun ini”.

Tahun baru berarti cerita baru. Cerita baru berarti peruntungan baru. Juga nasib baru. Pokoknya semua hal harus baru agar hasilnya juga baru.

Karena proses kehidupan yang harus terus terbarukan maka seseorang yang bekerja sebagai seorang penulis pasti tahu bahwa tahun baru berarti diksi-diksi baru, lakon baru dengan nama-nama baru, serta penghasilan baru yang seharusnya kian meningkat.

Seorang pengarang cerita pendek mengisi dompetnya dari peruntungan perasaan pembaca. Semakin banyak yang menyenangi ceritanya maka semakin deras pesanan cerita pendek dari redaktur. Maka setelah semua kewajiban pembayaran dari persalinan istrinya lunas dan tuntas dia berjanji akan pulang ke rumahnya dan langsung kembali menulis. Sore ini, setelah antrian cek out rumah sakit.

Masih ada waktu yang cukup tuk menulis tiga hingga lima buah cerita pendek sampai lonceng pergantian tahun berbunyi. Setidaknya salah satu diantaranya bercerita tentang Cataleya, tahun baru, bunga-bunga baru, dan harapan-harapan baru.

“Ini waktu yang tepat untuk menulis sebuah cerita yang tepat. Cerita tentang Bunga kecil yang akan tumbuh bertunas di rumah kami. Aku berharap dia akan mewangi di seluruh sudut ruang dan kamar. Menjadi pelipur lara dan menjadi dewi keberuntungan dalam rumah kami di tahun-tahun yang akan datang”.

Kebetulan, Bunga, anak pertamanya, baru saja lahir malam tadi. Bertepatan saat kuncup bunga-bunga Cataleya mulai bermekaran.

“Anak itu telah lahir sebagai tunas harapan. Pemecah kebekuan dalam rumah tangga. Dia telah lahir membawa harum dan akan hidup dalam ribuan ceritaku selanjutnya”.

Sekalipun dia tidak memiliki kekuatan supranatural untuk mengubah masa depan tapi dia memiliki jutaan kata-kata untuk menciptakan dramaturgi dalam ribuan cerita-cerita pendek. Bunga adalah energi dalam cerita ini. Tokoh sentral yang menggerakkan cerita fiksi ini menjadi kenyataan.

Maka sebelum tahun baru betul-betul berganti, sejak detik-detik kelahirannya berlangsung, dia sudah mengubah segala nasib buruk yang telah menimpa diri seorang penulis cerita pendek yang sekaligus sebagai ayahnya sendiri.

Tentu, semua hal bisa seketika berubah dalam hitungan paragraph. Dalam sebuah cerita pendek. Bahkan hal-hal yang sebetulnya fiksi dapat menemukan nyawa dan energinya jika semua yang fiksi itu diasosiakan menjadi keyataan. Sungguh hanya terlihat sebagai permainan kata-kata tapi bukankah kita dapat hidup dan dapat berbahagia di dalam sana?, di dalam fiksi.

Bangku-bangku yang bergoyang, bunga-bunga bermekaran, burung-burung berkicau, bahkan ketika sebuah cerita pendek sedang bercerita tentang bumi yang kehilangan gravitasi dan seluruh manusia melayang-melayang ke atas langit kita akan ikut merasakannya. Begitulah fiksi menggerakkan kita dalam permainan kata-kata. Menarik fikiran imaginer kita dalam drama cerita yang tidak nyata.

Tangan perempun tua itu masih rekat di pundaknya dan tidak berkata-kata sedikitpun. Dia tahu bahwa anak laki-lakinya ini sedang menikmati kelopak bunga-bunga Catalya yang bermekaran. 

“Bunga-bunga Cataleya, wanginya harum, bunganya indah, kelopaknya berdesak-desakan. Rimbun di musim hujan dan berguguran di waktu kemarau. Gugur sebagai kenyataan yang tidak bisa kembali tapi aku kan terus mengejanya sebagai deretan kata-kata yang terus bermekaran”.

Rumput-rumput taman rumah sakit masih basah sejak hujan berhenti sejam yang lalu. Butir-butir hujan masih lengket di daun-daun rumput, juga di daun bunga-bunga Catelya. Satu-dua di antaranya tabah diinjak oleh manusia yang merasa dirinya tak berguna. 

Namun lelaki itu masih tetap diam saat tangan perempuan itu tetap di pundaknya.

“Tidak perlu musim semi untuk membuat bunga-bunga bermekaran. Aku hanya butuh hujan untuk membuat segalanya menjadi indah. Hujan membuat kenangan tumbuh sebagai imajinasi. Kata-kata membuat imajinasi menjadi sebuah cerita. Dan cerita romansa membuat perasaan yang sedih menjadi terlihat berbunga-bunga”.

Dia masih tetap diam. Berbicara dalam hati. Dan tidak peduli pada siapapun.

Mulut lelaki itu sebetulnya ingin berbicara, atau hanya sekedak menyapa perempuan itu dengan sebutan “mak”, tapi dia sudah terlanjur hanyut dalam genangan hujan. Hanya tunas bunga-bunga Catalya yang berbicara, bahwa dia sedang tidak ingin diganggu. Dia ingin sendiri, menikmati kebahagiaan yang hari ini lahir dalam bentuk anak perempuan.

Di pihak lain, Perempuan tua itu juga paham bahwa sebetulnya dia sedang mengganggu suasana, maka dia lepaskan tanganmya dari pundak lelaki itu lalu berdiri menatap ke arah taman yang sama. Tak satupun yang berbicara atau sekedar menatap wajah masing-masing. 

Membatulah mereka berdua di tempatnya masing-masing. 

“Aku ingin kembali menulis mak”. 

Lelaki itu memulai. Semakin kukuh saat dia melanjutkan ucapannya.

“Aku akan menulis sesuatu yang baru. Menulis cerita masa depan, bukan menulis masa lalu. Aku ingin ceritaku hidup dalam masa depan, bermekaran di sepanjang baris kata-kata, agar seluruh yang membaca tulisanku merasa bahwa aku lah manusia yang paling berbahagia”.

Ibunya tahu tentang segala yang terjadi pada anaknya. Dia tahu tentang masa lalu anaknya yang rapuh. Juga tentang bagaimana anaknya menikahi seorang perempuan yang tidak pernah dia cintai sedikitpun. Dan hingga hari ini anak itu masih tetap setia. Ibunya tahu setelah membaca cerita-ceritanya di masa lampau.

“Seseorang telah memetik Bunga Cataleya tapi aku hanya bisa diam membatu di luar sini. Jejaknya tertinggal di hamparan rerumput nan hijau. Cataleya yang malang, tahun belum juga berganti tapi kelopaknya sudah ra’ib dalam genggaman orang lain”.

“Sekarang waktunya pulang nak, semua barang sudah dalam koper. Istri dan anakmu sudah bisa pulang”. Ujar perempuan tua itu.

Mereka kemudian pulang ke rumah. Meninggalkan rumah sakit, dan bunga-bunga Catalya yang sudah tumpas dipetik orang.

Makassar, 25 Februari 2020. DAENG PALALANG. Penulis Cerpen CATALEYA.



Minggu, 23 Februari 2020

INKOHERENSIA


Semua orang menyukai hal-hal instan tapi tidak semua yang instan dapat menghasilkan semua hal. Ini jaman edan, banyak orang yang memilih jadi edan.

Alkisah, di sebuah negara yang menolak berkembang, hiduplah seorang ilmuwan muda yang nyaris putus asa disebabkan selama bertahun-tahun tidak satu pun temuan dan teorinya dinobatkan sebagai temuan fenomenal. Padahal, dia sudah mengerahkan segala upaya, baik itu dengan ikut seminar-seminar internasional dengan biaya pribadi maupun bersponsor, melanjutkan kuliah hingga meraih deretan titel sarjana yang sungguh luar biasa panjangnya, hingga menyapa dan berusaha akrab dengan para profesor-profesor tua yang pernah mahsyur dengan penemuannya, tetapi semuanya gagal. Sampai akhirnya ia pun pergi meminta bantuan dukun.

“Bisakah Anda memasukkan roh ilmuwan atau filsuf hebat dari masa lalu ke dalam tubuhku ?”

Sang dukun menatapnya dengan heran, biasanya dia mendapat klien yang ingin dagangannya laris, ingin menang pemilu, ingin naik jabatan, atau ingin merebut istri orang. Baru kali ini ada yang memintanya memasukkan roh ilmuwan ke dalam tubuhnya. Tetapi, tentu sebagai dukun profesional segala permintaan tidak boleh ditolak.

“Bisa, anda mau roh siapa ?”.

“Seorang filsuf, siapapun orangnya”.

Ini bukan permintaan yang sulit bagi sang dukun. Lalu dia berkomunikasi dengan ribuan ruh dari kumpulan para filsuf yang sedang minum kopi sambil membincang teorinya masing-masing di sebuah warung kopi di pojok alam gaib. Archimedes, Plato, Descartes, dan Anaximandes bersilang duduk dalam satu altar mendebati perihal kebenaran. Phytagoras dan Archymedes, nampak sibuk bermain catur di sudut yang lain.

Pertama-tama, sang komunikator alam arwah dan alam nyata merekomendasikan Phytagoras. Seorang filsuf abad pertengahan yang menggagas sebuah idea tentang setiap jiwa itu abadi, dan setelah kematian, jiwa tersebut akan masuk ke tubuh yang baru. Ini sangat penting untuk si ilmuwan muda itu agar dia tahu bahwa transfusi arwah benar-benar dapat terjadi. Sekalipun dia sendiri telah meyakini hal itu 

Selain menjadi filsuf, Phytagoras merupakan seorang matematikawan yang hingga hari ini masih sangat familyar di buku-buku sekolah. Dia terkenal dengan teorema Phytagorasnya. Lalu semuanya benar-benar terjadi. Ilmuwan muda kerasukan ruh Phytagoras.

Dengan adanya Phytagoras di dalam tubuh ilmuwan muda itu maka dia langsung berubah menjadi ilmuwan matematika ternama. Kini, dia dapat menjabarkan tentang teori Phytagoras dengan sangat detail, nyaris sempurna, sebagaimana penjelasan seorang Phytagoras yang asli. Mendengar berita itu guru-guru matematika dari sekolah-sekolah ternama di negeri ini pun silih berganti datang dan menyerahkan dirinya menjadi murid. Mereka sengaja datang untuk mendengar fatwa segitiga Phytagoras yang fenomenal di zaman modern.

Namun sesuatu yang buram mengganjal di alam fikiran ilmuwan muda itu. Dia takut kemalangan yang sama menimpa dirinya di suatu hari nanti. Phytagoras ditemukan mati dalam keadaan bunuh diri di dalam bilik segitiga imaginernya. Sudut semu yang dia temukan untuk melipat segala kenangan masa lalu. Sudut yang paling sunyi, sepi, dan menyiksa.

Menyadari hal itu maka ilmuwan tersebut bergegas ke dukun tuk mengganti arwah. Sang dukun mengabulkan permintaannya. 

“Aku ingin ganti roh”.

“Roh siapa yang kau mau ?”

“Isaac Newton”

Sebagaimana transfusi roh yang pertama, maka masuklah Isac Newton ke tubuh ilmuwan muda itu. Kehidupannya tiba-tiba berubah drastis seperti sir Newton yang dapat menghabiskan waktu berdiam diri berhari-hari di dalam kamar untuk menulis lembaran-lembaran teorema tentang gravitasi dan hukum aksi-reaksi. 

Isac Newton, dikenal sebagai sang bapak ilmu fisika yang pertama-tama menemukan hukum gravitasi universal, serta hukum aksi dan reaksi gerak. Tak disangka, Isac Newton sangat senang ketika ada yang memintanya untuk kembali ke dunia nyata menyusun teori-teori fisika walau hanya lewat tubuh orang lain. Transfusi itu lalu segera diselesaikan. Sang Ilmuwan muda itu dengan sigap mencari tumpukan kertas-kertas kosong dan segera menulis sebuah anti-teori.

Belum cukup seminggu ilmuwan muda itu telah mampu menulis karya terbarunya dengan judul The Critical of Philosophia Naturalis Principia Mathematica. Sebuah kritik atas prinsip kenaturalan Matematika yang pernah dibuat oleh Isac Newton sendiri sekitar abad 17.

Karya tersebut langsung booming di dunia Matematika dan Fisika. Si ilmuwan muda mulai dipanggil sebagai orator di forum-forum ilmiah yang menyangkut ilmu fisika dan matematika. Menjadi dosen tamu di perguruan-perguruan tinggi ternama di dalam dan luar negeri. Mendapat gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang matematika atas hasil pencapaian teorinya.

Seluruh professor yang pernah menertawakan karyanya terdecak kagum.

“Sir Isaac berenkarnasi”. dan diberilah dia gelar the new Newton.

Sayangnya, Newton tidak tahu mengetik komputer. Dia menyusun teori-teorinya hanya lewat kertas dan pulpen. Si ilmuwan muda itu lalu merasa seluruh kecanggihan teknologi yang dimiliki zaman modern ini tak punya arti apa-apa. Dia menulis di sepanjang malam tapi tidak dengan komputer, hari demi hari dia lewati dengan pola makan dan tidur yang tidak teratur hingga akhirnya tubuhnya mengempis, daging pipinya mengerut, dan menjadi kurus kerontang.

Dia tidak mampu mengimbangi Newton. Merasa tersiksa dengan pola hidup Newton yang sangat tekun maka dia kembali ke dukun dan meminta mengganti arwah. Kali ini dia mau seorang ilmuwan yang progresif tapi tidak suka menulis.

“Bagaimana dengan Latham Scholes ?”.

Mengiyakan rekomendasi dukun, ilmuwan muda itu kemudian kerasukan Latham Scholes, penemu mesin ketik yang belakangan menjadi seorang polikus. Scholes menghabiskan masa tuanya sebagai seorang senat dari partai konservatif Amerika.

Scholes sendiri teramat senang kembali ke dalam dunia nyata. Apalagi di dalam tubuh seorang ilmuwan yang sedang naik daun. Dulu, seorang ilmuwan dikenal arif dan baik sehingga mudah bagi seorang ilmuwan untuk terjun di gelanggang politik. Maka Ilmuwan muda itu mulai membuat satu jurnal ilmiah dan karyanya meledak di pasaran, tentang strategi pemenangan dalam pemilihan umum.

Nada tulisannya kali ini nyaring. Menusuk, progresif, kritikis, dan tidak pandang bulu pada dunia ilmuwan. Tulisan tersebut membuat para ilmuwan di seantero dunia kebakaran jenggot hingga ilmuwan muda itu ditantang membuktikan tuduhannya ke depan mahkamah pengadilan para ilmuwan. Dia pun tak takut dan menerima tantangan tersebut. Ilmuwan muda itu sudah sangat percaya diri. 

Dia mulai berorasi dengan nada berapi-api. Di tengah orasinya dia mengutip satu paraghraf dari jurnal fenomenalnya “Tapi ternyata zaman sudah jauh berubah, Demokrasi telah dibajak oleh segelintir orang yang mengaku diri anti otoritarianism tapi di belakang layar mereka sedang bersetubuh dengan penguasa otoriter. Para ilmuwan juga kehilangan nalar sosialnya, mereka sibuk mengurus dirinya sendiri. Bereksperimentasi tapi lupa bersosialisasi”.

Satu bait kata penutup yang membuatnya mendapat tepuk tangan dari seluruh hadirin ilmuwan adalah “kita ini kelompok orang-orang pintar yang terus terbang ke atas langit, sepasang sayap kita adalah pengetahuan dan keilmiahan, tapi kita lupa bahwa kehidupan manusia bukan di langit tapi di bumi”.

Tapi Scholes tetaplah Scholes. Seorang politikus-ilmuwan yang berhati lembut dan halus. Karena keadaan zaman ini yang teramat memprihatikan lalu dia minggat dari tubuh ilmuwan muda itu dan kembali ke dunia asalnya tanpa permisi.

Padahal, baru saja ilmuwan muda itu kebanjiran pesanan dan pertanyaan-pertanyaan ilmiah. Dia mulai terkenal sebagai Ilmuwan serba bisa. Menguasai semua jenis rumpun pengetahuan. Dari Exacta hingga Sosial Sains, dari filsafat hingga mekanika. Ada yang memintanya mengkritik Siklus theory milik ibnu Rusyd, mengkritik Humanisme Fromm, merekonstruksi nominalisme Ockham yang cenderung minimalis, Membuat obat kecantikan anti matahari atau sekedar bertanya perihal Qannun of Medichine Avicenna, serta beberapa surat-surat permintaan interpretasi teori dari berbagai kampus dan forum-forum ilmiah.

Menyadari bahwa dia tidak mungkin melakukannya sendiri. Maka Ilmuwan muda itu mulai panik dan kembali ke dukun meminta transfusi roh baru. Tapi dukun menolak karena di alam arwah para ilmuwan sedang geger. Hippokrates berhasil mengalahkan Shi Sho dalam babak knoct out turnamen catur tingkat arwah ilmuwan. Ini fantastis, Shi Sho adalah penemu catur di dunia nyata, dan sepanjang turnamen ini berlangsung Shi Sho tak pernah terkalahkan. 

“Dia juara bertahan selama ini. Dia bukan lagi pusat tata surya percaturan. Shi Sho sudah kalah”, Ucap Galileo.

“Tahaffut at Tahafut”, sorak Averhoes seolah-olah menyindir Shi Sho yang tak berfilsafat.

“Ini seperti big bang. Ledakan besar untuk Shi Sho”, kata Lemaitre.

Mendengar kegegeran dunia arwah, dukun pun tak bisa berbuat banyak.

“Seluruh ilmuwan dan filosof masa lalu sedang sibuk menjawab kekalahan Shi Sho. Mereka tidak ingin diganggu”.

Berbulan-bulan kegegeran itu tak berakhir. Akibatnya, Para pengagum ilmuwan muda mulai jenuh menunggu. Sementara itu dia hanya sibuk meratap di dalam kamar kerjanya. Tetapi, karena namanya telah begitu besar, para kritikus juga sudah telanjur memujinya, ditambah label ilmuwan muda pun telah melekat, maka tak ada seorang pun yang berani menuduhnya secara terang-terangan.

Bahkan sampai suatu hari ilmuwan muda itu ditemukan mati dengan cara menenggak sebotol obat penumbuh rumput yang dicampur larutan pembasmi nyamuk, ia tetap dikenang sebagai sastrawan hebat di negaranya.

Takalar, 24 Februari 2020. INKOHEREN. Cerpen Daeng Palalang.

Senin, 17 Februari 2020

BATARA

Hujan semakin ricis, daun-daun pisang robek oleh hujaman hujan. Angin barat semakin dingin menusuk. Rumput-rumput liar basah karena genangan hujan. Pagi ini matahari tidak terbit.

“Jangan menolongku, biarkan aku pergi sendirian. Pergilah, aku tak ingin kematianku disaksikan olehmu nak”.

Lelaki tua ini semakin keras kepala. Dia tahu kalau usianya tidak lama lagi, mungkin sisa hitungan detik kedepan. Dia ingin pergi sendirian. Lalu dia betul-betul tiada, pergi meninggalkannya sebatang kara.

Kita kembali pada hitungan bulan yang lalu. Tepatnya 6 bulan yang lalu. Anak itu kehilangan orang tuanya dalam kecelekaan beruntun di tanjakan Mangolitur. 

Hanya dia yang tidak ikut waktu itu. Ibu, bapak, tante, dan adiknya yang berusia 2 tahun, serta saudaranya yang paling tua ikut terbakar dalam mobil yang mengguling ke dalam jurang.

Dalam kecepatan di atas rata-rata sebuah mobil menyalip dari sisi kanan, sementara itu dari arah yang lain sebuah mini bus juga melaju dengan sangat kencang. Peristiwa pelambungan itu sebetulnya nyaris berhasil, hanya saja mobil itu kehilangan kendali dan menambrak tebing jalan di sisi kiri jalan. Ayah pun kaget lalu membanting stir ke arah kanan, dan raiblah mereka ke dalam mulut jurang yang dalam dan gelap.

Tubuh mereka tidak diketemukan. Tidak satupun alat berat yang bisa mengangkat mobil itu dari dasar jurang. Otomatis seluruh orang-orang yang jatuh ke dalam sana dinyatakan telah mati dan terkubur di dalam sana.

Dalam hitungan detik peristiwa kecelakaan itu menjadikannya yatim piatu. Hidup sebatang kara tanpa ibu dan bapak, seperti kehidupannya dalam hitungan detik yang lalu. Selama enam bulan kemudian, dia jalani hari-hari yang penuh kehilangan bersama kakeknya yang saat ini terbaring sakit. 

Hari ini kakeknya pun mati. Nyawanya raib dimakan usia tua. Tidak satupun yang melihat peristiwa kematiannya. Termasuk cucunya sendiri. Dia sengaja mengusir anak itu. Dia tak ingin mati dalam keadaan yang teramat tersiksa bathin karena meninggalkan cucunya yang masih belia hidup sebatang kara.

Anak itu kini hidup sebatang diri. Tante dari ibunya juga ikut meradang nyawa dalam peristiwa kecelakaan itu. Ayahnya seorang anak tunggal sehingga tak punya paman atau tante yang dapat dia jadikan sebagai tempat bernaung. Kakak dan adiknya juga ra’ib dalam kecelakaan.

Dia hanya bisa meratapi wajah kakeknya yang mati dalam hitungan detik yang lalu. Wajah kematian yang menyiratkan beban fikiran yang terlampau berat. Wajah yang tidak ikhlas meninggalkan cucunya yang masih belia untuk hidup seorang diri di dunia ini. Ada harapan dan permintaan yang teramat tulus yang dia letakkan di atas dahinya. Andai mungkin kematian dapat ditunda maka kakek itu akan menunda kematiannya hingga batas kontrak yang telah ditentukan. Kakek itu mengasihi cucunya, andai saja bisa maka dia ingin mati saat anak itu sudah dewasa.

Kematian tidak dapat ditunda apalagi dinegosiasikan. Kematian adalah keniscayaan pada mereka yang saat ini berajal dan juga pada mereka yang hidup hingga batas waktu yang tidak dapat ditentukan. Maka sempurnalah penderitaan anak itu setelah segalanya benar-benar tiada. Anggota keluarganya yang tersisa satu-satunya pun hari ini telah tiada, kakeknya yang dia cintai.

Di hari-hari yang akan datang kesendirian akan menjadi malaikat penjemput nyawa untuknya. Tangisan dan ratapan akan menjadi kematian yang pelan-pelan membunuhnya. Sungguh anak itu masih terlalu belia untuk hidup sebatang kara. 

Kesedihan menyambar-nyambar di kepalanya. Awan gelap pelan-pelan menggumpal tepat di depan matanya. Menjadi tanda akan turunnya hujan air mata yang teramat menyakitkan. Melihat wajah kakeknya yang kian pucat maka jatuhlah hujan itu sebagai tangisan yang akan terus rintik hingga bertahun-tahun yang akan datang. Bahkan di seumur hidupnya.

“Kakenda, kenapa kau ikut pergi..!!??..”. Sesal anak itu pada kakeknya.

Dia terus menggoyang-goyangkan tubuh kakeknya dengan harapan mata kakeknya akan kembali terbuka. Tapi kakeknya telah betul-betul tiada, tak mungkin bergeming, takkan dapat menjawab teriakannya walau hanya sebatas isyarat. Tubuh kakeknya mulai dingin. Dia pun yakin bahwa kakeknya sudah betul-betul tiada.

Anak itu ingin sekali melihat kakeknya hidup kembali untuk sekedar menikmati pelukannya yang teramat hangat. Atau hanya sebatas mengelus-elus kepalanya dan mengajarinya memakai sepatu. Tidak akan ada lagi cerita perihal rotan kehidupan. Sebuah cerita yang tidak pernah tamat dia ceritakan.

Kakeknya pernah bepesan, saat dia terlalu sering memotong ceritanya. 

“Cerita ini tidak akan pernah tamat diceritakan sepanjang kita yakin bahwa dia belumlah mati”. 

Dia lalu bertanya perihal sosok kesatria itu. Kakeknya menjawab bahwa “dia hanyalah manusia biasa, tapi perjuangannya melawan ketidakadilan akan terus diceritakan hingga ketidakadilan itu benar-benar tiada di negeri ini”.

Anak itu tak bergeming. Bahasa kakeknya terlalu rumit untuk dia cerna.

“Di usia 9 tahun dia diangkat sebagai raja, lalu diasingkan ke sebuah pulau entah berantah, negeri jauh dilaoh. Negeri yang semua orang memuja-muji dewa keadilan sebagai Tuhannya. Disana dia hidup sebatang kara. Dibesarkan oleh kerasnya kehidupan. Bersekolah hingga dia tahu banyak hal. Dan hingga dewasa dia tetap kukuh pada perjuangannya melawan ketidakadilan”.

“Apakah orang itu kembali ke kampungnya menjadi raja kek ?”

“Tidak, bagi orang yang meyakini bahwa tidak ada keajaiban di dunia ini”.

Anak itu mencerna.

“Bagi orang-orang yang seperti itu mukjizat dan keajaiban hanya ada di zaman Nabi. Bagi mereka tidak ada orang yang dapat hidup hingga ratusan tahun lamanya di zaman ini”.

“Tapi kek ?”. Potong anak itu.

“Iya,, tapi bagi orang-orang yang yakin bahwa keajaiban akan terus ada hingga datangnya hari akhir maka mereka akan meyakini bahwa orang itu akan kembali ke kampungnya dan melawan ketidakadilan di sana”.

Anak itu tak bergeming.

“Pohon rotan itu sebagai tanda kejadian bahwa dia kan hidup abadi. Dan ada di samping orang-orang yang setiap saat percaya bahwa dia memang masih hidup”.

“Maksudnya kek ?”. Anak itu memotong.

“Dia pernah berpesan bahwa tongkatku ini akan tumbuh sebagai rumpungan rotan, dan sebagai penanda bahwa aku akan terus hidup bersama kalian. Jika pohon rotan ini mati, barulah saat itu aku akan benar-benar tiada”.

Air mata terus mengalir dari matanya. Tubuh kakeknya semakin pucat. Dia baru sadar bahwa orang-orang harus tahu perihal kematian ini. Lalu dia meminta tolong sekencang-kencangnya, dan datanglah orang-orang satu per satu mengurusi jenazah kakeknya.

Sore hari selepas ritual pekuburan jenazah selesai. Dia mendatangi rotan kehidupan dan memandangi rimbun pohon rotan itu. Dia berharap bahwa kakeknya akan muncul dari sela-sela batang rotan. Dia berharap kakeknya akan hidup di tempat itu dan akan berkata kepadanya “aku akan hidup selama pohon ini masih hidup. Aku kan terus bersamamu nak”.

Tapi hingga malam tiba, kakeknya tak kunjung muncul. Dan hujan tiba-tiba mengguyur.


Sawakong, 17 Februari 2020. DAENG PALALANG. Kisah ini disadur dari kisah masa lampau.