Sabtu, 29 Februari 2020

SEBUAH CERITA YANG SERIUS DAN TIDAK MAIN-MAIN (AKHIRNYA HARUS INDAH)

Andai bisa memaksa Tuhan, aku kan paksa Tuhan agar kita berjodoh. Tapi ternyata Tuhan tidak suka dipaksa. Dia lebih suka memaksa.

Tuhan seringkali menjadi kejam di posisi-posisi tertentu tapi Tuhan selalu punya alasan atas segala tindakannya. Tuhan juga seringkali menjadi sangat baik bagi setiap orang tapi bisa jadi kebaikan-kebaikan itu hanyalah ujian. Tuhan selalu begitu, bahkan jika kamu sangat membencinya.

Tuhan tidak perlu mengatakan segala maksud tindakanNya. Tuhan hanya mau kamu sadar dan kamu mencari alasannya sendiri. Kamu juga diharapkan untuk tidak terlena pada hal-hal yang dapat membuatmu lupa diri dan lupa Tuhan. Bahkan jika kamu terus menerus mencela dan memaki Tuhan atas dasar ketidakadilan Tuhan, maka itu sesungguhnya tindakan yang paling buruk.

Cerita ini sengaja kutuliskan untukmu agar kau tahu bahwa di zaman lampau, di dataran antah berantah, seseorang pernah mencela Tuhan. Aku membuat cerita ini tampak sangat sempurna hingga kamu percaya bahwa cerita ini benar-benar pernah terjadi. Sekali lagi, ini hanya cerita fiksi sekalipun ceritanya nampak sangat nyata dan benar-benar sempurna.

Alkisah, di suatu zaman hiduplah seorang pemuda yang telah berputus asa dengan nasib buruk. Ketika tak ada lagi yang bisa diharapkan dari hidupnya, ketika tak ada lagi yang bisa dibanggakan setiap kali mata itu terbuka menatap dunia yang muram, lelaki itu pun bersumpah, bahwa setidak-tidaknya ia harus bisa menciptakan sesuatu yang akan memuaskannya kelak, sesuatu yang barangkali akan menjadi satu-satunya sejarah yang tercatat atas namanya. Ya, dan hal itu sudah ada di antara sepasang matanya. Diam-diam, dia ingin menikahi seseorang, dengan sebuah pernikahan yang bahagia.

Tapi kenyataannya semua hal menjadi tidak sempurna, semua hal muncul sebagai kenyataan yang tidak dapat dia genggam dalam telapak tangannya. Dia telah utarakan segala maksud hatinya. Tapi  (maaf, ini sebuah frase yang harus disembunyikan. Frase yang kehilangan kata-kata. Meminjam istilah Cabelagi sang kritikus sastra abad 19 bahwa ini frase sakit hati. Frase yang harus disembunyikan dalam sebuah cerita..%#^**%}}€#%). Maka dari itu, tidak perlu kita tahu detail peristiwanya. Frase itu terlalu kejam. Sebuah frase kesakitan yang serius dan tidak main-main.

Frase itu benar-benar harus disembunyikan. Penulis sengaja menyembunyikannya supaya pembaca tidak berkesimpulan macam-macam.

Baiklah, Sekarang kita melompat pada kejadian setelahnya. Kejadian yang lebih buruk dari kejadian yang mengakibatkan kejadian ini. Tindakan yang bukan hanya sekedar sakit hati. Tindakan yang melahirkan tuduhan yang tajam. Dan tuduhan ini sudah sampai di level paling serius dan tidak main-main. 

28 Maret
Tidak, tidak, ini hanya tanggal ulang tahun lelaki pemeran cerita ini. Kita beralih ke dua hari sebelumnya.

26 Maret
Hari ini, Lelaki itu ingin membawa persoalan ini ke meja peradilan. Dia tidak terima atas nasib buruk kehidupan yang terus bertubi-tubi menimpanya. Dia menyangsi dirinya. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, sesuatu yang menurutnya tidak adil, sesuatu yang baginya tidak pantas ditimpakan padanya. Maka dia bermaksud menuntut Tuhan. 

Menuntut Tuhan????, apa yang harus dituntut pada Tuhan ???, bukankah nasib manusia mengalir seperti air !!??, tak seorangpun yang bisa membendung kecuali Tuhan itu sendiri. Dan bukankah orang-orang yang tidak menerima takdir buruk disebut khianat pada Tuhan !!???. 

Oleh semua orang, tindakan ini adalah kejahatan yang jauh lebih luar biasa dari kejahatan luar biasa. Kejahatan ini benar-benar serius, mengerikan, dan tidak main-main. Perbuatan yang akan dianggap sebagai perbuatan yang melampui batas. Tapi dia tidak main-main maka dia tetap melakukannya.

Semua berawal dari kejadian yang tidak bisa diceritakan dalam frase sebelum ini. Kejadian yang membuat luapan perasaan lelaki itu semakin memuncak dan tidak tertahankan lagi. Kejadian yang tidak bisa diceritakan itu menjadi bom nuklir yang meledak dan membunuh apa saja di sekitarnya, termasuk kewarasan lelaki itu. Itulah sebabnya perkara ini jauh lebih serius untuk diceritakan daripada perkara-perkara lainnya.

‘Menuntut Tuhan’. Sebaris kata dengan objek yang abstrak. Terdengar mudah tapi mustahil. Sekalipun demikian, dia telah memulainya. Pencarian itu diawali pada beberapa orang yang dia anggap dekat dengan Tuhan. Beberapa pertanyaan-pertanyaan sederhana dia tanyakan pada orang-orang itu. Misalnya, dimanakah Tuhan sekarang dan dimanakah peradilan yang layak dijadikan tempat untuk menuntut Tuhan. 

Langkahnya sudah terlalu jauh. Melewati batas. Tidak satu orangpun yang dapat mencegatnya selain dirinya sendiri. Di dalam kepalanya telah tersusun beberapa skenario jahat untuk menyeret Tuhan ke meja peradilan. Ini betul-betul tidak bisa dibiarkan, jika hal itu benar-benar terjadi aku tidak dapat membayangkan kira-kira apa yang akan terjadi pada dunia ini. Iya, Aku takut membayangkannya. Dimana Tuhan akan diseret ke sebuah tempat yang jauh lebih besar dari Tuhan, dan di dalam sana Tuhan sedang duduk sebagai tersangka menghadap majelis hakim dan melaporkan segala alasan-alasan tindakannya pada lelaki itu. 

Ini tidak mungkin terjadi, mustahil, karena Tuhan maha besar, melampui kebesaran dari segala apapun. Tuhan tidak mungkin teradili di dalam sana tapi Tuhanlah yang seharusnya mengadili.

Hal itu tidak boleh terjadi dan mustahil terjadi. Alur cerita ini harus diubah. Jika tidak, penulis cerita ini pun akan ikut terseret ke peradilan Tuhan. Dia kan dianggap sesat dan diganjar hukuman berat.

Baiklah, kalo begitu cerita ini harus benar-benar berubah. Kita kembali pada:

28 Maret
Jangan, jangan, ini masih hari ulang tahun si pemeran cerita ini. Kalau begitu kita melompat sedikit saja. Dalam hitungan jam ke hari berikutnya.

29 Maret
Pukul Dua belas Lewat kosong satu. Jangan, Waktu ini terlalu dramatis. Kita ubah ke pukul Empat lewat seperempat agar cerita ini tidak terkesan dibuat-buat. Di pukul empat lelaki itu terbangun dari tidurnya. Seperti biasa, di jam-jam ini dia bangun lalu sembahyang. Dia laki-laki yang baik, rajin sembahyang, taat ibadah, dan rendah hati. 

Saat dunia menjadi sunyi dan gelap. Malam menjadi dingin, beku, dan hanya samar rembulan yang bersinar di tepi langit. Dia bangun dengan wajah yang kelabu. Hanya masalah yang tampak sempurna di depan matanya. Dan hanya dia yang dapat melihatnya dengan jelas. Sangat gelap, dingin, dan sengaja dia gelapkan. Tak satupun yang boleh tahu, karena itulah dia putuskan menyumbat mulutnya rapat-rapat. Sebentar lagi dia kan tumpahkan segalanya lewat doa-doa.

Selubung cobaan yang menggenapkan kekecawaannya sudah cukup membuatnya meradang sakit. Namun setelah peristiwa penolakan itu terjadi kelabu ngiang menderanya. Kedua bola matanya tidak lagi mampu melihat rembulan bersinar terang. Bintang kejora tertutup dengan awan kelabu. Wajah perempuan itu terus terbayang-bayang Tepat di hadapan mukanya. Menjadi tabir gelap yang menutupi matanya.

Sebetulnya, lelaki itu tahu soal sifat-sifat Tuhan. Dia tahu bahwa Tuhan Maha Sempurna, tapi rasa sakit hati lelaki itu jauh lebih sempurna dan lebih serius dari segala pengetahuannya tentang Tuhan. Maka dia mulai dengan mencari-cari Tuhan di sudut malam yang paling sunyi. Jika Tuhan datang dia kan sangat berbahagia, apalagi jika Tuhan mengabulkan permintaannya dalam waktu yang tidak lama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tentu, pertemuan ini harus dia rahasiakan, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Jika tidak, semua orang pasti kan menuding Tuhan tidak adil. Dan Ini harus menjadi rahasia dalam waktu yang panjang. 

Baginya, Perkara ini sebetulnya sederhana. Cukup Tuhan datang. Jika Tuhan tidak mau datang, cukup mengutus salah satu dari jutaan malaikat cinta tuk mengabulkan permintaannya. Selama ini Niat dan doa-doanya tidak berjalan sesuai harapan. Dari semua doa-doa dan air mata yang tumpah di setiap waktu, Tuhan tak pernah datang dalam rupa yang dia harapkan. 

Tunggu dulu, sebelum lanjut, aku harus sampaikan bahwa jangan salah sangka pada diksi itu. ‘Tuhan tak pernah datang dalam rupa yang dia harapkan’. Dia tidak pernah berfikir bahwa Tuhan akan datang dalam rupa yang sempurna seperti sosok sinar dengan pantulan cahaya-cahaya yang menyilaukan di sekujur tubuhnya lalu mengatakan “katakanlah apa keinginanmu !”. Dia hanya berharap malam ini Tuhan datang serupa petunjuk ke dalam hati perempuan yang telah menolaknya dan lewat petunjuk itulah perempuan itu datang membawa dirinya dan meminta maaf padanya.

Malam ini puncaknya, menjadi malam yang paling gelap. Pandangannya sudah betul-betul kosong pada doa-doa yang dia panjatkan. Di atas sana wajah rembulan tak lagi seindah wajah perempuan itu. Dia telah kehilangan cahaya pengharapan. Wajah indah yang seharusnya telah terpahat rapi di sepasang bola matanya tapi wajah itu tak kunjung datang walau untuk meminta maaf.

Dia ingin perempuan itu merubah keputusannya malam ini juga. Ini salah satu tuntutannya yang paling serius. Terlihat Seperti desakan yang mengharuskan Tuhan mengabulkan tuntutan itu malam ini juga. Jika tidak, maka dia mengancam mengumpulkan jutaan massa, memobilisir orang-orang yang sependeritaan dengannya, lalu berdemo menuntut Tuhan di jalan-jalan kehidupan yang paling sunyi. Tapi ini bukan aksi makar, dia hanya menuntut keadilan ditegakkan.

Pagi sudah tiba, mentari bersinar di ujung ufuk, sejak malam tadi dia tak pernah lagi berdoa. Ini tindakan yang sangat serius, bahkan tidak main-main. Dia kemudian membuat pengumuman di seluruh kanal media sosialnya bahwa siapapun yang pernah kecewa pada keputusan Tuhan maka diharapkan berkumpul di sepanjang jalan kesunyian, pada pukul 10.00 teng. Dia tekankan lagi kata-katanya, bahwa siapapun itu, tak terkecuali, yang jelas pernah kecewa pada Tuhan.

Ini betul-betul serius, berbahaya, dan mengerikan. Sebentar lagi Tuhan akan didemo oleh seorang hambaNya yang taat. Tapi, mana bisa Tuhan didemo, dituntut dengan tudingan tidak adil, dicaci maki di tengah-tengah jalan, dan dipaksa menyerah pada keputusannya. Tiba-tiba Ban-ban akan terbakar, asap-asap api mengepul di tengah kerumunan, dan lelaki itu berteriak dengan toa’ pengeras suara, mencaci maki Tuhan serta mengata-ngatainya tidak adil. Ini kemungkinan cerita yang akan terjadi sebentar lagi. Dan itu tidak bisa dibiarkan. Tidak boleh terjadi. Sekali lagi alur cerita ini harus berubah. Tidak boleh sebebal ini. Jika tak segera diubah maka Tuhan pasti kan murka.

Sebelum terlambat, maka cerita ini harus diluruskan. Ini benar-benar berbahaya.

22 Maret
Ok, Saatnya kita ubah ceritanya. Sekarang kita bergeser tepat satu minggu sebelum kejadian yang mengerikan itu terjadi.

Kita ubah skenario awalnya agar kejadian itu tidak terjadi. Agar tidak ada satu frase kesedihan yang tidak bisa diceritakan di dalam cerita ini. Agar tidak ada penolakan, sehingga tidak ada juga tuntutan yang mengerikan pada Tuhan di masa yang akan datang.

Semuanya dimulai di suatu pagi, di sebuah taman, di satu pertemuan yang tidak terencana, di dalam deretan dialog yang memunculkan satu kesimpulan.

“Huussttt.. kamu diam, coba dengar suara angin itu. Lembut, menenangkan..”. Perempuan itu meletakkan telunjuk di bibir  lelaki itu.

Lalu mereka benar-benar diam. Tanpa suara. Yang ada hanya suara hembusan angin. Yang lembut,, tenang, mengalun.

“Tutup matamu”, ajak perempuan itu. 

Lalu Mereka berdua menutup mata. Dalam empat sampai lima lompatan detik.

“Coba rasakan bagaimana angin menyentuh kulitmu. Merangkak dari ujung jemarimu. Membelai seluruh tubuhmu. Dingin. Halus. Damai..”. Urai perempuan itu.

“Jangan buka matamu”. Masih perempuan itu.

“Coba bayangkan bunga-bunga di sekitar kita sedang bergoyang, lembut, halus. Butir-butir embun sedang merangkak pelan, perlahan, lalu jatuh dari ujung daun kemudian lebur ke dalam tanah. Di atas kepala kita, daun-daun pohon bergesekan, coba dengarkan, suaranya halus, senyap. Lihat, ada yang tanggal, meliuk lambat, terombang-ambing di dalam udara, dan jatuh tepat di pilipis kananmu. Tapi jangan buka matamu, pejamkan saja terus. Sabarlah. Sedikit lagi. Dia pasti datang”. Urai perempuan itu.

Dan mereka berdua masih memejam mata.

“Nah. Dia sudah datang. Hangat. Lembut. Damai.”. Tutup perempuan itu.

Mereka berdua pasrah pada sinar mentari yang datang menyentuh tubuhnya. Perempuan itu yang paling bahagia. Dia teramat senang karena masih dapat merasakan hangat mentari di pagi ini.

“Biasa saja. Tidak ada yang istimewa”. Ucap laki-laki itu sambil membuka mata.

“Kamu memang tidak pekaa, tidak pernah mengerti, tidak punya perasaan”

“Tapi kamu nikmati kan..”

“Bukan, tepatnya terpaksa”

Maaf, percakapan ini harus dibuat tegang. Kita perlu kembali dramatis.

“Biar, yang penting kamu cinta. Coba lihat batu-batuan itu. Batu-batu atol yang seharusnya tidak disini, seharusnya mereka ada di sungai, mereka terpaksa, mereka tidak punya pilihan. Tapi mereka tetap menikmati keberadaannya sebagai batu hiasan agar taman ini menjadi indah. Sekarang mereka harus disini. Sejak mereka diletakkan di tempat itu sebagai hiasan di taman ini mereka tak pernah berpindah dari tempatnya, kecuali seseorang datang, memungutnya dan memindahkannya”.

“Aku tahu maksudmu. Tapi Kamu keliru. Cinta tak seperti itu. Coba lihat ke arah air mancur itu. Di ujung sana. Dibalik guyuran air mancur itu. Sebetulnya yang ingin aku tunjukkan bukanlah guyuran air mancur itu tapi sepasang kekasih yang sedang duduk dibalik, sedang memadu kasih. Sejak tadi mereka berdua di sana, bahkan lebih dahulu dari kedatangan kita di tempat ini. Coba perhatikan sekali lagi, mereka tampak bahagia. Begitulah cinta, harus pekaa, harus berperasaan agar dapat merasakan hal-hal yang halus dan tidak berwujud, seperti kebahagiaan mereka. Cinta juga harus melihat hal yang tidak terlihat di depan mata, bahkan lebih jauh dari itu, yang datang lewat isyarat dan tanda-tanda”.

Lelaki itu tersenyum, dia tercubit oleh kata-kata perempuan yang kian lama semakin cerewet, yang sedang duduk sampingnya ini.

“Tapi kamu mau kan menikah denganku ?”.

Lelaki itu diam sejenak.

“Ini serius, bukan main-main”. Sambung lelaki itu.

Nah, disinilah letaknya. Letak dari frase serius dan tidak main-main itu. Frase kesedihan yang tidak boleh diceritakan. Dan, Frase itu terletak tepat setelah frase ini. 

Ini serius, cerita ini harus diubah. Jika diubah maka tidak boleh diceritakan di dalam cerita ini. Jika kamu menolak mengubahnya, kita lebih baik berhenti, cukup sampai disini, kita akhiri cerita ini saja. 

Sebagai penulis dari cerita ini, Aku tidak ingin menceritakannya. Aku hanya ingin sampaikan bahwa sejak tadi mereka berdua memperhatikan kita. Sejak mereka  pertama kali duduk di kursi itu, kemudian saling memejam mata, lalu menunjuk ke arah kita. Mereka pasti mengira bahwa kitalah sepasang kekasih yang sedang duduk menikmati pancuran air mancur dan saling berbagi kasih di sebuah sudut taman dan tidak menyadari keberadaan mereka berdua. 

Lihat lelaki itu, dia berdiri, kemudian pergi. Sementara perempuan itu masih di tempatnya tenggelam dalam genangan air mata yang mendalam. 

Tapi karena aku telah berjanji bahwa cerita ini harus diubah dengan akhir cerita yang bahagia, agar tidak ada tuntutan dan demonstrasi pada Tuhan. Cerita ini harus tampak serius dan benar-benar sempurna. Ok, mari kita ubah.

Lihat lelaki itu, dia berdiri, nampak sangat senang, kemudian pergi dengan hati yang berbunga-bunga. Sementara perempuan itu masih di tempatnya, tersenyum sendiri, tersenyum pada bunga Cataleya yang tumbuh tepat di hadapannya sambil memegangi jemari manisnya. 

Waooowww... lihat !!, ada sesuatu yang baru di dalam jemari perempuan itu. Cincin emas, iya, itu cincin emas. Cincin lamaran yang baru saja dia terima dari lelaki itu.

Percayalah pada cerita ini. Bukan hanya Tuhan yang perlu kau percaya, tapi aku juga, cerita-ceritaku.

Takalar, 01 Maret 2020. Daeng Palang. Penulis fiksi yang ingin cerita-ceritanya dianggap serius dan benar-benar nyata.


1 komentar:

  1. Belajar Weh. Siapa tahu jodohnya ketemu pas ujian, dan ternyata saingan berat (badan). 😂

    BalasHapus