BUNGA kecil yang tumbuh di halaman itu mengingatkanku pada masa kecil yang teramat murung.
Dua Puluh Dua tahun silam saat aku masih di Madrasah tingkat bawah (SD), aku duduk di kelas lima, saat itu kami kedatangan seorang murid baru bernama Bunga. Aku tidak tahu Bunga ini berasal dari mana, yang jelas kami satu kampung. Bunga tinggal di rumah Daeng Maliang dan Rabanong, yang tiada lain paman dan tantenya sendiri. Sebelum ke kampung ini dia tinggal bersama orang tuanya.
Bunga adalah ingatan yang rapuh, penuh gejolak, penderitaan, dan kesedihan. Aku dapat merasakan dari wajah Bunga saat ibu guru menyuruhnya berdiri di depan kelas untuk memperkenalkan diri kepada kami. Dia menyimpan kelabu dari balik sorot matanya. Kulit wajahnya yang lembut tidak menandakan kelembutan hatinya. Bunga selalu menunduk ke bawah saat berbicara, seakan-akan sesuatu yang raib sedang dia sembunyikan di dalam tanah.
“Nama saya Bunga”
“Bunga Bangkai”, sorak Saipul.
Satu kelas pun gaduh tertawa terpingkal-pingkal. Hanya aku yang tidak tertawa, aku lebih memilih melihat wajah Bunga yang tertunduk diam.
Begitulah kesan pertemuan pertama kami. Teman-teman memandang Bunga sebagai seseorang yang asing, lucu, dan layak untuk ditertawakan. Sebetulnya aku jengkel pada teman-temanku yang menertawakannya. Dan Bunga pasti merasa kelas ini aneh. Itu nampak dari wajahnya yang marah dan heran.
Aku tidak begitu mengerti pada diriku sendiri, saat seluruh teman-teman memilih menertawakan nama Bunga, aku justru memilih berpihak pada perasaannya. Tapi nama Bunga memang nama yang unik untuk ukuran anak-anak seperti kami. Nama yang dapat dihubungkan dengan bunga apa saja. Bunga mawar, bunga anggrek, bunga kamboja, dan bunga bangkai. Ada juga bunga rampai atau bunga kata-kata atau bunga bongsai, tapi ketiga bunga-bunga yang terakhir untuk ukuran anak-anak seperti kami itu istilah yang terlalu awam.
Suasana gaduh di kelas berlangsung lama hingga bel pulang sekolah dibunyikan. Tidak menutup kemungkinan akan berlangsung hingga esok, esok lusa, dan berminggu-minggu kedepan. Bunga akan menjadi Bunga Bangkai di mata mereka, utamanya Saiful sang pencetus nama itu. Bunga yang akan terus dieja oleh teman-temanku sebagai nama Bunga yang baru. Sebagai bahan olok-olokan untuk Bunga. Dan sebagai cara yang paling jitu untuk menyakiti hati Bunga.
Seperti kejadian saat istrahat, Saiful dan Parno sengaja mengumpulkan bunga tai ayam ke dalam tas Bunga. Saat pelajaran menggambar bebas dimulai tas itu mulai mengeluarkan bau tai ayam. Karena bau yang sangat menyengat Bunga lalu membuka tasnya dan menemukan serumpungan bunga tai ayam di dalam tas itu. Bunga menangis. Saiful dan Parno tertawa. Aku hanya diam menyaksikannya. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain memberitahu bu guru bahwa Bunga menangis.
Jauh di dalam hatiku terpatri rasa kasihan pada Bunga, tapi aku tahu bahwa aku hanyalah seorang pengecut. Maaf Bunga, aku tidak bisa membantu banyak. Aku hanya bisa diam. Aku takut jika aku membelamu maka aku juga kan menjadi olok-olokan mereka.
Bunga hanya bisa menangis dan menundukkan kepala. Dia pasti tahu bahwa yang menaruh bunga tai ayam itu tiada lain adalah Saiful dan Parno. Dia hanya bisa memendam kemarahan, menyumbat kegeramannya di dalam lubuk hatinya dalam-dalam. Bunga teramat tabah dalam kejahatan ini. Dia bunga kedamaian yang memilih hidup damai ketimbang saling berselisih dan saling gontok-gontokan.
Aku sendiri mulai mengaguminya. Setiap memandang Bunga aku seperti sedang melihat Bunga Anggrek milik ibu. Bunga yang indah dan rendah hati. Seperti Bunga Anggrek milik ibu yang tumbuh di halaman rumah. Tumbuhnya selalu menjulur ke bawah. Suatu hari pernah kutanyakan pada ibu. Waktu itu ibu sedang menyiram bunga-bunganya. Katanya, Bunga Anggrek adalah bunga bumi. Semakin berbunga semakin menunduk, semakin indah semakin tabah. Seperti bumi yang menumbuhkan pohon-pohonan, gunung-gunung, lautan, serta bunga-bunga. Bumi yang selalu tabah meskipun setiap saat dikotori dan diinjak-injak oleh manusia.
Jadi bunga anggrek adalah bunga milik ibu yang paling tabah. Bunga yang diciptakan Tuhan untuk mengajarkan manusia agar selalu tabah dan sabar. Saat ibu mengajariku perihal bunga anggrek maka saat itu pula aku mulai kagum pada semua bunga anggrek, tak terkecuali bunga anggrek yang tumbuhnya tidak menunduk. Tapi apakah ada bunga anggrek yang tidak tumbuh menjulurkan batangnya ke bawah ??, ahh itu urusan lain yang jelas aku suka bunga anggrek, kata ibu itu bunga bumi.
Sejak ibu bercerita soal bunga anggrek, mulai saat itu pula di setiap aku berangkat dan pulang sekolah aku sengaja menciumi bunga-bunga anggrek ibu sebagai bentuk kekagumanku pada sifat bunga anggrek. Aku memang tipikal orang yang mudah mengagumi apa saja yang bersifat rendah hati, meskipun itu hanya sebatas bunga yang tak bernyawa. Hingga aku bertemu Bunga—temanku, Aku akhirnya semakin mengerti bahwa bukan hanya bunga anggrek milik ibu yang tumbuh sebagai bunga bumi yang tabah dan rendah hati tapi juga Bunga yang menjadi teman kelasku ini.
Bunga, anak malang yang jauh dari kampung halaman dan kedua orang tuanya. Seseorang yang hatinya harum seharum bunga kamboja yang tumbuh di halaman sekolah. Seorang teman yang satu kalipun tak pernah kulihat tertawa. Dia lebih asyik menikmati dirinya sendiri dengan terus menunduk ke muka bumi seakan-akan mengadu pada bumi bahwa semua orang di sekolah ini adalah orang-orang jahat dan tidak berperasaan, termasuk aku.
Aku teramat penasaran pada sosok Bunga. Bagaimana bisa ada orang setabah dia. Untuk mengobati rasa penasaranku, aku sengaja berjalan memutar ke rumah Bunga saat pulang sekolah. Itu aku lakukan tiada lain untuk melihat Bunga dari jauh. Sore harinya aku kembali lewat di depan rumah itu dan kudapati Bunga sedang membersihkan kandang ayam. Rumah tersebut tampak sepi, hanya Bunga dan segompok kayu bakar yang terlihat jelas dari luar. Sesampai di rumah, aku tanyakan pada ibu perihal rumah itu. Kata ibu, rumah itu memang selalu tampak sepi. Sejak empat tahun lalu Daeng Maliang terserang stroke, seluruh tubuhnya lumpuh dan tidak bisa bergerak. Otomatis Istrinya—Rabanong yang menjadi tulang punggung, itupun Rabanong bekerja serabutan sebagai tukang cuci pakaian, yang menggantungkan harapannya dari panggilan warga yang malas mencuci. Daeng Maliang dan Rabanong tidak punya anak. Kata ibu, anak yang ada di rumahnya itu adalah anak saudaranya. Kedua orang tuanya bekerja sebagai Tenaga Kerja Asing, dan dua tahun lamanya sejak kepergian orang tuanya tidak satupun kabar pernah mereka kirimkan.
Dari cerita ibu, aku akhirnya tahu soal Bunga. Dia betul-betul tabah. Hidup seorang diri menunggu kabar dari orang tuanya. Hidupnya hampir ra’ib ditelan oleh kepergian orang tuanya dan sempat terselamatkan tapi pun jatuh ke dalam rumah Rabanong yang dipenuhi kegetiran. Bunga betul-betul tabah, semangatnya bersekolah melampaui kelaziman yang ada. Saat Saipul dan Parno beraksi, Bunga tak peduli pada apapun, tidak mengatakan apa-apa, tidak pula menangis, ia hanya menunduk dan seolah tidak terjadi apa-apa.
Terakhir ingatanku tentang Bunga saat ujian nasional berlangsung. Pada hari terakhir pelaksanaan ujian. Bunga tak kunjung datang. Karena ketidakhadirannya maka pihak sekolah memutuskan mendatangi rumahnya. Di dalam rumah, Rabanong menangis setengah mati, dan bercerita perihal Bunga yang terseret arus sungai saat mereka berdua ke tengah hutan mencari kayu bakar. Hingga saat ini belum ada kabar soal Bunga.
Sejak Peristiwa itu Bunga tak pernah kembali, semua orang meyakini bahwa Bunga mati tenggelam dan tubuhnya sudah jadi santapan binatang buas.
Begitulah akhir ingatan tentang Bunga. Sebuah ingatan masa kecil yang rapuh.
Di kursi teras Rumah Sakit ini aku masih memandangi bunga di halaman itu. Bunga anggrek Cataleya. Bunga yang indah, yang mengingatkanku pada seseorang yang dua puluh tahun silam pernah menjalani masa kecilnya dengan teramat tabah.
Istriku tahu soal bunga anggrek kesukaanku, dia juga memang suka memelihara bunga. Bahkan di saat-saat persalinannya sekarang ini dia ingin ada bunga di sampingnya. Menciuminya lebih dahulu sebelum minum obat. Dia betul-betul suka bunga. Baru saja dia melahirkan anak kami, dan aku yakin dia tidak akan pernah komplain soal nama yang kuberikan pada anak itu: Bunga Meirah Ditanya. Nama yang akan terus mengingatkan pada masa lalu, pada ketabahan dan pada keharuman hati.
Takalar, 16 Februari 2020. DAENG PALALANG. Penulis seorang laki-laki yang menyukai Bunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar