Semua orang menyukai hal-hal instan tapi tidak semua yang instan dapat menghasilkan semua hal. Ini jaman edan, banyak orang yang memilih jadi edan.
Alkisah, di sebuah negara yang menolak berkembang, hiduplah seorang ilmuwan muda yang nyaris putus asa disebabkan selama bertahun-tahun tidak satu pun temuan dan teorinya dinobatkan sebagai temuan fenomenal. Padahal, dia sudah mengerahkan segala upaya, baik itu dengan ikut seminar-seminar internasional dengan biaya pribadi maupun bersponsor, melanjutkan kuliah hingga meraih deretan titel sarjana yang sungguh luar biasa panjangnya, hingga menyapa dan berusaha akrab dengan para profesor-profesor tua yang pernah mahsyur dengan penemuannya, tetapi semuanya gagal. Sampai akhirnya ia pun pergi meminta bantuan dukun.
“Bisakah Anda memasukkan roh ilmuwan atau filsuf hebat dari masa lalu ke dalam tubuhku ?”
Sang dukun menatapnya dengan heran, biasanya dia mendapat klien yang ingin dagangannya laris, ingin menang pemilu, ingin naik jabatan, atau ingin merebut istri orang. Baru kali ini ada yang memintanya memasukkan roh ilmuwan ke dalam tubuhnya. Tetapi, tentu sebagai dukun profesional segala permintaan tidak boleh ditolak.
“Bisa, anda mau roh siapa ?”.
“Seorang filsuf, siapapun orangnya”.
Ini bukan permintaan yang sulit bagi sang dukun. Lalu dia berkomunikasi dengan ribuan ruh dari kumpulan para filsuf yang sedang minum kopi sambil membincang teorinya masing-masing di sebuah warung kopi di pojok alam gaib. Archimedes, Plato, Descartes, dan Anaximandes bersilang duduk dalam satu altar mendebati perihal kebenaran. Phytagoras dan Archymedes, nampak sibuk bermain catur di sudut yang lain.
Pertama-tama, sang komunikator alam arwah dan alam nyata merekomendasikan Phytagoras. Seorang filsuf abad pertengahan yang menggagas sebuah idea tentang setiap jiwa itu abadi, dan setelah kematian, jiwa tersebut akan masuk ke tubuh yang baru. Ini sangat penting untuk si ilmuwan muda itu agar dia tahu bahwa transfusi arwah benar-benar dapat terjadi. Sekalipun dia sendiri telah meyakini hal itu
Selain menjadi filsuf, Phytagoras merupakan seorang matematikawan yang hingga hari ini masih sangat familyar di buku-buku sekolah. Dia terkenal dengan teorema Phytagorasnya. Lalu semuanya benar-benar terjadi. Ilmuwan muda kerasukan ruh Phytagoras.
Dengan adanya Phytagoras di dalam tubuh ilmuwan muda itu maka dia langsung berubah menjadi ilmuwan matematika ternama. Kini, dia dapat menjabarkan tentang teori Phytagoras dengan sangat detail, nyaris sempurna, sebagaimana penjelasan seorang Phytagoras yang asli. Mendengar berita itu guru-guru matematika dari sekolah-sekolah ternama di negeri ini pun silih berganti datang dan menyerahkan dirinya menjadi murid. Mereka sengaja datang untuk mendengar fatwa segitiga Phytagoras yang fenomenal di zaman modern.
Namun sesuatu yang buram mengganjal di alam fikiran ilmuwan muda itu. Dia takut kemalangan yang sama menimpa dirinya di suatu hari nanti. Phytagoras ditemukan mati dalam keadaan bunuh diri di dalam bilik segitiga imaginernya. Sudut semu yang dia temukan untuk melipat segala kenangan masa lalu. Sudut yang paling sunyi, sepi, dan menyiksa.
Menyadari hal itu maka ilmuwan tersebut bergegas ke dukun tuk mengganti arwah. Sang dukun mengabulkan permintaannya.
“Aku ingin ganti roh”.
“Roh siapa yang kau mau ?”
“Isaac Newton”
Sebagaimana transfusi roh yang pertama, maka masuklah Isac Newton ke tubuh ilmuwan muda itu. Kehidupannya tiba-tiba berubah drastis seperti sir Newton yang dapat menghabiskan waktu berdiam diri berhari-hari di dalam kamar untuk menulis lembaran-lembaran teorema tentang gravitasi dan hukum aksi-reaksi.
Isac Newton, dikenal sebagai sang bapak ilmu fisika yang pertama-tama menemukan hukum gravitasi universal, serta hukum aksi dan reaksi gerak. Tak disangka, Isac Newton sangat senang ketika ada yang memintanya untuk kembali ke dunia nyata menyusun teori-teori fisika walau hanya lewat tubuh orang lain. Transfusi itu lalu segera diselesaikan. Sang Ilmuwan muda itu dengan sigap mencari tumpukan kertas-kertas kosong dan segera menulis sebuah anti-teori.
Belum cukup seminggu ilmuwan muda itu telah mampu menulis karya terbarunya dengan judul The Critical of Philosophia Naturalis Principia Mathematica. Sebuah kritik atas prinsip kenaturalan Matematika yang pernah dibuat oleh Isac Newton sendiri sekitar abad 17.
Karya tersebut langsung booming di dunia Matematika dan Fisika. Si ilmuwan muda mulai dipanggil sebagai orator di forum-forum ilmiah yang menyangkut ilmu fisika dan matematika. Menjadi dosen tamu di perguruan-perguruan tinggi ternama di dalam dan luar negeri. Mendapat gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang matematika atas hasil pencapaian teorinya.
Seluruh professor yang pernah menertawakan karyanya terdecak kagum.
“Sir Isaac berenkarnasi”. dan diberilah dia gelar the new Newton.
Sayangnya, Newton tidak tahu mengetik komputer. Dia menyusun teori-teorinya hanya lewat kertas dan pulpen. Si ilmuwan muda itu lalu merasa seluruh kecanggihan teknologi yang dimiliki zaman modern ini tak punya arti apa-apa. Dia menulis di sepanjang malam tapi tidak dengan komputer, hari demi hari dia lewati dengan pola makan dan tidur yang tidak teratur hingga akhirnya tubuhnya mengempis, daging pipinya mengerut, dan menjadi kurus kerontang.
Dia tidak mampu mengimbangi Newton. Merasa tersiksa dengan pola hidup Newton yang sangat tekun maka dia kembali ke dukun dan meminta mengganti arwah. Kali ini dia mau seorang ilmuwan yang progresif tapi tidak suka menulis.
“Bagaimana dengan Latham Scholes ?”.
Mengiyakan rekomendasi dukun, ilmuwan muda itu kemudian kerasukan Latham Scholes, penemu mesin ketik yang belakangan menjadi seorang polikus. Scholes menghabiskan masa tuanya sebagai seorang senat dari partai konservatif Amerika.
Scholes sendiri teramat senang kembali ke dalam dunia nyata. Apalagi di dalam tubuh seorang ilmuwan yang sedang naik daun. Dulu, seorang ilmuwan dikenal arif dan baik sehingga mudah bagi seorang ilmuwan untuk terjun di gelanggang politik. Maka Ilmuwan muda itu mulai membuat satu jurnal ilmiah dan karyanya meledak di pasaran, tentang strategi pemenangan dalam pemilihan umum.
Nada tulisannya kali ini nyaring. Menusuk, progresif, kritikis, dan tidak pandang bulu pada dunia ilmuwan. Tulisan tersebut membuat para ilmuwan di seantero dunia kebakaran jenggot hingga ilmuwan muda itu ditantang membuktikan tuduhannya ke depan mahkamah pengadilan para ilmuwan. Dia pun tak takut dan menerima tantangan tersebut. Ilmuwan muda itu sudah sangat percaya diri.
Dia mulai berorasi dengan nada berapi-api. Di tengah orasinya dia mengutip satu paraghraf dari jurnal fenomenalnya “Tapi ternyata zaman sudah jauh berubah, Demokrasi telah dibajak oleh segelintir orang yang mengaku diri anti otoritarianism tapi di belakang layar mereka sedang bersetubuh dengan penguasa otoriter. Para ilmuwan juga kehilangan nalar sosialnya, mereka sibuk mengurus dirinya sendiri. Bereksperimentasi tapi lupa bersosialisasi”.
Satu bait kata penutup yang membuatnya mendapat tepuk tangan dari seluruh hadirin ilmuwan adalah “kita ini kelompok orang-orang pintar yang terus terbang ke atas langit, sepasang sayap kita adalah pengetahuan dan keilmiahan, tapi kita lupa bahwa kehidupan manusia bukan di langit tapi di bumi”.
Tapi Scholes tetaplah Scholes. Seorang politikus-ilmuwan yang berhati lembut dan halus. Karena keadaan zaman ini yang teramat memprihatikan lalu dia minggat dari tubuh ilmuwan muda itu dan kembali ke dunia asalnya tanpa permisi.
Padahal, baru saja ilmuwan muda itu kebanjiran pesanan dan pertanyaan-pertanyaan ilmiah. Dia mulai terkenal sebagai Ilmuwan serba bisa. Menguasai semua jenis rumpun pengetahuan. Dari Exacta hingga Sosial Sains, dari filsafat hingga mekanika. Ada yang memintanya mengkritik Siklus theory milik ibnu Rusyd, mengkritik Humanisme Fromm, merekonstruksi nominalisme Ockham yang cenderung minimalis, Membuat obat kecantikan anti matahari atau sekedar bertanya perihal Qannun of Medichine Avicenna, serta beberapa surat-surat permintaan interpretasi teori dari berbagai kampus dan forum-forum ilmiah.
Menyadari bahwa dia tidak mungkin melakukannya sendiri. Maka Ilmuwan muda itu mulai panik dan kembali ke dukun meminta transfusi roh baru. Tapi dukun menolak karena di alam arwah para ilmuwan sedang geger. Hippokrates berhasil mengalahkan Shi Sho dalam babak knoct out turnamen catur tingkat arwah ilmuwan. Ini fantastis, Shi Sho adalah penemu catur di dunia nyata, dan sepanjang turnamen ini berlangsung Shi Sho tak pernah terkalahkan.
“Dia juara bertahan selama ini. Dia bukan lagi pusat tata surya percaturan. Shi Sho sudah kalah”, Ucap Galileo.
“Tahaffut at Tahafut”, sorak Averhoes seolah-olah menyindir Shi Sho yang tak berfilsafat.
“Ini seperti big bang. Ledakan besar untuk Shi Sho”, kata Lemaitre.
Mendengar kegegeran dunia arwah, dukun pun tak bisa berbuat banyak.
“Seluruh ilmuwan dan filosof masa lalu sedang sibuk menjawab kekalahan Shi Sho. Mereka tidak ingin diganggu”.
Berbulan-bulan kegegeran itu tak berakhir. Akibatnya, Para pengagum ilmuwan muda mulai jenuh menunggu. Sementara itu dia hanya sibuk meratap di dalam kamar kerjanya. Tetapi, karena namanya telah begitu besar, para kritikus juga sudah telanjur memujinya, ditambah label ilmuwan muda pun telah melekat, maka tak ada seorang pun yang berani menuduhnya secara terang-terangan.
Bahkan sampai suatu hari ilmuwan muda itu ditemukan mati dengan cara menenggak sebotol obat penumbuh rumput yang dicampur larutan pembasmi nyamuk, ia tetap dikenang sebagai sastrawan hebat di negaranya.
Takalar, 24 Februari 2020. INKOHEREN. Cerpen Daeng Palalang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar