Seperti janjinya, Supihana akan kembali ke kampungnya menjalani getir kesepian yang tidak biasa dia rasakan. Pilihan itu memang sulit tapi harus dia tunaikan. Menjadi gadis kampung yang hidup dari jernihnya aliran sungai. Tidak ada lagi hiruk pikuk kota, tidak ada mall atau apa saja yang membuatnya harus memakai gincu, tidak ada juga ruangan yang berpendingin listrik sebagai tempat menggunakan rok mini dan baju serba ketat, atau sepatu high heels yang dia pakai berjalan di lantai-lantai marmer. Semua serba tidak ada, di kampung hanya ada hamparan sawah dan moncong-moncong bukit yang serba tinggi.
Supihana pernah berjanji pada ibu-bapaknya bahwa jika di usia 35 tahun dia belum juga menemukan jodoh pilihannya di kota maka dia siap dinikahkan dengan laki-laki mana saja yang dipilihkan oleh ibu-bapaknya. Dari sana cerita Supihana ini dimulai. Gadis kampung yang mengelana ke kota sekian lama waktunya dan harus kembali ke tempatnya semula sebagai perempuan kampung demi menebus janji pada ibu-bapaknya. Menjadi perempuan modern di tengah rimbun pohon-pohon kopra dan rumput-rumput ilalang.
Usia Supihana saat ini, tiga puluh empat tahun enam bulan lima belas hari. Usia yang sudah terbilang matang. Di kampung, perempuan dengan usia demikian sudah diwanti-wanti masuk dalam deretan penghuni bangku cadangan perawan tua. Entah bagaimana usia menjadi standard perbincangan bagi kehidupan kampung padahal orang-orang di kampung Supihana juga banyak yang menikah diatas usia empat puluhan. Dan hampir semuanya dinikahi konglomerat kampung.
Maradewi penjual kue keliling yang setiap pagi berteriak-teriak di sepanjang jalan kampung guna melariskan dagangannya, pernah menjadi penghuni bangku perawan tua, tanpa disangka-sangka di usia empat puluh satu tahun Maradewi dinikahi oleh seorang juragan tanah di kampung seberang. Ada juga Salasia, seorang guru mengaji yang setiap hari disibukkan oleh aktifitas pengajian, pagi sampai siang Salasia sibuk mengajar di sekolah dan sepulang sekolah Salasia mengajar mengaji di langgar. Hidup Salasia semakin monoton ketika dia didaulat sebagai penceramah antara maghrib-isya di majelis taklim ibu-ibu kampung. Habislah waktu Salasia bergelut dalam dunia pengabdian yang serba berulang dari hari ke hari, hingga akhirnya seorang pelaut melamar Salasia di usianya yang ke empat puluh delapan.
Ibu-bapak Supihana mungkin tercengang dengan fenomena itu sehingga mendesak Supihana tuk segera pulang kampung. Mereka seakan-akan ingin melawan hukum takdir yang misterius, atau mereka tidak memahami hukum kebetulan atau justru terlalu bertakliq pada kebetulan !?, entahlah. Maradewi dan Salasia telah jadi cermin cekung bagi orang tua Supihana, keduanya meyakini Supihana jauh lebih menarik dari Maradewi dan Salasia. Supihana juga tahu banyak hal, mulai dari memasak dan mencuci. Apalagi soal pengaturan sirkulasi keuangan, Supihana sudah belajar banyak di kantornya, mereka yakin Supihana akan bisa jadi ibu rumah tangga yang telaten mengurus uang suami, kelak jika dinikahi konglomerat kampung.
Waktu terus berjalan, batas usia Supihana kian menyempit. Tidak ada pilihan lain bagi Supihana untuk jauh lebih aktif mencari calon pasangan hidupnya. Tidak cukup setengah tahun lagi batas kesepakatan telah berakhir dan hari itu jika Supihana tak mau pulang maka akan dijemput paksa oleh ibu-bapaknya. Maka Supihana nekat membuat sayembara, mengumumkan perihal dirinya yang ingin menikah, tentu dengan kriteria laki-laki yang telah dia tetapkan. Pertama, harus gagah, putih bersih, mirip artis korea. Kedua, harus mapan, dengan penghasilan bulanan minimal Upah Minimum Provinsi. Dan ketiga, si laki-laki harus pintar mengaji sebagaimana pesan ibu-bapaknya.
Sebulan berlalu, tiap hari calon pelamar datang silih berganti, pertemuan demi pertemuan dilakukan tapi tidak ada yg sesuai kriteria. Puluhan laki-laki dgn berbagai status datang menemui Supihana tapi semua hanya berlalu. Beberapa dengan status sosial yang adi diningrat tapi tak segenteng artis korea, ada yang tidak tahu mengaji pula. Beberapa juga berstatus anak pesantren dengan kemampuan baca quran yang aduhai syahdunya tapi sayang tak setampang Lee Min Hong.
Satu orang nyaris dipilih Supihana, saat tiba pertemuan diadakan, pria itu datang dengan mobil mewah, saat turun dari mobilnya lelaki itu tersenyum penuh pesona, aduhai membuat jantung Supihana meledak-ledak. Supihana pun langsung jatuh hati pada laki-laki berambut jambrik itu. Tak dinyana, rupanya pria itu anak seorang ustads kondang di kota ini, sekaligus pemilik salah satu warung makan ternama yang biasa Supihana datangi. Sempurnalah pertemuan hari ini.
Supihana pun mengatur pertemuan berikutnya, tuk bicara lebih serius, menanyakan kapan pria itu kan datang ke rumahnya bertemu bapak-ibunya, kapan mereka kan menikah, hingga soal-soal klise yang tidak perlu dibicarakan lebih dahulu, seperti soal warna kesukaan, makanan kesukaan, hingga pembagian waktu diantara mereka setelah menikah. Pokoknya, di dalam kepala Supihana sudah tersusun rapi tentang skenario pertemuan selanjutnya. Supihana tidak sabar pertemuan itu tiba.
"Sampai jumpa minggu depan yah..!!!", seru Supihana turun dari mobil pria itu.
Tibalah di pertemuan selanjutnya, Lelaki itu betul-betul datang, hati Supihana meledak seperti bom nuklir. Begitu bahagianya dia saat melihat pria tampan yang sebentar lagi jadi suaminya itu menghampirinya dan duduk tepat di hadapannya. Supihana bahagia bukan kepalang, debaran jantungnya mengalir ke sekujur tubuh, tangannya bergetar, kakinya bergetar, hingga meja di depannya juga ikut bergetar, semua bergetar. Tapi sayang seribu sayang ternyata ditengah pertemuan itu istri laki-laki itu datang memergoki mereka. Getar Supihana pun seketika berhenti saat teh hijau dingin pesanannya mengguyuri sekujur tubuhnya. Supihana jadi bulan-bulanan istri pria itu, dia tertuduh sebagai perebut laki orang. Pupus sudah harapan Supihana.
Model penjajakan jodoh dengan sayembara seperti ini sebetulnya sangat pahit dilakukan oleh Supihana, sama saja merendahkan harga diri Supihana sebagai gadis kota bernalar modern. Pendidikan tinggi, titel sudah berbadan dua dengan nilai kumulatif melampaui garis rata-rata, tapi dalam urusan jodoh entah kenapa Supihana bagaikan berperang dengan takdirnya sendiri. Pada awalnya Supihana menolak segala kejumutan dan kekolotan tapi ternyata dengan terpaksa harus melakukan penjajakan model kuno yang jauh lebih kolot dari model tawaran ibu-bapaknya. Supihana sedang menepuk air dalam tembikar, sayembara itu mempermalukan dirinya sendiri. Andai itu berhasil mungkin masih ada cerita indah yang dapat dia ceritakan pada anak cucunya kelak, tapi sayang usaha terakhir itu pun ikut gagal dan tidak sama skali meninggalkan satu harapan apapun untuknya.
Aduh Supihana, si gadis cantik berparas rembulan. Kini dia sebatang kara, berjalan sendirian di tengah gelap pekat malam menemukan takdir, mencari setitik harapan agar dapat menikah dengan laki-laki pilihannya sendiri. Kini, hari-harinya kian mencemaskan, cahaya bundar di wajahnya kian meredup karena himpitan waktu, jalannya semakin gelap, tersisa hanya dua bulan sebelum Supihana terpaksa angkat koper dan meninggalkan segala pencapaian karirnya sebagai akuntan di perusahaan ternama di kota itu. Supihana akan pulang kampung, itu membuat kawan-kawan kantornya ikut prihatin. Tapi tak ada lagi yang dapat mereka perbuat untuk Supihana, hampir semua kenalan dan keluarga dari teman-teman mereka sudah diperkenalkan pada Supihana tapi tidak ada yang berhasil memecah keras hati Supihana, atau mungkin takdirnya yang terlampau keras, entahlah.
Kian hari mata yang selalu tersenyum itu kian meredup oleh desakan waktu, mata seorang gadis yang memandang kehidupan kota sebagai surga terbaik dalam hidupnya, karena di kota Supihana teramat bahagia membaca kalimat-kalimat rindu pada ayah-ibunya lewat merk-merk barang ternama dan termahal di seantero dunia perbelanjaan. Sebentar lagi, iya sebentar, kurang dari sebulan, semua kebahagiaan itu terancam hilang dari matanya, menjadi kenangan, menjadi barang rongsokan masa lalu, menjadi cerita yang berdebu. Dan mata indah itu, hanya akan membacanya lewat air mata. Bisa saja tidak, kecuali Supihana memilih menjadi filsuf..
Takalar, 03 Maret 2023
IHR. Berharap Supihana Tidak Jadi Filsuf..
