Senin, 17 Februari 2020

BATARA

Hujan semakin ricis, daun-daun pisang robek oleh hujaman hujan. Angin barat semakin dingin menusuk. Rumput-rumput liar basah karena genangan hujan. Pagi ini matahari tidak terbit.

“Jangan menolongku, biarkan aku pergi sendirian. Pergilah, aku tak ingin kematianku disaksikan olehmu nak”.

Lelaki tua ini semakin keras kepala. Dia tahu kalau usianya tidak lama lagi, mungkin sisa hitungan detik kedepan. Dia ingin pergi sendirian. Lalu dia betul-betul tiada, pergi meninggalkannya sebatang kara.

Kita kembali pada hitungan bulan yang lalu. Tepatnya 6 bulan yang lalu. Anak itu kehilangan orang tuanya dalam kecelekaan beruntun di tanjakan Mangolitur. 

Hanya dia yang tidak ikut waktu itu. Ibu, bapak, tante, dan adiknya yang berusia 2 tahun, serta saudaranya yang paling tua ikut terbakar dalam mobil yang mengguling ke dalam jurang.

Dalam kecepatan di atas rata-rata sebuah mobil menyalip dari sisi kanan, sementara itu dari arah yang lain sebuah mini bus juga melaju dengan sangat kencang. Peristiwa pelambungan itu sebetulnya nyaris berhasil, hanya saja mobil itu kehilangan kendali dan menambrak tebing jalan di sisi kiri jalan. Ayah pun kaget lalu membanting stir ke arah kanan, dan raiblah mereka ke dalam mulut jurang yang dalam dan gelap.

Tubuh mereka tidak diketemukan. Tidak satupun alat berat yang bisa mengangkat mobil itu dari dasar jurang. Otomatis seluruh orang-orang yang jatuh ke dalam sana dinyatakan telah mati dan terkubur di dalam sana.

Dalam hitungan detik peristiwa kecelakaan itu menjadikannya yatim piatu. Hidup sebatang kara tanpa ibu dan bapak, seperti kehidupannya dalam hitungan detik yang lalu. Selama enam bulan kemudian, dia jalani hari-hari yang penuh kehilangan bersama kakeknya yang saat ini terbaring sakit. 

Hari ini kakeknya pun mati. Nyawanya raib dimakan usia tua. Tidak satupun yang melihat peristiwa kematiannya. Termasuk cucunya sendiri. Dia sengaja mengusir anak itu. Dia tak ingin mati dalam keadaan yang teramat tersiksa bathin karena meninggalkan cucunya yang masih belia hidup sebatang kara.

Anak itu kini hidup sebatang diri. Tante dari ibunya juga ikut meradang nyawa dalam peristiwa kecelakaan itu. Ayahnya seorang anak tunggal sehingga tak punya paman atau tante yang dapat dia jadikan sebagai tempat bernaung. Kakak dan adiknya juga ra’ib dalam kecelakaan.

Dia hanya bisa meratapi wajah kakeknya yang mati dalam hitungan detik yang lalu. Wajah kematian yang menyiratkan beban fikiran yang terlampau berat. Wajah yang tidak ikhlas meninggalkan cucunya yang masih belia untuk hidup seorang diri di dunia ini. Ada harapan dan permintaan yang teramat tulus yang dia letakkan di atas dahinya. Andai mungkin kematian dapat ditunda maka kakek itu akan menunda kematiannya hingga batas kontrak yang telah ditentukan. Kakek itu mengasihi cucunya, andai saja bisa maka dia ingin mati saat anak itu sudah dewasa.

Kematian tidak dapat ditunda apalagi dinegosiasikan. Kematian adalah keniscayaan pada mereka yang saat ini berajal dan juga pada mereka yang hidup hingga batas waktu yang tidak dapat ditentukan. Maka sempurnalah penderitaan anak itu setelah segalanya benar-benar tiada. Anggota keluarganya yang tersisa satu-satunya pun hari ini telah tiada, kakeknya yang dia cintai.

Di hari-hari yang akan datang kesendirian akan menjadi malaikat penjemput nyawa untuknya. Tangisan dan ratapan akan menjadi kematian yang pelan-pelan membunuhnya. Sungguh anak itu masih terlalu belia untuk hidup sebatang kara. 

Kesedihan menyambar-nyambar di kepalanya. Awan gelap pelan-pelan menggumpal tepat di depan matanya. Menjadi tanda akan turunnya hujan air mata yang teramat menyakitkan. Melihat wajah kakeknya yang kian pucat maka jatuhlah hujan itu sebagai tangisan yang akan terus rintik hingga bertahun-tahun yang akan datang. Bahkan di seumur hidupnya.

“Kakenda, kenapa kau ikut pergi..!!??..”. Sesal anak itu pada kakeknya.

Dia terus menggoyang-goyangkan tubuh kakeknya dengan harapan mata kakeknya akan kembali terbuka. Tapi kakeknya telah betul-betul tiada, tak mungkin bergeming, takkan dapat menjawab teriakannya walau hanya sebatas isyarat. Tubuh kakeknya mulai dingin. Dia pun yakin bahwa kakeknya sudah betul-betul tiada.

Anak itu ingin sekali melihat kakeknya hidup kembali untuk sekedar menikmati pelukannya yang teramat hangat. Atau hanya sebatas mengelus-elus kepalanya dan mengajarinya memakai sepatu. Tidak akan ada lagi cerita perihal rotan kehidupan. Sebuah cerita yang tidak pernah tamat dia ceritakan.

Kakeknya pernah bepesan, saat dia terlalu sering memotong ceritanya. 

“Cerita ini tidak akan pernah tamat diceritakan sepanjang kita yakin bahwa dia belumlah mati”. 

Dia lalu bertanya perihal sosok kesatria itu. Kakeknya menjawab bahwa “dia hanyalah manusia biasa, tapi perjuangannya melawan ketidakadilan akan terus diceritakan hingga ketidakadilan itu benar-benar tiada di negeri ini”.

Anak itu tak bergeming. Bahasa kakeknya terlalu rumit untuk dia cerna.

“Di usia 9 tahun dia diangkat sebagai raja, lalu diasingkan ke sebuah pulau entah berantah, negeri jauh dilaoh. Negeri yang semua orang memuja-muji dewa keadilan sebagai Tuhannya. Disana dia hidup sebatang kara. Dibesarkan oleh kerasnya kehidupan. Bersekolah hingga dia tahu banyak hal. Dan hingga dewasa dia tetap kukuh pada perjuangannya melawan ketidakadilan”.

“Apakah orang itu kembali ke kampungnya menjadi raja kek ?”

“Tidak, bagi orang yang meyakini bahwa tidak ada keajaiban di dunia ini”.

Anak itu mencerna.

“Bagi orang-orang yang seperti itu mukjizat dan keajaiban hanya ada di zaman Nabi. Bagi mereka tidak ada orang yang dapat hidup hingga ratusan tahun lamanya di zaman ini”.

“Tapi kek ?”. Potong anak itu.

“Iya,, tapi bagi orang-orang yang yakin bahwa keajaiban akan terus ada hingga datangnya hari akhir maka mereka akan meyakini bahwa orang itu akan kembali ke kampungnya dan melawan ketidakadilan di sana”.

Anak itu tak bergeming.

“Pohon rotan itu sebagai tanda kejadian bahwa dia kan hidup abadi. Dan ada di samping orang-orang yang setiap saat percaya bahwa dia memang masih hidup”.

“Maksudnya kek ?”. Anak itu memotong.

“Dia pernah berpesan bahwa tongkatku ini akan tumbuh sebagai rumpungan rotan, dan sebagai penanda bahwa aku akan terus hidup bersama kalian. Jika pohon rotan ini mati, barulah saat itu aku akan benar-benar tiada”.

Air mata terus mengalir dari matanya. Tubuh kakeknya semakin pucat. Dia baru sadar bahwa orang-orang harus tahu perihal kematian ini. Lalu dia meminta tolong sekencang-kencangnya, dan datanglah orang-orang satu per satu mengurusi jenazah kakeknya.

Sore hari selepas ritual pekuburan jenazah selesai. Dia mendatangi rotan kehidupan dan memandangi rimbun pohon rotan itu. Dia berharap bahwa kakeknya akan muncul dari sela-sela batang rotan. Dia berharap kakeknya akan hidup di tempat itu dan akan berkata kepadanya “aku akan hidup selama pohon ini masih hidup. Aku kan terus bersamamu nak”.

Tapi hingga malam tiba, kakeknya tak kunjung muncul. Dan hujan tiba-tiba mengguyur.


Sawakong, 17 Februari 2020. DAENG PALALANG. Kisah ini disadur dari kisah masa lampau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar