Kamis, 02 Maret 2023

SUPIHANA (2)

Seperti janjinya, Supihana akan kembali ke kampungnya menjalani getir kesepian yang tidak biasa dia rasakan. Pilihan itu memang sulit tapi harus dia tunaikan. Menjadi gadis kampung yang hidup dari jernihnya aliran sungai. Tidak ada lagi hiruk pikuk kota, tidak ada mall atau apa saja yang membuatnya harus memakai gincu, tidak ada juga ruangan yang berpendingin listrik sebagai tempat menggunakan rok mini dan baju serba ketat, atau sepatu high heels yang dia pakai berjalan di lantai-lantai marmer. Semua serba tidak ada, di kampung hanya ada hamparan sawah dan moncong-moncong bukit yang serba tinggi.

Supihana pernah berjanji pada ibu-bapaknya bahwa jika di usia 35 tahun dia belum juga menemukan jodoh pilihannya di kota maka dia siap dinikahkan dengan laki-laki mana saja yang dipilihkan oleh ibu-bapaknya. Dari sana cerita Supihana ini dimulai. Gadis kampung yang mengelana ke kota sekian lama waktunya dan harus kembali ke tempatnya semula sebagai perempuan kampung demi menebus janji pada ibu-bapaknya. Menjadi perempuan modern di tengah rimbun pohon-pohon kopra dan rumput-rumput ilalang.

Usia Supihana saat ini, tiga puluh empat tahun enam bulan lima belas hari. Usia yang sudah terbilang matang. Di kampung, perempuan dengan usia demikian sudah diwanti-wanti masuk dalam deretan penghuni bangku cadangan perawan tua. Entah bagaimana usia menjadi standard perbincangan bagi kehidupan kampung padahal orang-orang di kampung Supihana juga banyak yang menikah diatas usia empat puluhan. Dan hampir semuanya dinikahi konglomerat kampung.

Maradewi penjual kue keliling yang setiap pagi berteriak-teriak di sepanjang jalan kampung guna melariskan dagangannya, pernah menjadi penghuni bangku perawan tua, tanpa disangka-sangka di usia empat puluh satu tahun Maradewi dinikahi oleh seorang juragan tanah di kampung seberang. Ada juga Salasia, seorang guru mengaji yang setiap hari disibukkan oleh aktifitas pengajian, pagi sampai siang Salasia sibuk mengajar di sekolah dan sepulang sekolah Salasia mengajar mengaji di langgar. Hidup Salasia semakin monoton ketika dia didaulat sebagai penceramah antara maghrib-isya di majelis taklim ibu-ibu kampung. Habislah waktu Salasia bergelut dalam dunia pengabdian yang serba berulang dari hari ke hari, hingga akhirnya seorang pelaut melamar Salasia di usianya yang ke empat puluh delapan.

Ibu-bapak Supihana mungkin tercengang dengan fenomena itu sehingga mendesak Supihana tuk segera pulang kampung. Mereka seakan-akan ingin melawan hukum takdir yang misterius, atau mereka tidak memahami hukum kebetulan atau justru terlalu bertakliq pada kebetulan !?, entahlah. Maradewi dan Salasia telah jadi cermin cekung bagi orang tua Supihana, keduanya meyakini Supihana jauh lebih menarik dari Maradewi dan Salasia. Supihana juga tahu banyak hal, mulai dari memasak dan mencuci. Apalagi soal pengaturan sirkulasi keuangan, Supihana sudah belajar banyak di kantornya, mereka yakin Supihana akan bisa jadi ibu rumah tangga yang telaten mengurus uang suami, kelak jika dinikahi konglomerat kampung.

Waktu terus berjalan, batas usia Supihana kian menyempit. Tidak ada pilihan lain bagi Supihana untuk jauh lebih aktif mencari calon pasangan hidupnya. Tidak cukup setengah tahun lagi batas kesepakatan telah berakhir dan hari itu jika Supihana tak mau pulang maka akan dijemput paksa oleh ibu-bapaknya. Maka Supihana nekat membuat sayembara, mengumumkan perihal dirinya yang ingin menikah, tentu dengan kriteria laki-laki yang telah dia tetapkan. Pertama, harus gagah, putih bersih, mirip artis korea. Kedua, harus mapan, dengan penghasilan bulanan minimal Upah Minimum Provinsi. Dan ketiga, si laki-laki harus pintar mengaji sebagaimana pesan ibu-bapaknya. 

Sebulan berlalu, tiap hari calon pelamar datang silih berganti, pertemuan demi pertemuan dilakukan tapi tidak ada yg sesuai kriteria. Puluhan laki-laki dgn berbagai status datang menemui Supihana tapi semua hanya berlalu. Beberapa dengan status sosial yang adi diningrat tapi tak segenteng artis korea, ada yang tidak tahu mengaji pula. Beberapa juga berstatus anak pesantren dengan kemampuan baca quran yang aduhai syahdunya tapi sayang tak setampang Lee Min Hong. 

Satu orang nyaris dipilih Supihana, saat tiba pertemuan diadakan, pria itu datang dengan mobil mewah, saat turun dari mobilnya lelaki itu tersenyum penuh pesona, aduhai membuat jantung Supihana meledak-ledak. Supihana pun langsung jatuh hati pada laki-laki berambut jambrik itu. Tak dinyana, rupanya pria itu anak seorang ustads kondang di kota ini, sekaligus pemilik salah satu warung makan ternama yang biasa Supihana datangi. Sempurnalah pertemuan hari ini. 

Supihana pun mengatur pertemuan berikutnya, tuk bicara lebih serius, menanyakan kapan pria itu kan datang ke rumahnya bertemu bapak-ibunya, kapan mereka kan menikah, hingga soal-soal klise yang tidak perlu dibicarakan lebih dahulu, seperti soal warna kesukaan, makanan kesukaan, hingga pembagian waktu diantara mereka setelah menikah. Pokoknya, di dalam kepala Supihana sudah tersusun rapi tentang skenario pertemuan selanjutnya. Supihana tidak sabar pertemuan itu tiba.

"Sampai jumpa minggu depan yah..!!!", seru Supihana turun dari mobil pria itu.

Tibalah di pertemuan selanjutnya, Lelaki itu betul-betul datang, hati Supihana meledak seperti bom nuklir. Begitu bahagianya dia saat melihat pria tampan yang sebentar lagi jadi suaminya itu menghampirinya dan duduk tepat di hadapannya. Supihana bahagia bukan kepalang, debaran jantungnya mengalir ke sekujur tubuh, tangannya bergetar, kakinya bergetar, hingga meja di depannya juga ikut bergetar, semua bergetar. Tapi sayang seribu sayang ternyata ditengah pertemuan itu istri laki-laki itu datang memergoki mereka. Getar Supihana pun seketika berhenti saat teh hijau dingin pesanannya mengguyuri sekujur tubuhnya. Supihana jadi bulan-bulanan istri pria itu, dia tertuduh sebagai perebut laki orang. Pupus sudah harapan Supihana.

Model penjajakan jodoh dengan sayembara seperti ini sebetulnya sangat pahit dilakukan oleh Supihana, sama saja merendahkan harga diri Supihana sebagai gadis kota bernalar modern. Pendidikan tinggi, titel sudah berbadan dua dengan nilai kumulatif melampaui garis rata-rata, tapi dalam urusan jodoh entah kenapa Supihana bagaikan berperang dengan takdirnya sendiri. Pada awalnya Supihana menolak segala kejumutan dan kekolotan tapi ternyata dengan terpaksa harus melakukan penjajakan model kuno yang jauh lebih kolot dari model tawaran ibu-bapaknya. Supihana sedang menepuk air dalam tembikar, sayembara itu mempermalukan dirinya sendiri. Andai itu berhasil mungkin masih ada cerita indah yang dapat dia ceritakan pada anak cucunya kelak, tapi sayang usaha terakhir itu pun ikut gagal dan tidak sama skali meninggalkan satu harapan apapun untuknya.

Aduh Supihana, si gadis cantik berparas rembulan. Kini dia sebatang kara, berjalan sendirian di tengah gelap pekat malam menemukan takdir, mencari setitik harapan agar dapat menikah dengan laki-laki pilihannya sendiri. Kini, hari-harinya kian mencemaskan, cahaya bundar di wajahnya kian meredup karena himpitan waktu, jalannya semakin gelap, tersisa hanya dua bulan sebelum Supihana terpaksa angkat koper dan meninggalkan segala pencapaian karirnya sebagai akuntan di perusahaan ternama di kota itu. Supihana akan pulang kampung, itu membuat kawan-kawan kantornya ikut prihatin. Tapi tak ada lagi yang dapat mereka perbuat untuk Supihana, hampir semua kenalan dan keluarga dari teman-teman mereka sudah diperkenalkan pada Supihana tapi tidak ada yang berhasil memecah keras hati Supihana, atau mungkin takdirnya yang terlampau keras, entahlah.

Kian hari mata yang selalu tersenyum itu kian meredup oleh desakan waktu, mata seorang gadis yang memandang kehidupan kota sebagai surga terbaik dalam hidupnya, karena di kota Supihana teramat bahagia membaca kalimat-kalimat rindu pada ayah-ibunya lewat merk-merk barang ternama dan termahal di seantero dunia perbelanjaan. Sebentar lagi, iya sebentar, kurang dari sebulan, semua kebahagiaan itu terancam hilang dari matanya, menjadi kenangan, menjadi barang rongsokan masa lalu, menjadi cerita yang berdebu. Dan mata indah itu, hanya akan membacanya lewat air mata. Bisa saja tidak, kecuali Supihana memilih menjadi filsuf..


Takalar, 03 Maret 2023


IHR. Berharap Supihana Tidak Jadi Filsuf.. 

Selasa, 24 Januari 2023

Dialog Senja Dan Banyak Pertanyaan-Pertanyaan Yang Muncul DiAntaranya



Banyak pertanyaan muncul dari warna-warna senja yang tumpah kali ini. Diantaranya, apakah kau masih tetap sama sebagai orang yang ku kenal dulu..?.

Tapi benarkah hidup hanya sebuah peristiwa yang berulang ?, tiap-tiap waktu melompat dari satu titik ke titik yang lain hingga kembali lagi pada titik semula, lalu terus berulang, kembali lagi, dan terus begitu hingga perulangan itu tak bisa lagi terhitung jumlahnya. 

Mungkin seperti itulah kita, menjadi reaksi dari perulangan yang tiada henti atau justru sebagai korban ?, Pertanyaan itu akan terus berulang hingga kita berhenti menyadari betapa salahnya keadaan ini. Tapi bukankah kita sendiri yang memilihnya, kita pulalah yang menanggungnya, apapun resikonya, apapun kehendak waktu di masa yang akan datang ?.

Kemudian kita kembali terjebak di lubang waktu yang gelap dan tak bercahaya, di dalam sana hanya ada kau dan aku, memerangi keadaan, melawan kebekuan yang menyesakkan. Sesekali kita menyesal, mengutuk takdir atas keadaan yang menimpa kita berdua dan saling bertanya satu sama lain apakah kita kan terus begini ?.

Senja?, iya itu senja, aku bilang bgitu tapi kau menimpali dan kukuh mengatakan bahwa itu bukan senja tapi hanya batas waktu antara sore dan malam. Ketika kau katakan itu wajahmu memerah semerah senja yang sedang kita perdebatkan. Memang kita tak pernah bersepakat dalam urusan yang satu ini. Aku mengagumi senja dan kau hanya memahaminya sebagai peristiwa yang terus berulang.

Lalu kali ini di bagian manakah dari pecahan takdir yang akan kita jadikan sebagai tempat menetap ?, ataukah kita akan terus pasrah dan kembali membuka ruang pada perulangan ?, padahal kita seharusnya telah belajar dari peristiwa-peristiwa yang pernah kita alami sebelumnya. Tidak mungkin kali ini kita hanya pasrah pada keadaan ini karena kita telah piawai melepaskan diri dari kegelapan waktu.

Ataukah mungkin hanya aku yang merasa takut sendirian ?, karena kau sudah punya cara tuk pergi atau kau sudah tahu dimana letak pintu keluar dari masalah ini. Disana letak perbedaan kita, aku tak pandai memahami keadaan dan kau pandai memprediksi segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Kau punya segalanya untuk pergi, bahkan kau sanggup mencurangi keadaan ini.

Entahlah, mungkin itu hanya firasatku saja tapi kau memang pembelajar yang baik. Dari dulu kau pandai berhitung, menghitung-menghitung banyak hal dari hubungan kita. Memprediksi banyak peluang dari masa depan kita yang tak tentu arah. Masih kuingat, empat tahun lalu, tepat di hadapanku, kau mengurai hitungan matematis hubungan kita saat kau ku ajak menapaki tempat yang jauh lebih tinggi dari hubungan kita saat itu tapi kau menolaknya, mengelak dan mengatakan bahwa rumus terbaik dari sebuah perpindahan adalah ketepatan bukan kecepatan apalagi percepatan. Lalu sekarang, kira-kira kau kan menggunakan rumus apalagi ?.

Iya, memang betul bahwa waktu tak dapat dipercepat, takdir pun seprti itu. Tapi maaf, kau ternyata lupa bahwa waktu dan takdir tak bisa memberimu aba-aba atau sedikitpun isyarat bahwa itulah saat yang tepat untuk mengambil tindakan dan keputusan, apalagi memberimu kepastian bahwa di titik itulah saat yang tepat untuk melakukan apa yang seharusnya kau kehendaki. Kau lupa bahwa waktu dan takdir selalu bisu dalam urusan apa saja. Kita lah yang harus membuat momentum, bukan waktu ataupun takdir, apalagi kita berlaku pasrah pada keduanya. Jadi bagaimana ?, apakah kau kan ikut bisu kali ini ?, seperti senja yang juga datang dan pergi dengan kebisuan.

Senja itu juga bisu, kataku. Kau hanya diam tak bicara apa-apa. Kau terus sibuk dengan hitunganmu, pada tiap-tiap perulangan yang di dalamnya terserak kenangan. Pecahan-pecahan masa lalu yang berserakan dan kau susun di kepalamu terus kau hitung jumlahnya sehingga membuatmu lupa bahwa kau sedang hidup hari ini. Kau terus berhitung, apakah kau lupa bahwa apa yang terjadi hari ini akan menjadi pecahan takdir di masa yang akan datang !?.

*******

Aku mengerti dengan segala kemarahanmu padaku, sore itu, di bawah sinar langit merah-jingga yang kau sebut itu senja, kau mengajakku menikah tapi aku menimpali dengan banyak kata-kata dan ribuan pertanyaan, dan kau merasa jengah dengan segala tingkahku, kita terus berdebat hingga malam tiba, lalu kau tiba-tiba diam sekian menit lamanya, menghela nafas panjang kemudian pergi. Sejak saat itu kau tak pernah kembali lagi padaku.

Bagimu kecerewatanku saat itu adalah api yang sengaja aku sulut dan membuatmu terbakar, hubungan kita pun ikut terbakar, segalanya terbakar, bahkan lembaran-lembaran kenangan kita ikut terbakar, dan kau terus mengutukku bahwa itu salahku. Sejak saat itu kau tak pernah kembali walau sekedar untuk memadamkannya. Seperti itukah peristiwa perpindahan terakhir yang kau ingin tunjukkan padaku ?, dan kau sebut itu sebagai senja terakhir.

Sampai saat ini kepergianmu saat itu menjadi duri yang terus tumbuh dalam benakku, membuatku terus bertanya-tanya; apa salahku ?, apakah salah seorang perempuan sepertiku mengharapkan penguatan dari seorang laki-laki yang ingin membawaku masuk ke dalam dunianya, menjadi seorang perempuan yang kelak akan hidup dalam kehidupannya yang serba asing bagiku ?, dan apakah salah jika aku bertanya dan terus bertanya padamu ?.

Sejak kejadian itu, 4 tahun lalu, aku terus ditimpa kesakitan yang membathin tapi satu kalipun kau tak pernah menjengukku, apalagi sekedar mengintip keresahanku. Kau tidak pernah punya waktu untuk mendengarkan detak kesepian yang berbunyi nyaring di bathinku. Aku tahu itu, dan aku tahu kamu, aku yakin kau tak pernah menyesaliku sedikitpun. Kau hanya terus menyalahkanku, bahkan dengan ribuan bait-bait senja yang terus kau dengungkan di setiap tulisan-tulisanmu, dan apakah kau tahu bahwa itu semakin menyakitiku ?.

Senja, itu kan katamu !?, peristiwa alam yang kau sebut penuh kejujuran dan kesabaran itu ?, yang kau katakan bahwa senja tak pernah berulang tapi hanya berganti dari hari ke hari. Nyatanya, kau tak begitu sabar memberiku maaf bahkan tuk sekedar menungguku meminta maaf. Kau terus memahami itu sebagai sebuah penolakan. Parahnya, dengan lantang kau katakan bahwa aku hanyalah sebagai seorang matematikawan sejati dalam hubungan ini, yang hanya terus menghitung-hitung segala apapun yang ada diantara kita. Tapi, apakah salah jika seorang perempuan sepertiku menyukai perhitungan dan memilih tenggelam di dalamnya ?.

Apa katamu !?, kenangan tidak bisa dihitung ?, maaf kamu salah, justru kenangan jauh lebih mudah terhitung ketimbang masa depan bersamamu. Kau tidak pernah tahu bagaimana masa lalu dapat memprediksi masa depan. Dan aku merasa segala hitungan perasaan yang pernah aku hitung darimu tidak pernah meleset sedikitpun. Dan apakah kau kira bahwa kecurangan yang kau lakukan dengan menikahi wanita lain tidak pernah masuk dalam hitunganku ?, maaf, kamu salah. Sejak awal mengenalmu aku sudah memperhitungkannya.

Kau bilang aku curang karena aku hanya membuatmu terus menunggu !?, dan aku tak pernah mentolerir percepatan dalam hukum waktu, lagi-lagi kau salah, bahkan saat ini, di tempat yang sama sejak terakhir kali kau pergi di bawah langit merah-jingga ini aku justru terus mencari-cari rumus peluang bagaimana agar waktu berhenti dan mengalami perulangan. Itu memang sulit, dan terdengar mustahil bagimu, bagi seorang laki-laki yang membenci perhitungan. Mungkin kau sudah lupa diskusi kita sore itu, aku katakan bahwa matematika saat ini sudah dapat menghitung kecerdasanmu, apalagi hanya janji-janjimu.

Apa !??, kau menyesal !?, ingin kembali !?. Bukankah kau tak suka dengan segala bentuk perulangan !?, dari sekian lama kesakitan ini aku alami kau tiba-tiba ingin kembali dan menyebut itu bukanlah perulangan !?, bahkan kau kukuh menyebut itu dengan istilahmu sendiri sebagai perbaikan. Parahnya, aku tetap terjerat pada ajakanmu, lalu kita menjalaninya kembali, dan aku kembali tenggelam dalam kegelapan dan ketidakpastian waktu dan takdir. Tapi kali ini aku tidak akan cerewet lagi.. whehehee


Takalar, 24 Januari 2023


Ince Hadiy Rachmat.   Diam, Jangan Cerewet, Tunggu Sampai Senja Usai.


Sabtu, 21 Januari 2023

Senja-Senja Terakhir

 1

Cerita ini bermula dari sepasang kekasih yang saling mencintai tapi terpaksa saling merelakan dalam sebuah peristiwa perpisahan yang dramatis. Hingga akhirnya mereka saling menyadari bahwa hubungan percintaan diantara mereka itu tidaklah abadi, terlalu singkat, sebagaimana senja yang datang dan pergi begitu singkat.

Hanya hitungan hari, tidak cukup seminggu mereka harus kandas dalam rangkaian kata-kata perpisahan, tenggelam dalam samudera romantisme perpisahan yang dalam. Hingga mereka menyadari betapa buruknya hubungan ini. Tapi sebelum keduanya memutuskan tuk tidak akan saling menemukan, mereka bersepakat berpetualang mencari sebuah senja yang paling indah, yang tidak pernah mereka temui sepanjang hidupnya, dan kelak akan mereka abadikan sebagai senja terakhir bagi hubungan mereka berdua.

"Bunga, bagaimana menurutmu tentang senja ?".

"Bagiku, senja yah senja, biasa saja, sebuah peristiwa alam yang memisahkan terang dan gelap, siang dan malam".

"Bagimu itu biasa saja ?".

"Iya, aku tak begitu menggemari senja, aku lebih suka berjalan-jalan dalam keramaian kota sambil mencari-cari tempat yang nyaman tuk disinggahi".

"Kenapa ?, bukankah senja adalah pemandangan terindah yang tiap-tiap orang ingin mengabadikannya sebagai potret alam dengan ribuan makna yang terkandung di dalamnya".

"Lalu apa yang salah dari itu ?, bukankah kenyamanan itu dibuat bukan dicari, seperti kalian yang mengejar senja tanpa bisa mengubah penampakan senja yang datang di hadapan kalian ?"

"Justru itu, aku ingin seperti itu, membuat senja menjadi bermakna karena adanya dirimu di sampingku, kemudian kau menjadi bagian dari senja yang paling mengesankan itu di sepanjang masa depanku".

Suasana menjadi hening, diam.

"Bunga, sebelum kita benar2 berpisah aku ingin mengajakmu berkeliling pulau ini mencari sudut tempat yang luas dan indah, tak seorangpun disana, hanya kita berdua disertai senja yang pudar perlahan. Disana kita kan saling termenung, merenungi nasib perpisahan yang sebentar lagi tiba. Aku ingin merangkulmu erat di sela-sela terbenamnya matahari merah ke dalam dasar samudera".

Lalu mereka memutuskan pergi bersama, di setiap hari, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari senja ke senja selanjutnya. Hingga hari perpisahan itu tiba tak seorangpun yang tahu apakah senja yang mereka cari telah mereka temukan. Hanya mereka berdua yang tahu.

*********

2

Tabir tentang masa depan selalu menjadi teka-teki yang paling misterius dalam perjalanan hidup setiap manusia, tidak satu orangpun yang tahu bagaimana takdir bekerja untuk manusia, bahkan untuk urusan masa depan dari sebuah hubungan pernikahan sekalipun.

Takdir bisa bekerja seperti matahari yang datang dengan sinar mentari pagi yang menghangatkan dan menutup sebuah perjalanan hari dengan pendar cahaya senja yang teramat indah. Tapi di sisi lain takdir juga bisa berlaku lebih serius dari apapun, bisa sekejam ibu tiri dan sepahit cacian dari seorang mertua.

Ada yang luput dari perhatian pria itu ketika dia memilih menikah. Dia yang biasanya piawai dalam mengenal seseorang ternyata harus mengaku bodoh dalam urusan mengenal calon istrinya. Dan genaplah semuanya ketika dia bersepakat mengutas tali pernikahan bersama seorang perempuan yang kelak dia sebut istri.

Awalnya, hubungan pernikahan mereka berdua nampak baik-baik saja. Hari-hari mereka jalani sebagaimana pengantin baru biasanya, mereka hidup dalam ribuan bahasa paling romantis dengan gendre musikalitas yang aduhai. Puisi-puisi indah mengalir lembut sepanjang aliran sungai serayu yang damai dan tenang. Tapi ternyata waktu tidak dapat dihentikan, pernikahan mereka harus kandas di usia yang teramat belia.

"Berhentilah mengutuk senja".

"Agghhh senja memang begitu, dia datang dengan rona merah yang indah dengan guratan garis-garis jingga seakan-akan sebentar lagi kita segera memasuki opera senja yang mengesankan. Di dalam sana langit senja menjadi latar tapi justru senja tak membawa kita kemana-mana selain pada dunia yang dipenuhi kegelapan. Dan malam benar-benar nyata setelah senja merelakan dirinya hidup di dalamnya".

"Tapi senja tak pernah menyakitimu, apalagi mencampakkanmu, hanya kau sendiri yang terlalu berharap besar pada senja yang datang ke hadapanmu, sementara itu kau tidak melakukan apa-apa, hanya diam di tempatmu, dan terus mengutuk senja, dan membencinya tanpa tahu bagaimana matahari senja begitu jujur pendar di ufuk barat. Lantas sesempurna apakah senja yang kau inginkan ????".

Hening, diam

"Jika demikian, jika senja tak bisa memberikan apa-apa sebagaimana yang ku harapkan maka hari ini, saya berjanji; sepanjang sungai serayu terus mengalir, aku kan meninggalkannya, berusaha melupakannya, dan akan berhenti memujanya sebagai peristiwa yang tiap-tiap hari ku nantikan dalam kehidupan ini.

Pernikahan mereka pun terpaksa harus kandas sesingkat senja berlalu.

******

3

Waktu betul-betul tidak bisa dihentikan, melompat dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, dari satu senja ke senja selanjutnya, dan pada tiap-tiap orang yang berbeda. Waktu tidak pernah berhenti pada semua orang dan pada apapun itu. Lantaran waktu tak pernah mengenal perulangan maka setiap masa lalu hanya dapat diceritakan dan tidak bisa dikembalikan. 

Hubungan mereka berdua rumit dan berliku, seperti garis-garis hitam yang serupa bayangan matahari yang tumpah di permukaan samudera pada sebuah lukisan senja. Meraka menjadi gambaran sederhana bahwa hidup tidaklah mengenal perulangan. Kesalahan masa lalu hanya bisa diperbaiki di masa depan tapi tidak dapat dikembalikan ke masa lalu. Mungkin begitulah yang dapat menjadi pengantar cerita tentang hubungannya dengan wanita ini.

"Lalu kau ingin kembali ?"

"Aku ingin menjadi senja dalam kehidupanmu yang tiap-tiap hari datang menjengukmu dan mencintaimu kembali, dan bahkan jauh lebih dapat kau percaya dari sekedar langit senja di sore hari. Aku ingin seperti itu jika kau menerimaku sebagaimana kelapangan jiwa samudera yang terus menerima matahari hari demi hari setelah jauh mengelana ke dataran timur nan subur. Tapi apakah kau ingin setelah semua hal telah terlanjur ?, dan rupa senja yang ku bawakan padamu telah jauh berbeda dari sebelumnya ?".

Hening, lalu wanita itu kembali bicara.

"Apapun alasannya, semua punya peluang selama senja yang lain belum datang"

"Tapi bukankah pemandangan senja yang terus kita temui selama ini selalu lahir dari satu sinar matahari yang sama ?, dan kita tidak pernah benar-benar berpisah selama ini karena rangkaian peristiwa demi peristiwa terus kita ceritakan dalam kisah perjalanan kita, dan kita selalu mengintipnya dari waktu ke waktu.

"Aku hanya takut salah, tapi mari kita coba bagaimana senja itu tak lagi salah terbenam di sudut samudera yang salah. Atau di sela-sela pulau harapan yang diatasnya di tumbuhi bunga-bunga, katamu".

Lalu hening, dan ia melanjutkan.

"Tapi sebelum itu, jujur ku katakan bahwa kebahagianku bersamamu bukan hanya  sekedar menatap senja di detik-detik tenggelamnya matahari,. Semua hal adalah senja ketika bersamamu. Sumpah, kau jauh lebih indah dari seluruh senja yang pernah kutemukan selama ini. Kau boleh mengatainya bohong, tapi itu jujur, apa adanya, tanpa tendensi apapun.

Hening, lalu ia melanjutkan.

"Kau percaya kan bahwa senja bukanlah akhir dari segala kesadaran kita ?, dan kau pasti percaya kan bahwa senja esok hari akan kembali dengan tampakan pemandangan yang jauh lebih indah dari sebelumnya ?, maka dari itu kau perlu jauh lebih tulus menikmati senja-senja yang akan kau temui di hari-hari yang akan datang agar esok hari selanjutnya senja datang dengan bingkisan senja yang jauh lebih indah dari senja yang pernah kau temui".

Hening lagi, dan ia melanjutkan.

"Dan kau mau tahu kenapa aku selalu mengajakmu mengejar senja selama ini !?, agar kau dapat memahami bagaimana cinta itu tumbuh penuh kesabaran dan ketegaran, agar kau dapat memahami bagaimana langit dan bumi itu menyatu dalam pantulan-pantulan merah-jingga yang teramat indah, juga agar kau dapat menjadi senja yang tak pernah ingkar menepati janjinya. Tapi sudahlah, seperti biasa, kau hanya pandai berhitung tentang detik-detik kedatangan dan kepergian, dengan ribuan rumus-rumus matematis yang rumit. Tentang bagaimana ketepatan peluang yang dapat kau curangi di dalamnya.

Hening, dan dia melanjutkan.

"Dari dulu kau tahu bahwa aku tak pandai berhitung, apalagi menghitung ketepatan dan peluang-peluang kecurangan dari hubungan kita. Aku hanya dapat mencintaimu tulus, apa adanya, dan mungkin kau tidak akan pernah temukan itu dari orang lain. Dan percayalah, di suatu waktu, saat kau tak lagi mampu menghitung jarak tempuh dari perpisahan kita, dan saat-saat itu kau tiba-tiba melihat senja yang begitu merah di langit luas maka ku pastikan saat itu juga kau kan mengingatkanku sebagai rupa yang pasti kau rindukan.."

******

4

Lalu, matamu mendidih, ingin mengalirkan air mata. Mata merah semerah langit senja kemarin..


Takalar, 22 Januari 2023


Ince Hadiy Rachmat . Senja-Senja Terakhir, Tenggelam di Bibir Samudera


Kamis, 05 Januari 2023

Berdoalah Sampai Senja Tiba

Pertama, ibuku, dia perempuan yang teramat sabar. Perempuan yang selalu percaya pada kekuatan do'a. Bagaimana do'a telah membawanya lebur dalam kehidupan yang serba getir ini. Dalam hal apa saja ibu berdoa untukku. Pernah saat saya pertama kali belajar mengaji, ibu membawaku ke Surau, menemui calon guru mengajiku. Aku duduk di sampingnya, mendengar bisu percakapan mereka berdua hingga usai. Dan sebelum pamit ibu bilang padanya;

"Semoga anak ini kelak pintar mengaji, tidak nakal, dan rajin ke surau seterusnya". Ibupun pamit, dan meninggalkan sisa2 do'anya di Surau itu untukku. 

Saat saya memasuki bangku sekolah Dasar, ibu juga berkata demikian pada Kepala Madrasah dan guru-guru yang ada disana. Begitu seterusnya hingga saya tamat Sarjana. Waktu itu ibu hadir dalam acara wisudaku, dan lagi, ibu pun berdo'a;

"Nak selamat, saya do'akan ilmumu bermanfaat. Semoga jadi orang berguna". 

Berjuta-juta do'a yang telah saya dengarkan dari mulut ibu. Do'a yang dia panjatkan di setiap momen penting dari lompatan-lompatan kehidupanku sampai sekarang, dan saya percaya itu sebagai do'a yang paling murni tanpa embel-embel apa-apa, apalagi menunggu pamrih dariku. Tidak banyak yang saya berikan pada ibu, apalagi membalas do'a-do'anya walau hanya dengan satu do'apun.

Bilangan do'a-do'a ibu tak terhingga sekalipun kebebalanku padanya melebihi hitungan dari seluruh do'a-do'anya. Saya sering membuatnya terpaksa meratap tangis karena ulahku yang pembangkang, tapi ibu selalu hadir sebagai angin dingin yang menyelinap kedalam bathinku, oleh nasehatnya, juga do'a-do'anya. Selain dihadapanku, seringkali kudapati ibu diam-diam berdoa di sudut kamar yang sunyi dengan linangan air mata. Setiap waktu, hingga senja tiba. Begitulah ibuku, mungkin juga ibumu.

*****

Kedua, bapakku, tidak banyak yang dapat saya ceritakan perihal do'a bapakku. Dia seorang lelaki pendiam, irit kata-kata, lebih banyak berbuat daripada menyatakan do'a-do'a. Itu yang dapat saya simpulkan tentang bapakku. Sekalipun urusan do'a adalah urusan yang paling misterius dalam lubuk sanubarinya, tapi saya seperti dapat melihat do'a-do'a bapak pada setiap tetes keringat yang keluar kala bapak memanggul karung gabah hasil panen ke dalam rumah.

Bapak bagiku sosok lelaki yang seringkali bisu tapi sorot matanya mengandung semesta kosa kata yang penuh makna. Mata itulah yang ku jadikan mihrab melihat Tuhan. Do'a yang sekalipun diliputi kemarahan tapi begitulah dia bekerja dalam tiap kebisuannya. Pernah sesekali saya dapati bapak berdo'a dengan sangat lantang padaku. Waktu itu sudah enam hari saya tidak ke Surau mengaji, dan bapak tahu, lalu diambilnya potongan bambu tua dari samping rumah kemudian memukulkannya kepadaku.

"Dasar anak nakal.. tidak tahu diajar.. mau jadi apa kau kalau tak tahu mengaji.. mudah-mudahan kau tidak seperti saya..". Kata-kata itu terus dia ulang-ulang hingga potongan-potongan bambu di tangannya habis tak tersisa.

Begitulah doa bapakku yang pernah saya dengar. Mungkin menurut sebagian orang itu bukanlah do'a tapi bagiku itulah sejatinya do'a. Do'a seorang bapak yang memaksa Tuhan untuk mengabulkannya. Mungkin, jika bapak tak memperlakukanku demikian maka akan jadi apa saya sekarang ini?, dan karena kejadian itulah saya akhirnya rajin ke Surau dan tamat sebagai santri terbaik. Mungkin bgitulah do'a bapakku bekerja, do'a bapakmu bagaimana ?.

Tak cukup sekali saya ingat bapak berdoa untukku. Kedua kalinya dia sampaikan dalam sebuah kalimat yang tumpas sebagai ancaman. Kala itu saya ingin menikah, maksud dan tujuan itu pun harus saya sampaikan kepadanya. Dan, sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin bapak pun berkata:

"Perkara menikah itu perkara tanggungjawab. Bebannya berat. Tapi kalau kau sudah merasa sanggup, silahkan. Saya hanya bisa doakan semoga kau mampu memikulnya..". Lalu beliau diam, saya pun diam, dan semua isi rumah seperti menjadi diam.

Tapi begitulah bapakku. Sekalipun dengan nada mengancam tapi karena dia akhiri dengan kata doa maka dapat saya simpulkan bahwa dia pun telah merestuinya. Lalu saya pun akhirnya menikah. Dan percayalah, hingga senja tiba, sebelum pulang ke rumahnya, lelaki tua pendiam itu setiap saat mendoakanku di sudut-sudut sawahnya dengan ribuan bahasanya yang paling diam...

****

Ketiga Istriku Vv, Awalnya kami bahagia. Aku mengenal istriku sebagai gadis yang pendiam tapi menyenangkan. Sungguh setiap kali saya melihat dia tersenyum, oh, Tuhan, saya seperti merindukan saat-saat itu lagi. Saya tidak pernah menyangka satu kalipun bahwa wanita secantik dia akan bisa menjadi istriku. Hingga saat ini takdir itu terasa misterius dan mungkin Tuhan sudah khilaf menurunkannya untukku. Saya menduga,  sekali ini saja Tuhan keliru dalam urusan penciptaan. Dan Dia telah menciptakan seorang manusia biasa yang sangat sempurna bagiku.

Senja selalu merona serupa wajahnya yang menyimpan malu kala merayunya. Dan, di pengujung tenggelamnya matahari itu aku selalu melihatnya berdoa. Setelah berdo'a aku mengecup keningnya yang serupa purnama. Pada matanya yang sayup, ku temukan ketabahan yang mengalir laksana mata air yang dia bawa dari Surga. Sungguh dirinya jauh lebih ajaib dari seluruh do'a-do'anya.

Istriku itu cantik, saya yakin jauh lebih cantik dari istrimu. Rambutnya tidak lurus, sedikit berombak, dia terlihat menyenangkan dan anggun dengan rambut seperti itu. Bau tubuhnya harum, keimananku selalu rubuh kala mendekatinya lalu memeluknya dari belakang, dan betapa senangnya dia ketika saya berbisik di telinganya bahwa saya lah suami paling beruntung dapat menikahi bidadari secantik dia. Dan dia pun hanyut dalam ribuan gairah bersamaku, mewujudkan do'a-do'a yang kami panjatkan bersama di setiap waktu. Memiliki seorang anak yang kelak akan memanggilnya ibu.

Tak butuh waktu lama untuk membuatnya menjadi seorang ibu. Dan dia terus berdo'a agar anak yang di kandungnya dapat lahir menjadi matahari penerang dalam hari-hari kami atau sebagai rembulan yang menyinari gelap malam rumah tangga kami. Do'a nya telah terkabul dan dia teramat bahagia, hari-harinya diliputi kebahagiaan hingga tak ada lagi yang dia lakukan selain berdo'a. Kamu tahu kawan, seakan-akan dunianya berubah, kami bahkan jarang berdo'a bersama lagi, apalagi bicara bersama tentang tempat liburan minggu ini, atau mendebati alur cerita film-film korea kesukaannya. Sekarang kami lebih banyak diam.

Istriku saat ini berusia 31 tahun, masih cantik, sekalipun dia tak lagi banyak bersolek, yang tersisa di meja riasnya hanyalah lipstik dan gincu yang selalu dia pakai setiap kali dia keluar rumah. Tiap kali dia datang dan pergi tak pernah lagi dia tersenyum, apalagi merenggut tanganku dan menciumnya sebagai sebuah harapan atas doa dan ridhoku menjadi suaminya. Saya pun merasa bahwa dia tak lagi membutuhkannya.

*****

Keempat, Anakku. Menjadi seorang ayah adalah anugerah kehidupan yang tiada tara. Di setiap keringatnya yang mengucur deras pasti selalu ada nama anaknya di sana yang terus membasuhnya, hingga kau lupa pada rasa lelah yang menumpuk di pundaknya. Pernahkah kau mengalami bagaimana air matamu menetes dari celah matamu tanpa tahu kenapa air mata itu harus keluar dan mengalirkan air mata, lagi ?. Begitulah yang saya alami saat anakku lahir, pagi itu.

Hari demi hari air mata itu terus mengalir seiring tubuhnya yang terus tumbuh menjadi seorang anak yang cantik jelita tapi tak pernah mengenal ayahnya sedikitpun. Dia telah menjadi korban atas perpisahan ibu dan ayahnya. Dan sebagai ayah dari anak itu hati ini pun tak sanggup menanggung kerinduan untuknya, berpisah sekian lama darinya. Maka dari itulah anak itu ku beri nama Senja. 

Menurutku, Senja lahir dari jutaan ketegaran yang membawanya hidup dan tumbuh, hingga kita lupa ketika samudera memerah di pelataran senja jutaan mutiara sedang berkedap-kedip di dalam sana dengan penuh kebahagiaan, seperti sedang tersenyum seolah-olah menyambut pertemuan antara terang dan malam dari sebuah perperpisahan yang sangat panjang. Dan tahukah kamu bahwa saya teramat merindukan Senja itu datang saat ini juga ?.

Tapi sudahlah, mengharapkan kepulangannya sama saja dengan mengharap abu dari tungku-tungku pembakaran yang tak pernah menyala!. Dia masih teramat belia, belum tahu arti dari sebuah pertemuan. Apalagi tahu dan merindukan sosok seorang bapak yang tak pernah berkeluh kesah atas kehadirannya, yang baginya anaknya adalah nafas yang membuatnya masih tetap hidup sampai hari ini.

Usia anakku belum cukup 2 tahun. Dia anak yang pintar. Mungkin sudah tahu berdo'a tapi belum tahu bagaimana fungsi do'a itu dan apa yang harus dia do'akan di dunia ini, tapi sekalipun begitu dia menjadi semesta do'a bagiku di setiap do'a-do'aku. Banyak yang mendoakannya, termasuk malaikat-malaikat yang menjaganya. Bahkan jutaan kunang-kunang yang terbang di waktu senja akan terus mendoakannya hingga do'a itu juga lah yang melahirkan do'a-do'a dan terus begitu, sampai do'a ayah itu betul-betul terkabul; Semoga kelak Senja kembali sebelum usia senjanya tiba...

Samata, 06 Januari 2023


IHR. Berdoalah hingga Senja kembali...


Selasa, 29 November 2022

LAYLA MALAM

"Maka seperti apakah cinta yang kau sebut tulus dan apa adanya itu !?, yah seperti saat kita dipertemukan sesingkat senja berlalu tapi aku memilih mencintaimu sepanjang malam berlalu.."

Layla, seindah apakah malam yang kau sebut bintang gemintang berkedip-kedip tanpa henti di hamparan langit yang luas sehingga malam yang begitu sunyi nan gelap itu berangsur-angsur ramai oleh kedipan-kedipan bintang. Lalu, kau berani menyebutnya nyata setelah kau bersumpah bahwa bintang gemintang yang berkedip-kedip itu datang padamu mengetuk pintu jendalamu lalu pendar di dalam kamarmu. O Layla, sebahagia apakah perasaan seorang lelaki yang melihat sebuah malam yang jauh lebih sempurna dari sketsa malam yang kau ceritakan ini ?.

Sepanjang waktu berlalu, selalu ada cerita tentang wanita kesepian. Malam yang memeluknya dalam dingin yang serba sendiri. Lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya suara debur ombak yang menghempas batuan karang dapat terdengar hingga ke atas langit, maupun ke pulau seberang.

Padahal sepanjang malam berganti, sebuah cerita tentang lelaki kesepian jauh lebih hangat untuk diceritakan. Malam yang membuatnya berfikir tentang malam di suatu tempat nun jauh dari bentangan samudera yang menjadi pemisah dari dirinya saat ini, dan mungkin lebih jauh dari suatu waktu yang pernah dia alami di masa lalu. Samudera yang menyembunyikan palung kerinduan yang teramat dalam dan beku, yang menjadi kuburan hidup untuknya, dimana ia tahu bahwa ia bisa saja terkubur bersama kerinduannya di dalam sana, hingga tak ada lagi jalan kepulangan untuknya.

Lelaki itu sedang menulis tentang malam yang sesungguhnya bukan malam yang saat ini sedang ia jalani. Tapi suatu malam yang panjang dalam ribuan peristiwa malam dalam hidupnya, ia pun tidak sadar bahwa sejak dari tadi, tepat setelah senja berakhir dirinya telah tenggelam ke dalam sana, dalam sebuah kenangan malam yang hening dan sunyi. 

Layla, ia sedang berusaha merayumu, membuka lebar ingatanmu tentang sebuah malam di Akkarena, dua puluh tahun silam. Potret malam yang andai bisa ingin sekali ia ziarahi satu kali saja di sepanjang nafasnya berembus.

Kebekuan Pantai Sedayu menambah ringkih suasana, dingin dalam deretan kata-kata yang sebentar lagi hidup sebagai cerita malam yang terbang dari teras rumahnya ke dalam kamarmu yang di penuhi bintang-bintang. Sementara itu puntung tembakaunya kian berserakan di atas lantai. Tersapu oleh angin pantai yang meliuk-liuk.

Sambil menatap hirau pada langit malam ia terus menulis diatas kertas yang bisu dan pasrah. Seakan-akan tulisan itu akan menjadi lembaran cerita dalam hidupnya yang kacau. Ia pun berharap pada bintang gemintang di langit malam yang tak terhitung jumlahnya menjadi saksi tentang cerita yang ia tuliskan malam ini.

"Layla, setiap aku melihat langit malam, aku memikirkanmu". 

Tulis lelaki itu penuh khidmat, Kemudian ia lanjutkan tulisannya.

"Di malam yang cerah, di tepi Pantai Akkarena. Kita duduk menjuntaikan kaki, menikmati embusan angin mammiri dan melihat perahu-perahu phinisi dengan lampu kerlap-kerlip di sekujur bagannya, pergi entah kemana, berlayar ke mana angin membawa kepergiannya. Dan, itulah sketsa malam ketika itu".

Lalu ia menulis dalam paragraph baru. Sesekali menghisap tembakau di tangannya, yang terbang pelan mengudara dalam bentuk gulungan-gulungan asap, lalu hilang perlahan bersama angin malam yang tak meninggalkan apa-apa selain bau tembakau yang pekat dan basah, mungkin juga kerinduan dari dalam dadanya terbang menguap bersamanya, lepas menjadi udara dingin.

"Jadi, Selama apakah seorang wanita mampu menunggu ?", 

O tidak, ia salah, dia menghapus kata lama lalu menggantinya dengan sebuah kata singkat. 

"Jadi, Sesingkat apakah seorang wanita mampu menunggu ?". 

Lelaki itu meyakini bahwa wanita tak pernah sanggup berlama-lama dalam urusan penantian, jadi ia menghapus kata lama. Sudah banyak bahasa yang kehilangan makna bagi penantian seorang wanita. Bahkan waktu pun tak punya daya yang lama dalam memikul beban berat perasaan seorang wanita yang sedang menunggu. Jadi, ia mempersingkat waktu, seakan-akan waktu telah merambat lambat laksana gelombang yang teramat tinggi bangkit dari dasar samudera yang terhampar luas di depannya, dan perlahan gelombang tinggi itu menyapu seisi pantai hingga ke daratan nun jauh dari tempatnya, gelombang itu menelan seluruh isi bumi yang bisa jadi ia akan ceritakan dalam tulisannya, tapi ia pun menyadari bahwa dirinya bersama lembaran-lembaran kertas di hadapannya juga telah lenyap.

Di dalam kepalanya, panggung seperti telah disiapkan. untuk sepasang manusia yg menunggu malam yang dimaksud si lelaki itu. Suasana penantian itu masih terus ringkih seakan di Pantai Akkarena tak pernah ada malam yang seindah malam yang sedang ia nantikan. Atau barangkali malam yang sebentar lagi datang akan menjadi malam terakhir bagi mereka, meski tentu malam akan teramat merindukannya, entah itu di mana. 

"Layla, mungkin Kamu tidak tahu kenapa aku mengajakmu menunggu malam waktu itu, dan sepanjang malam silih berganti kau hanya mengira itu sebagai sesuatu yang biasa saja, sesuatu yang tak punya makna, bahkan sesuatu yang tak dapat kau pahami sedikitpun sebagai bingkisan malam terindah untukmu".

Seperti sebelumnyaa, lelaki itu terus menulis. Tanpa suara, dan tanpa hirau pada suara angin dan desir-desir ombak di sekitarnya.

"Layla, sedalam apakah diam seorang wanita yang tak bertepi itu ?, mungkin kau pun tidak tahu bahwa aku bisa begitu mengenal wanita yang sediam malam, hingga aku mengetahuinya sebagai sesuatu yang gelap dan misterius, tetapi aku tetap suka berada di sampingmu sekalipun kau tak pernah menjawab apa-apa pada tiap suaraku. Dan kau menjadi serupa kegelapan, yang akan terus lelap tertidur tanpa kata-kata".

Nah.

"Lalu begitukah bentuk malam yang akan terus kita jalani hingga malam-malam selanjutnya ?, dan sudikah kita biarkan malam yang indah itu menjadi bangkai masa lalu tanpa menyimpan kenangan apa-apa ?, tanpa cerita, atau tanpa kerinduan sedikitpun". 

Okey

"Selain malam yang silih berulang dari malam ke malam, atau jangan-jangan kau telah menguburnya ke dalam liang yang gelap dan dalam hingga kau keliru bahwa itulah malam yang maha abadi. Di atasnya sebuah nisan kematian kau buat atas nama malam, yang kau harap dapat kita ziarahi sebagai tanda matinya kerinduan".

Lelaki itu terus menulis.

"Layla, lihatlah sepasang kekasih itu yang sedang menikmati langit malam, yang diam dan hirau pada suasana Akkarena ini. Yang saling tertawa yang mungkin kita lah yang sedang mereka tertawakan. Atau mungkin keduanya seperti kita, sedang bicara tentang langit malam dan bintang gemintang yang indah. Lalu kita menjadi sepasang manusia yang asing bagi mereka, yang tak punya rasi bintang untuk satu tujuan yang sama".

Sementara itu kau masih menduga-duga bahwa di pantai inilah sudut yang paling strategis menikmati bentuk malam, disini pandangan begitu luas melihat rasi bintang yang indah. Satu yang kau tunjukkan padaku dengan jemarimu, tanpa suara, tanpa kata-kata. Sekalipun begitu, aku tahu itu sebagai rasi kepulangan bagi siapapun yang berlayar dari sebuah kepergian yang tak tentu arah"

"Semacam rasi penyesalan ?. Iya, sebuah arah kepulangan bagi seorang lelaki yang pernah meninggalkan seorang wanita dan memilih pergi mengarungi samudera kepergian bersama orang lain. Memang benar samudera penyesalan itu sangatlah luas terbentang, dan butuh waktu yang panjang untuk kembali. Dan hari ini melalui pertemuan ini sudikah kau menerimaku pulang sebagai seorang lelaki yang dipenuhi penyesalan ??".

Seperti biasa, seperti malam yang dingin dan pendiam, kau tak menjawabku.

"Lantas kita terus menikmati malam dalam diam dan rindu yang ringkih tersapu debur-debur ombak Akkarena. Aku pun bahagia setidaknya sesekali kau tersenyum menatap bintang yang berkedip-kedip malam ini".

Lelaki itu sekarang berhenti menulis, lalu menoleh ke langit malam yang terpampang luas di hadapannya, memikirkan kata-kata yang tepat tuk ia tumpahkan ke dalam kertas di depannya. Seakan-akan suasana malam ingin dia masukkan seutuhnya ke dalam prosa yang panjang, yang harus ia selesaikan malam ini. Latar malam yang hitam pekat hingga ke dasar samudera yang dalam ingin ia lipat lalu ia masukkan sebagai malam yang hidup dalam tulisannya. Hingga siapapun yang membacanya seakan-akan menemukan kehidupan malam yang betul-betul indah, tak terkecuali Layla.

"Tapi apakah seorang wanita benar-benar dapat berubah menjadi malam !??"

Kau masih diam, tak menjawab apa-apa.

"Layla, andai kau demikian, maka aku kan kembali untuk sebuah jalan kepulangan yang sekalipun itu konon lebih jauh dari lautan makassar ini !!!".

Dan kau tak menjawab apa-apa.

Sepanjang angin berembus, kau masih terus diam. Tapi malam semakin dingin, pohon-pohon kelapa melambai ke arah meraka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, purnama belum datang.


Surabaya, 27 September 2022

Penulis adalah pengagum malam.

Minggu, 18 September 2022

SENJA MERAH

SATU

Setiap kali aku kesana tidak ada satupun wajah orang-orang yang tidak bahagia disana. Dan mereka tak butuh alasan melakukannya, tertawa sepuas-puasnya saat senja datang membawa guratan merah di langit luas, di atas hamparan air laut yang juga memerah. 

Hubungan kita terus berjalan, berhenti sejenak, kemudian lanjut lagi, lalu berpisah lagi, dan bertemu lagi, berpisah lagi, dan seterusnya. Aku juga akan menceritakan cerita ini seperti hubungan ini, karena diantara mereka yang duduk menikmati senja itu ada kamu disana sedang duduk di atas rerumputan yang kering, dengan baju yang kusut, menatap kosong pada cakrawala, menunggu senja dengan hati bahagia. Semua orang disana mengenalmu, seorang wanita tanpa nama yang tidak pernah alpa menunggu senja di tiap-tiap sore, di tempat ini. 

Tiap-tiap sore kamu pasti datang dengan pakaian andalanmu, walau aku hanya lebih suka melihatmu saat sesekali kau memakai baju abu-abu dengan kerudung hitam yang kau kenakan di satu sore, ditambah celana jeans panjang yang kakinya sedikit terangkat karena lingkar kakimu yang kian membesar. Aku teramat mengenalmu walau kau datang dengan kostum yang berbeda-beda. Dan aku lebih mudah menemukanmu dari puluhan pasangan yang duduk berbaris di tepi pantai, walau batu-batu karang menyembunyikan tubuhmu. Itu karena kamu selalu datang lebih cepat dari wanita-wanita itu yang hadir bersama pasangannya, lebih dulu menemani kicau burung dan debur-debur ombak yang melambat labuh, tidur diatas rerumputan yang hijau dan terkadang kamu memetiknya, lalu melemparkannya pada ikan-ikan yang mengiranya sebagai umpan, atau menemani sepasang angsa yang tak jemu berkejar-kejaran di belakangmu. Kamu pasti ingin seperti mereka, hidup penuh bahagia, tanpa air mata, tanpa kesedihan, bersama dengan bebas, menikmati ketentraman, dan menjadi bagian keindahan di mata setiap orang.

Masih sangat hangat diingatan saat pertama kali kau datang bersama seorang laki-laki yang entah siapa. Berjalan dari kejauhan, sembari bercerita, entah apa yang kalian ceritakan, andai bisa kuraba narasi cerita itu maka aku yakin kalian sedang bercerita tentang senja hari ini, yang sebentar lagi datang menemui kalian. Dan andai aku menjadi laki-laki itu, maka aku kan memulainya dari sebuah kata-kata yang sedikit lebay dan dengan kadar sastra yang berada jauh dibawah garis kemiskinan kata-katamu. Aku tahu kamu seorang penulis sastra, dan aku hanya seorang laki-laki yang berusaha terlihat sastrawi walaupun itu naif;

”Aku suka senja, apalagi jika melihat burung-burung terbang ke arah barat, seakan-akan rumah mereka adalah senja.”

”Tetapi, aku tidak begitu mengerti senja. Bagiku tak ada sekat antara sore dan malam, antara sisa-sisa cahaya siang dan datangnya potongan-potongan malam.”

”Apa kamu tidak pernah bermain di pantai ketika sore hari? Ketika kamu lihat langit menggaris merah dan beberapa perahu berlayar lurus hanya menyisakan layarnya yang berkibar. Seperti sangat dekat dengan garis dunia itu. Seakan bersandar pada cahaya senja.”

"Tidak, aku hanya tahu pantai yang panas, dan sore hari aku pulang untuk beristirahat.”

"Jadi, kamu tidak pernah melihat senja?”

”Aku bisa melihatnya dari foto-foto.”

"Foto-foto tidak hidup, semuanya diam, seperti dunia tanpa waktu.”

”Kalau begitu berikan aku video yang merekam senja.”

"Tidak. Aku tidak punya. Aku saja jarang menikmati senja yang utuh. Pertemuan kami hanya sesekali, kadang setahun dua kali, kadang setahun sekali, bahkan sering tidak sama sekali.”

"Lalu, di mana kamu bisa melihat senja yang utuh?”

"Aku hanya melihatnya ketika aku pulang ke rumah orangtuaku di kampung. Di sana ada bukit luas yang jarak pandangnya sampai ke pantai, dan ketika sore tidak akan ada yang menghalangi pemandangan terbenamnya matahari, termasuk senja itu.”

Kemudian segalanya hening.

”Kalau begitu, aku akan membawamu ke suatu tempat di kota ini yang bisa melihat senja setiap hari.”

"Apa? Bukankah tadi kamu bilang tidak pernah melihat senja?”

------------

DUA

Hari ini hujan, kita tak bisa melihat senja. Jadi janji kita tuk melihat senja hari ini kita tunda saja, sampai hatimu benar-benar tak kelabu seperti awan-awan yang kelabu, rintik-rintik air hujan, serta kabut pekat di tengah laut yang menguap ke atas langit.  Aku tak ingin hujan menyembunyikan kebahagianmu hari ini. Aku hanya ingin menatapmu puas saat engkau tertawa, tidak bersedih, tidak menangis, dan berbahagia serupa langit cerah di hari kemarin.

Kita nikmati saja senja di rumah masing-masing. Bersama hujan yang mungkin akan lama. Cukup kita membayangkan senja di atas genangan air hujan. Di halaman belakang rumah kita. Menemukan irama dari ricis hujan, hingga dapat membawa kita membayangkan pemandangan senja yang kekal. Senja yang berbeda kali ini. Senja yang guratan merahnya begitu pekat, seperti kelopak mawar merah atau seperti merah darah yang baru saja tumpah dari tenggorakan.

Orang-orang di sini, di sekitar rumahku tak begitu peduli apakah matahari telah tenggelam atau bahkan terbit dari arah tenggelamnya. Tiap-tiap hari mereka hanya sibuk menunggu sinar, bukan peristiwa. Bagi mereka tidak ada momen yang penting diabadikan selain pergi dan pulang begitu saja. Pagi dan senja hanya penanda, dan jika malam tiba mereka memilih tertidur pulas di atas kasur empuknya. Sejak itulah aku seperti kehilangan nyawa dalam tiap senja yang kutemui di tempat ini.

Begitupun kamu, tak ada senja disana, selain rintik-rintik hujan yang jatuh dari atap rumahmu, dan kau teramat sedih karena tak dapat melihat senja kali ini. 

Sebentar lagi malam. Tiba-tiba hening.. 

Sebercak cahaya merah merambat ke dalam kamarmu, tumpah seperti lukisan penuh darah pada dinding-dinding kamarmu.

"Senja, yah itu senja...", ucapmu.

Senja itu aneh. Senja yang dapat kau temui di dalam kamarmu, yang datang di waktu hujan turun. Senja yang sulit kau percaya, yang walaupun dia telah datang kau masih meragukannya sebagai sebuah senja.

Dan, senja itu begitu basah, dingin, dan beda. Senja yang dari jauh menerabas rintik-rintik hujan hanya untuk menjengukmu dari jendela kamarmu.

Beginilah senja itu. Tidak ada burung-burung terbang, tidak ada layar-layar perahu yang menghiasinya, dan senja yang tidak punya apa-apa selain membawa bercak-bercak merah seperti darah.

Lalu pelan-pelan kamu mengarahkan pandanganmu ke jendela dan menatapnya bahagia. Senja itu pun tersenyum melihatmu tersenyum.

Wajah putihmu yang teduh membuatnya urung untuk berpaling. Dengan senyummu senja itu tiba-tiba bahagia walaupun sepertinya kamu mampu membaca gurat kepedihan yang murung dari tirai senja kali ini.

Lalu semuanya hening, angin kencang menghempas daun jendela, hujan semakin lebat, dan senja itupun menghilang. 

Kau begegas ke jendela membuka jendelamu, mencari-cari senja itu, berteriak-teriak menyebut namanya. Tapi, senja itu telah tiada.

Senja itu pergi tanpa permisi..

Senja itu pergi karena kau tak boleh membayangkan tentang malam. Malam hanya akan membuyarkan senja. Tentu, karena senja dan malam hanya mungkin dipertemukan oleh sebuah garis waktu yang teramat singkat.

Tapi senja yang datang itu benar-benar nyata untukmu. Sekalipun kau menyangsinya sebagai kenyataan. Sebuah senja yang dapat kau bentuk dalam khayal, senja yang hanya datang saat hujan turun di rumahmu. 

Dan senja itu, aku...

------------

TIGA

Sejak kemarin aku menunggumu di sini, tapi kau tak pernah datang, waktu telah menyisakan pertanyaan besar di kepalaku, rasa penasaran yang membatu di pelipis senja yang membuatmu absen selama 6 hari ini. Ada apa denganmu?? hingga senja pun terasa kosong sejak kau tak pernah ada.

Atau apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di tepian langit itu telah mematikan rasamu untuk mencintainya?, sehingga kau lupa bahwa senja itu jugalah yang membuat samudera yang biru berubah merah seperti kelopak bunga mawar merah. Tidakkah kau rindu melihat air yang biru itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran ombak yang menabrak bibir pantai !?. Sealpha apakah perasaanmu saat ini ??.

Sepanjang angin akan berembus di sore ini senja pun terlihat kesepian terbenam tanpa kehadiran seorang wanita yang tiap-tiap hari menunggunya datang, menyambutnya dengan senyum manis semanis legit coklat buatanmu, yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar.

Lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh ombak tak pernah henti menabrak pantai, atau bebatuan yang menumpuk di ujung tanjung. Yang ada hanyalah mereka yang berbaris di tepian bersama pasangannya masing-masing tanpa peduli pada senja yang datang. Tidak peduli pada merah senja yang berubah dari hari ke hari. 

Dan kini, aku sudah mengerti bagaimana senja itu begitu merah saat kau tiada. Saat kau tak pernah datang menjenguk senja sejak 6 hari yang lalu. Di saat itu pula cahaya senja di permukaan air laut seperti berubah menjadi merah yang benar-benar merah, merah pekat, merah darah. Warna merah yang seperti nyata, bukan sebatas pantulan merah yang datang dari langit, seolah-olah warna merah itu datang dari bawah samudera yang dalam dan menakutkan.

Sudah begitu lama, semakin lama kau alpha semakin senja berubah bentuk. Sudah genap kepedihanku itu membatu di dadaku karena menunggumu datang. Dan hari ini telah kuputuskan tuk tidak menunggumu lagi, tuk tidak menantimu lagi, tuk tidak mengharapkanmu datang, menunggu seorang wanita yang sama di setiap senja datang. Wanita pencinta senja, seorang wanita yang sejak dia alpha senja itu tak lagi merah semerah biasanya..

Maka di bawah senja yang merah, dari senja yang terus berubah sampai sore ini aku meminta pamit tak menunggumu lagi, dan kau boleh pergi selamanya hingga senja yang lain datang, nanti..

----------

EMPAT

Tidak ada lagi aku, kamu, dan senja...


Tanjung Bunga, 18 September 2022


Ditulis di waktu-waktu senja dan dari senja yang datang dan pergi..


Minggu, 21 Agustus 2022

BONEKA KUCING DARI KUNANG-KUNANG


     Pada malam hari, ayahmu akan menjadi kunang-kunang, terbang kesana kemari, di atas mekar bunga-bunga, berkeliling sepanjang jalan, mencari remang cahaya, hinggap di daun-daun pohon, berteduh dari hujan dan gerimis, lalu terbang lagi, ke bebatuan, ke atap-atap rumah, ke tiap-tiap jendela. Sepanjang malam ayahmu menjadi kunang-kunang, mencari kamu yang sudah lama hilang.

”Di mana kamu, anakku? Di mana?”

Nyala di tubuhnya begitu terang, seperti kerinduan yang membara, namun berkedip-kedip, seperti rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ayahmu—kunang-kunang malam itu—terus mengembara, berjam-jam, tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Ia akan terus mencarimu, ia arungi sepanjang jalanan yang berliku, yang senyap berbatu, ia terbang di atas sungai yang bercabang, yang entah bermuara di mana. Ia datangi setiap gubug-gubug lapuk. Sampai akhirnya ia temui kamu di sebuah rumah, rumah yang kemudian sangat dikenalnya. Dan sejak itulah, setiap malam, bapakmu selalu setia mengunjungi rumah itu, melihat dirimu tertidur pulas, mendoakan keselamatanmu, lalu bergegas pergi ketika pagi hendak tiba, dengan niat untuk kembali di malam berikutnya….

***

Hari ini tanggal 20 Agustus 2022, 14 tahun berlalu, sejak aku tumbuh besar di tempat ini, ceritanya akan selalu seperti itu, turun-temurun. Di kampung sepanjang gunung ini, yang sebentar lagi akan tergerus oleh pesatnya kota. Katanya, bukit-bukit batu yang mengelilingi kampung ini akan diratakan dengan tanah dan dibuat menjadi bandara. Tapi saya yakin kalau cerita itu akan ikut tergerus di kampung ini, bahwa jika ada seorang anak yang kehilangan ayahnya, entah meninggal atau minggat dengan perempuan lain, maka orang-orang akan menghibur dengan cerita itu, mereka akan mengatakan bahwa ayahnya sekarang sudah berubah menjadi kunang- kunang yang rajin mengunjunginya. Meski tak berwujud manusia, anak itu harus sadar bahwa sang ayah masih benar-benar ada, masih suka berdiam di dekatnya, terutama di malam hari, untuk memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya.

Sejak dahulu aku tak benar-benar percaya dengan cerita tersebut, sampai malam ini aku mendengar cerita temanku, Aliyah. Gadis kecil yang tiga tahun lalu ditinggal sang ayah, menikah lagi dengan seorang wanita, Aliyah dan ibunya pun hidup serumah bersama-sama. Senasib dengannya, aku memang suka menemani Aliyah yg kesepian, ia tinggal sendiri bersama sang Kakek, sementara ibunya juga sudah tiada tepat setahun setelah ayahnya minggat dari rumahnya, pergi bersama istri sirinya. Ibu Aliyah menjadi korban kebakaran rumah di kota perantauan. Sepulang dari sekolah ia harus menyaksikan ibunya terpanggang sendirian dalam kobaran api rumahnya yang terbakar. Tinggallah Aliyah sebatang kara di kota itu, hingga akhirnya Aliyah diajak kakeknya tuk pulang ke kampung halaman.

Aliyah berkisah padaku, bahwa semalam ia baru saja bertemu bapaknya. Awalnya aku tak terkejut, sebab bisa saja bapaknya memang berkunjung ke desa ini untuk menjenguk Aliyah. Tetapi gadis itu berkata bahwa ayahnya sudah menjelma kunang-kunang, dan ia melihat kunang-kunang itu terbang di luar kaca jendela kamarnya.

”Lalu? kamu buka jendelanya?” Tanyaku.

”Iya, kubiarkan kunang-kunang itu masuk, lalu tidur di sampingku, di atas kasur.”

”Terus?”

”Terus aku tidur dan bermimpi, dalam mimpi itu, aku benar-benar bertemu ayah.”

”Jadi, kamu bertemu ayahmu cuma dalam mimpi?”

”Iya.”

”Besok paginya bagaimana?”

”Besok paginya kunang-kunang itu hilang.”

”Hilang?”

”Iya. Hilang begitu saja.”

Wajah Aliyah berakhir sedih. Namun saat itu juga pikiranku melayang jauh. Setelah berpamitan & meninggalkan rumah Aliyah, cerita itu seperti berputar kembali untuk diriku sendiri.

Aku membayangkan ayahku masih ada sampai saat ini, sampai detik ini, & dia pun amat merindukanku malam ini.

Tetapi, siapa ayahku?

Barangkali ayahkuu memang penjahat. Ya. Sudah jadi dugaan umum, bahwa dia penjahat. Seorang laki-laki yang tega meninggalkan ibuku demi perempuan lain. Dia perlakukan ibuku dengan sangat kasar dan tanpa perasaan. Dia seorang laki-laki tengik, yang tidak bertanggungjawab. Konon katanya, saat itu aku masih berusia 7 bulan. Hingga akhirnya ibu memutuskan untuk minggat dari rumah dan pulang ke rumah nenek, di rumah ini.

”Dulu, ayahmu sering menyakitiki hati ibumu. Tidak peduli dengan kondisi ibumu. Hingga akhirnya ibumu jadi kurus kerontang” Kata Nenek.

"Kenapa ayah setega itu, Nek?”

”entahlah, nak.”

”Apakah ayah pernah membujuk ibu untuk pulang, Nek?”

”Beberapa kali, di awal-awal, tapi ibumu saya larang ikut, hingga akhirnya ia tidak pernah datang lagi".

”Terus ayah ke mana?”

”Tidak tahu.”

”Apa ayah masih hidup nek ?”

”Tidak tahu.”

”Apa Nenek mau bantu aku mencari ayahku ?”

”Hmm, tidak mau”.

Lalu desas-desus tentang ayahku pun mengiringi bertambahnya usiaku, ketika aku beranjak lima belas tahun, ketika aku dianggap sudah mulai bisa mengingat dan menampung kenangan. Aku semakin ingin tahu tentangnya. 

Begitulah para tetangga, sebagian menjelekkan pribadi ayahku. Kebanyakan bercerita kebaikannya. Tapi entah kenapa, semua orang di rumah ini seolah-olah bersepakat bahwa ayahku adalah orang jahat, termasuk ibu.

Sepanjang aku mulai mencari tahu tentang ayahku pada tetangga setiap tetangga berusaha memberikan cerita versinya masing-masing.

”Biasanya, seorang laki-laki yang meninggalkan istrinya itu karena punya simpanan wanita lain di luar sana"

”Tapi, mungkin ayahmu berlaku demikian karena hal lain. Setahuku, ayahmu orang baik. Sifatnya dingin dan tidak banyak basa-basi"

”Eh, mungkin saja ibumu minggat dari rumah karena keinginan sendiri. Tapi entahlah, yang kami dengar dari mereka selama ini ayahmu lah yang salah"

Dan sebagian berbisik senyap di kupingku lalu mengatakan:

”Atau mungkin saja keluargamu lah yang menyembunyikan cerita yang sebenarnya pada kami".

Semakin lama, kisah tentang ayahku membuatku pusing, namun aku sempat heran, mengapa tak ada yang menghiburku dengan cerita yang mengatakan bahwa ayahku suatu saat akan datang kemari menjengukku. Bahkan aku tidak mampu mengingat bagaimana wajah ayahku. Wajah yang pasti pernah menggendongku hingga akhirnya memutuskan untuk tidak pernah menemuiku lagi.

Cerita itu hanya ditujukan untuk menghiburku, cerita yang benar adalah apa yang dikatakan ibu. Tidak mungkin ibuku bohong padaku. Tapi, apakah ibuku benar-benar jujur tanpa sedikitpun menyembunyikan sesuatu dariku !??. Ibu mungkin tidak bohong tapi bisa saja menyembunyikan patahan cerita yang lain dariku agar aku ikut merasakan kebenciannya dan tidak mencari ayah. Tapi apakah pantas semua kesalahan seutuhnya dilimpahkan pada ayahku !??.  Entahlah.. Tapi aku merasa ada sesuatu yang ganjil dari seluruh cerita tentang ayahku dari dalam rumah ini. 

Semakin orang bercerita tentang kejahatan dan keburukan ayahku aku semakin ingin mencari tahu tentang kebenarannya. Jika memang ayah jahat, kenapa ibu menikah dengan ayah ?, kenapa nenek merestui pernikahan itu ?, dan tidak mungkin aku lahir di dunia ini sebagai seorang anak dari hasil pernikahan cinta mereka berdua. 

Kenapa ayahku teramat tega tidak pernah datang menjenguk anaknya. Padahal setahuku kami tidak pernah pindah rumah. Dia tahu dimana seharusnya dia datang menjengukku. Setega itukah dia sebagai seorang bapak. Sejujurnya aku sangat marah padanya, bahkan kemarahan itu sudah membatu di dadaku. Dia pun tak pernah datang menjengukku walau sekedar dalam rupa kunang-kunang.

****

Hari pun beranjak lenyap, cahaya jingga sudah pendar memayungi langit. Aku harus pulang dan pamit dari sini. Ibu pasti sudah risau menunggu kepulanganku.

Aku berjalan pulang dari rumah Aliyah dengan setengah melamun, melangkah sendirian di gang kompleks yang temaram. Dan di sebuah perempatan yang remang, beberapa ratus meter sebelum rumahku, tiba-tiba kulihat seekor kunang-kunang terbang rendah di dekat tanah. Aku terheran-heran. Kunang-kunang itu sendirian saja, berkedip lemah.

Tunggu.

Apakah ia adalah jelmaan seorang ayah yg anaknya ada di kampung ini? Apakah ia ayah dari Aliyah yang kemarin malam terbang di luar jendela?

Apakah ia ayahku yg dikatakan jahat itu ?

Kudekati kunang-kunang itu, kuambil salah satu botol bekas yang berserak di tempat sampah. Aku membentuk cekungan pada telapak tangan kiri untuk menggiring kunang-kunang itu masuk ke lubang botol, lalu aku menutupnya dengan telapak tanganku. Anehnya, kunang-kunang itu menurut begitu saja.

Kunang-kunang itu sekarang ada dalam botol, cahayanya tak memantul, ia terbang kesana-kemari, sepertinya kebingungan, berpindah-pindah pada dinding botol. Aku setengah berlari menuju rumah, langsung ke kamar, untung saja Nenek sudah tidur, jadi tak tahu apa yang kulakukan. Kututup bagian atas botol dengan plastik dan karet, lalu kuletakkan di atas meja. Dan seperti cerita Aliyah, aku berharap malam ini bisa bertemu ayah, agar aku bisa tahu wajah ayah, walaupun hanya dalam mimpi.

Aku memang benci Ayah tapi aku ingin punya ayah yang setiap sore atau pagi mengajakku berkeliling kompleks sambil meremas tangannya yang kasar. Aku ingin punya ayah yang setiap makan malam memanggilku tuk makan bersama. Aku ingin punya ayah seperti teman-temanku yang lain yang katanya, sebelum tidur ayahnya membacakan dongeng pengantar tidur. Aku ingin punya ayah yang di setiap hari ulang tahunku membawa kado istimewa untukku.

Sambil merebah di atas tempat tidur, masih bisa kunikmati cahaya lemah kunang-kunang itu, hingga akhirnya aku terlelap dengan sendirinya.

*****

Entah sudah berapa jam berlalu, aku seperti tergagap bangun, kemudian segalanya menjadi terasa amat ringan. Ini seperti nyata. Dan ketika perlahan kubuka mata, tampak seorang lelaki sedang duduk dengan pandangan mata yang mengarah kepadaku. Dia memegang sebuah boneka kucing yang lucu. Seperti boneka pemberian ayah saat ulang tahun pertamaku. Aku pun langsung mengarahkan mataku pada lemari kaca di sudut kamar, memastikan bahwa boneka pemberian ayah 14 tahun lalu itu masih tersimpan rapi disana.

”Apakah kamu kunang-kunang yang semalam itu ?”, tanyaku.

”Benar, aku kunang-kunang yang kamu tangkap dengan mudah, yang kau masukkan ke dalam botol.”

"Trus, kamu ini siapa ?".

"Aku ayahmu nak". Jawabnya dengan lirih.

Dengan lidah yang kaku dan bergetar aku pun menjawab. Memastikan sekali lagi ucapan lelaki itu yang menyebut dirinya sebagai ayahku.

"Be....tu...lll... kamu ayah ?". 

"Iya betul".

"Trus kenapa ayah baru datang sekarang ????".

Dan ibu tiba-tiba mengetuk pintu dan berteriak dari balik pintu, mengajakku shalat subuh.

"Nak, shalat subuh..!!!"

Aku pun terbangun. Dan langsung menoleh ke arah meja. Botol plastik itu lenyap bersama kunang-kunang itu. Tapi.... boneka kucing itu memandangku diam dari atas meja.

Samata, 21 Agustus 2022


Ditulis oleh seorang bapak yang rindu pada anaknya.